Superhero : Mungil, jemput gue di kost. Kita pergi sekolah bareng pake mobil lo.
Pagi-pagi sekali Ami mendapat pesan dari Abi, tentu saja Ami bahagia. Ah, mimpi apa semalam jadi Ami berangkat ke sekolah sama Abi? Duh, belum satu mobil saja Ami sudah deg-degan gini.
Cepat-cepat Ami mengirim balasan untuk Abi.
Amira : Iya Kak Abi, nanti Ami jemput.
Setelah meletakkan ponsel di nakas, Ami langsung melompat dari tempat tidur, mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk mandi dan lima belas menit untuk berpakaian, Ami langsung keluar kamar. Rutinitas paginya adalah membantu Bi Latri menata sarapan. Seharusnya mereka bertiga, tapi karena Mommy Alea sedang hamil, Daddy Andrew tidak mengizinkan Mommy Alea memasuki dapur.
“Pagi, Bi. Masak apa?” tanya Ami yang kini berdiri di samping Bi Latri.
“Pagi juga, Non,” jawab Bi Latri. “Bibi lagi masak ayam pedas manis. Soalnya, pagi-pagi Tuan sudah kasih tau harus buat ini, kayaknya Nyonya lagi ngidam.”
Ami mengangguk-angguk tanda mengerti. Segera Ami mengambil piring, gelas dan sendok di dalam lemari untuk ditata di meja makan. Ami juga mengisi air putih ke dalam gelas. Setelah selesai tugasnya, kini Ami beralih pada dua bekal yang akan dibawanya ke sekolah. Mengisi dengan nasi dan ayam pedas manis juga sosis yang sudah dimasak Bi Latri.
Alan lebih dulu memasuki ruang makan, dia mengernyit heran melihat Ami. “Dua? Buat siapa?”
Ami menoleh. “E-eh, bu-buat Ami, kok,” jawab Ami cepat.
“Gue tau lo nggak pandai berbohong, Kak.”
Ami menggeleng kuat. “Ng-nggak! Ami nggak bohong!”
“Kalau gitu, tatap mata gue selama dua menit,” tantang Alan.
Walau sudah terpojok, Ami tetap tidak ingin mengalah. Jadi, Ami sedikit mendongak untuk menatap Alan karena Alan lebih tinggi dari Ami. Tapi, itu hanya berlangsung tiga detik saja, setelahnya Ami menyerah. “I-iya, Ami bohong,” lirih Ami akhirnya.
Sudah Alan duga, kakaknya itu tidak pandai berbohong. Sekuat apa pun Ami akan menyembunyikan kebohongannya, pasti dengan mudah terdeteksi. “Ck! Anak SD sok-sokan mau bohongin gue.”
“Ih! Ami sudah SMA. Ami ini kakaknya Alan juga!”
“Iya-iya,” kata Alan malas. “Jadi, bekal satunya lagi buat siapa?”
“Itu ...” Ami menggaruk kepalanya kikuk. “Buat Kak Abi.”
Alan menebak, pasti cowok yang sudah dua kali mengantarkan Ami pulang. Alan meneliti tingkah laku kakaknya, sudah tidak diragukan lagi, pasti Ami menyukai cowok itu. “Dia siapanya Kakak?”
“Hah?” Ami terkejut. “Maksud Alan siapa? Kak Abi?”
“Emang siapa lagi yang kita bicarakan?”
“Ah, enggak kok.” Kalo membicarakan Abi, pipi Ami jadi terasa panas. Dengan malu-malu Ami menangkup wajahnya sendiri. “Ami sama Kak Abi cuma temen.”
“Iya, terserah, deh.” Alan langsung menarik kursi dan mendudukkan diri, Bi Latri juga sudah menata makanan di meja.
Tidak lama, Daddy Andrew dan Mommy Alea masuk sambil berangkulan. Alan mendengus pelan kemudian sibuk memakan roti selai kacang dan berkutat dengan buku fisika untuk memahami rumus-rumus. Orang tuanya itu jika bermesraan tidak tau tempat, Alan melirik sedikit dan menemukan pemandangan Daddy sedang mencuri ciuman Mommy-nya. Alan melarikan lagi pandangannya pada Ami, syukurlah, kakaknya itu sedang sibuk dengan bekalnya. Kalau tidak, pasti mata polos Ami sudah ternodai.
Setelah selesai, Ami memasukkan kedua bekal dalam satu tas lengkap dengan botol air minumnya. Ami meraih gelas yang berisi s**u cokelat lalu menegaknya sampai tandas. “Mom, Dad, Ami berangkat duluan, ya?” Ami menoleh ke samping. “Alan, hari ini kamu ikut mobil Dad aja.”
“Loh, nggak sarapan, Sayang?” tanya Mommy Alea. Dengan sigap Mommy Alea mengusap bekas s**u di bibir Ami dan merapikan rambutnya. “Kok buru-buru?”
“Nggak apa-apa kok, Mom. Ami juga bawa bekal.” Ami menggoyangkan tas bekalnya. “Ami berangkat dulu, ya?” Dengan cepat Ami menyalami Mommy Alea lalu berpindah pada Daddy Andrew. “Dad, Ami berangkat.”
“Hmm,” jawab Daddy Andrew. Dia memberikan kecupan di kening Ami. “Jangan terlalu dekat sama laki-laki, berbahaya.”
Ami terkikik mendengarnya. “Siap, Bos.” Dan yang terakhir Alan. Adiknya itu memicingkan mata pada Ami, tapi cepat-cepat Ami pergi sebelum Alan melayangkan pertanyaan padanya.
***
“Motor Kak Abi mana?” tanya Ami pada Abi yang baru masuk ke dalam mobil. Mang Sapri sudah menjalankan mobilnya dengan perlahan. Kini Ami sepenuhnya menyamping untuk memandangi Abi. “Kak Abi udah sarapan?”
“Motor gue di tempat Gino, lagi malas ngambil. Lagian, mobil lo lebih enak. Ada AC-nya, gue juga nggak perlu keluar uang buat beli bensin.” Mata Abi bertubrukan dengan Mang Sapri, Abi sedikit berdehem dan tersenyum. “Gue belum sarapan, Mungil.”
“Nanti di sekolah kita beli roti aja, Ami juga belum sarapan. Cuma minum susu.”
“Kok beli roti? Lo nggak bawa bekal, ya?”
“Bawa, dong. Tapi, itukan buat makan kita istirahat nanti.”
“Serah lo, Mungil. Asal dibayarin.” Lagi-lagi Abi mendapat pelototan Mang Sapri lewat kaca spion, kali ini pun Abi hanya nyengir saja.
Mobil berhenti di depan gerbang, Abi keluar lebih dulu lalu diiringi Ami. Semua murid SMA Cendekia yang berada di gerbang kompak melayangkan tatapan penasaran. Bertanya-tanya, apa hubungan keduanya? Tapi, Abi memilih cuek, dengan ringan dia melangkahkan kaki memasuki sekolah.
Abi begitu cepat berjalan sampai-sampai Ami sedikit berlari untuk menyeimbangkannya. Sepanjang koridor menuju kelas, kebanyakan dari anak cewek saling berbisik. Ami memandangi mereka satu persatu dengan bingung, tapi tidak terlalu ambil pusing, mungkin hanya perasaannya saja.
Pandangan Ami beralih pada Abi. “Kak ma–”
“Kak Abi!!!”
Kata-kata Ami terpotong, kompak Ami dan Abi menoleh ke belakang, ke asal suara yang memanggil Abi tadi.
Seorang cewek dengan potongan rambut sebahu dan dua temannya di sisi kanan dan kiri. Cewek itu memegang satu kotak yang terbungkus rapi, lalu mendekat pada mereka. Bukan! Bukan pada mereka, tapi pada Abi. Ami dan Abi sama-sama memberikan tatapan bingungnya.
“Ya, gue Abi?” Abi menaikkan satu alisnya. Siapa cewek ini? Perasaan Abi tidak pernah bertemu atau berbicara padanya. Dilihat dari lambang baju, cewek itu kelas X dari jurusan IPB.
“Anu ...” Cewek itu menelan ludah gugup. “A-ku suka sama Kakak!” katanya sedikit terbata, kemudian beberapa kali berdehem. “Kakak mau jadi pacar aku?”
Anak-anak sudah bergerombol mengerumuni mereka. Ami merasa jantungnya mencelos mendengar pernyataan itu. Yang benar saja? Superheronya ditembak terang-terangan di sekolah. Ah, kenapa d**a Ami sakit seperti ini? Dan rasanya ingin menangis saja.
“Maaf, namanya siapa, Cantik?” tanya Abi sambil tersenyum santai.
“Laura, Kak. Aku Laura.”
“Oke, Laura.” Pandangan Abi tertuju pada kotak kado. “Itu buat gue, kan?”
“Eh?” Seolah tersadar, cepat-cepat Laura memberikan kado itu pada Abi. “Iya, ini untuk Kak Abi,” jawabnya tersenyum lebar.
Abi memberikan kotak itu pada Ami lalu pandangannya kembali pada Laura. “Makasih untuk kadonya.” Abi tersenyum menawan membuat anak cewek histeris di tempat. “Emmm ... untuk pernyataan cinta, kanyaknya nggak bisa. Tapi kalo sekali dua kali jalan nggak pa-pa, asal ...” Abi mengedip genit. “Dibayarin.”
Laura hampir mangap-mangap di tempatnya berdiri. Seperti kena hipnotis, Laura mengangguk-anggukkan kepalanya. “I-iya, Kak.”
Satu tepukan di puncak kepala Laura, setelahnya Abi merangkul Ami lalu berbalik dan menjauh dari kerumunan itu. Ami menurut saja, dia masih kehilangan rohnya. Bahkan, Ami tidak sadar memegang erat kado pemberian Laura tadi. Yang ada di kepala Ami hanya ‘Abi ditembak, Abi dinyatai cinta oleh cewek, Abi banyak yang suka’.
***