Pagi minggu, Ami baru bangun jam sebelas siang. Bukan karena Ami bergadang, tapi karena Ami capek, badannya sakit semua. Ini gara-gara Abi, kemarin Ami disuruh membersihkan kost Abi, mencuci piring dan mencuci baju. Beruntung di kost Abi ada mesin cuci, jadi Ami tidak perlu capek lebih banyak lagi.
Itu pertama kali Ami melakukan pekerjaan rumah, tapi Ami takut menolak Abi. Ami takut Abi marah dan menjauhi Ami. Tidak apa-apalah, sekaliana Ami juga belajar, kalau di rumah tentu akan dilarang Andrew dan Alea. Mereka melarang bukan karena terlalu memanjakan Ami, tapi takut barang-barang pecah semua dan itu memperparah bukan membersihkan.
Ami itu super ceroboh, kemarin juga Ami memecahkan piring dan mangkuk milik Abi gara-gara kecerobohannya. Padahal piring di kost Abi hanya ada dua, gelas dua, dan punya satu mangkuk, tapi satu mangkuk itu sudah Ami pecahkan. Untungnya Abi tidak memarahi Ami, tapi dengan satu syarat, Ami harus mengganti piring dan mangkuk yang dipecahkan dan tentu saja harus ada uang santunannya.
Selesai mandi dan berpakaian, Ami menuruni tangga. Ami menemukan Alan yang sedang menonton kartun sambil mengunyah apel. “Alan, mom sama dad ke mana?”
“Cek kandungan,” jawab Alan tanpa mengalihkan pandangannya.
“Ami mau sarapan, Alan ikut juga?” Kini Ami sudah berada di sisi sofa, Alan sama sekali tidak menatap Ami dan masih fokus dengan kartunnya. Ada sekitar lima apel di atas meja, dan Ami tau semua itu akan habis dalam sekejap. Alan adalah maniak apel, satu keranjang saja masih kurang untuk anak terong ini.
“Orang bodoh mana yang sarapan di jam sebelas siang?” Alan melirik Ami sekilas. “Ah, gue baru ingat, orang bodoh itu kakak gue.”
“Alan ngomongnya jangan gitu! Ami ini kakak Alan dan Alan juga masih kecil. Baru kelas satu SMP, mau durhaka sama kakak sendiri?”
“Iya-iya, banyak omong. Makan, gih, habis itu kita ke toko bunga mom.”
Ami mengangguk. Tanpa menjawab, Ami langsung menuju ruang makan, di dalam tudung saji ada nasi goreng dan ayam goreng. Ami menyendok ke dalam piring dan langsung melahapnya.
Rutinitas Ami dan Alan sejak dua tahun lalu adalah ke toko bunga milik Mommy Alea saat libur. Ami dan Alan ikut membantu, bahkan beberapa kali Ami dan Alan ikut mengantar karangan bunga pada pelanggan. Ami tidak berani belajar merangkai bunga, karena selalu mengacau. Pernah Ami ikut membantu merangkai buket bunga mawar, tapi hampir kesepuluh jarinya selalu tertusuk duri. Jadi, Ami tidak berani mencoba lagi.
***
“Selamat siang, cari bunga apa?” tanya Ami saat seorang wanita sepantaran Mommy Alea masuk ke toko. Pakaiannya modis dan elegan, Ami bahkan berdecak kagum dengan kecantikan wanita itu.
“Halo, Manis? Tante mau cari bunga, kira-kira ada yang artinya ngungkapin perasaan ibu ke anaknya, gitu?”
“Umh?” Ami mengernyit bingung. “Tunggu bentar, ya, Tante. Ami nanya dulu?” Wanita itu mengangguk sebagai jawaban. Ami masuk ke dalam ruang kerja Kak Anjani, dia adalah orang yang dipercayai Alea untuk mengelola toko bunga. “Kak, bunga yang cocok dikasih orang tua untuk anaknya itu bunga apa?”
“Bunga anyelir pink. Minta rangkaikan sama Kak Ocha, ya? Kakak lagi sibuk.”
Ami mengangguk, setelahnya Ami keluar dari ruangan Anjani lalu menuju di mana Ocha berada. Tidak membutuhkan waktu lama, buket bunga anyelir pink selesai, Ami membawa ke depan dan menyerahkannya. “Ini, Tante, bunga anyelir pink yang memiliki arti kasih sayang abadi ibu untuk anaknya.”
“Cantik sekali,” puji wanita itu. Setelah membayar, wanita itu melontarkan senyuman dan ucapan terima kasih untuk Ami, barulah pergi.
Alan bersama Kak Bimo sedang mengantarkan karangan bunga dari tiga puluh menit yang lalu, Kak Anjani sibuk, sedangkan Kak Ocha di belakang sedang menata beberapa stok bunga yang baru datang.
Baru Ami duduk, bel pintu berbunyi lagi. Itu menandakan seseorang masuk, cepat-cepat Ami berdiri untuk menyambut pelanggan. Ami menunduk sopan sambil bertanya, “Selamat siang, mau cari bunga apa?”
“Cari bung– hai, Ami?”
Ami mendongak, matanya sedikit melebar melihat sosok di depannya. “Kak Ace?”
“Iya,” jawab Ace tersenyum. “Kamu kerja di sini?”
Ami langsung menggeleng. “Bukan, Ami cuma bantu-bantu aja. Kakak sendiri kenapa di sini?”
“Ini toko bunga langganan Bunda. Tadi Kakak disuruh beliin bunga tulip.”
“Oh, gitu?” Ami mengangguk-angguk paham. “Ami ambilin bunganya dulu, Kak.” Tidak seperti tadi, kali ini Ami langsung menuju Kak Ocha. Setelah Kak Ocha merangkai bunga tulip itu sedemikian rupa, Ami menyerahkan pada Ace.
“Terima kasih, Ami,” kata Ace menerima buket bunga tulip. Ace menyerahkan karu kredit untuk membayar harga bunga.
Setelah selesai, Ami menyerahkan kembali kaartu milik Ace. “Sama-sama, Kakak.”
Ace menipiskan bibir, berusaha mencari topik pembicaraan agar lebih lama mengobrol dengan Ami. “Ami tinggal di mana?”
“Deket, kok, Kak. Di sebelah kiri toko bunga ini rumah Ami.” Ace mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ami. “Kakak mau mampir?”
“Boleh?” tanya Ace berbinar-binar.
“Boleh, dong. Ami pamit pulang ke dalam dulu, ya?” Tanpa menunggu jawaban dari Ace, Ami langsung memasuki ruang di mana Kak Anjani berada. Setelah berpamitan, Ami langsung menghampiri Ace. “Yuk, Kak?”
Ace tersenyum lalu mengangguk, mereka keluar toko bersama-sama. Ace mengamati lingkungan tempat tinggal Ami sekaligus berusaha mengingatnya, jadi Ace bisa bertamu ke rumah Ami dengan alasan teman sekolah atau pelanggan toko bunga. Ide pendekatan yang brilian sekali itu.
Saat Ami mendorong pagar, terdengar dering ponsel berbunyi. Yang Ami tau, itu bukan milik ponselnya, karena Ami ke toko tidak membawa ponsel. Ami menoleh pada Ace, cowok itu berhenti sejenak, Ace mengisyaratkan pada Ami untuk menjawab telpon dan Ami mengangguk sebagai jawaban.
Hampir satu menit, Ace memutuskan panggilan telpon dari Bundanya dan menatap Ami dengan tatapan sedikit kecewa. “Kayaknya ke rumah Ami nanti saja. Kakak disuruh Bunda pulang.”
“Emang ada hal yang penting ya, Kak?”
“Iya, Bunda minta beliin tepung, telur, sama keju. Mau buat kue katanya.”
“Wah, Kak Ace bisa diandelin, ya? Ami aja nggak pernah disuruh beli gitu.” Ami terkikik. “Yaudah, lain kali aja main ke rumah Ami. Kan Kakak udah tau?”
Ace menggaruk kepala yang tidak gatal lalu mengangguk. “Kakak pulang dulu.”
“Iya, Kak. Hati-hati di jalan.” Ami melambai, Ace kembali ke depan toko bunga karena motornya terparkir di situ. Sebelum memacu motor, Ace membunyikan klaksonnya terlebih dahulu lalu meninggalkan toko bunga.
Bertepatan dengan kepergian Ace, pick up yang dikemudikan Kak Bimo bersama Alan baru tiba. Ami mengurungkan niatnya untuk memasuki rumah dan memilih menunggu Alan untuk masuk bersama-sama.
“Rumah yang memesan karangan bunga jauh, ya? Jadi Alan sama Kak Bimo lama datangnya?” tanya Ami saat Alan sudah di depannya. Mereka berdua langsung masuk ke dalam rumah.
“Nggak juga. Tadi di jalan bannya bocor, jadi sedikit lama.” Ami mengangguk-angguk mendengar penjelasan Alan. Melewati ruang tamu, Ami menemukan Daddy Alea dan Daddy Andrew. Mommy Alea tengah duduk di sofa, sedangkan Daddy Andrew berbaring dengan menjadikan pangkuan Mommy Alea sebagai bantalan kaki.
Dari yang Ami lihat, mommy sedang memotongkan kuku Daddy. Ami dan Alan ikut brgabung tanpa mengganggu kedua orang tuanya. Hal seperti itu sering dilihat Ami dan Alan. Dan dari pandangan Ami, daddy sangat menyayangi mommy.
Ami harap, suatu saat nanti Ami juga menemukan seseorang seperti daddy-nya.
***