“Bi, pulang sekolah hang out, yuk?” ajak Meta. Cewek yang menyukai Abi dari kelas sepuluh sampai sekarang. Walau bar-bar, penindas, dan suka semaunya, Meta itu anak orang kaya dan Meta juga tidak pernah tanggung-tanggung mengeluarkan uangnya untuk Abi.
“Boleh, tapi dibayarin seperti biasa.”
“Tentu saja.” Meta bergelayut manja di lengan Abi. “Bi, aku pengen beliin kamu baju sekalian. Nanti pilih aja yang kamu suka.”
“Tentu, Cantik.” Abi sedikit mencubit pipi Meta. Membuat cewek yang tingginya 165 cm itu makin menempel di tubuh Abi. Sudah sewajarnya, jika Abi ingin keuntungan maka Abi akan membalas dengan dengan hal yang menyenangkan.
Gerak-gerik kedua orang itu tidak luput dari pengamatan Ace dan Gino. Ace hanya menghela napas dan tidak mau peduli, lain halnya dengan Gino. Cowok pendiam dan irit bicara itu tidak putus-putusnya memandangi Meta dan Abi.
Jika Meta menyukai Abi dari kelas sepuluh, maka Gino sudah menyukai Meta dari kelas sembilan, karena Meta dan Gino satu SMP. Gino lebih memilih mengamati dan menyukai Meta dalam diam tanpa melakukan pergerakan. Dia tipe cowok yang lebih suka memendam tanpa mengungkapkan, terlebih cewek yang disukai Gino menyukai sahabatnya sendiri.
Masih ada waktu delapan menit lagi sebelum bel jam pertama berbunyi, kelas XII IPS 1 terdengar ramai karena sebagian muridnya memilih memanfaatkan waktu untuk bercanda.
Tiba-tiba suasana hening seketika, semua pandangan tertuju pada pintu. Abi yang sedang bermain game di ponsel kini mendongak saat namanya dipanggil. Kening Abi mengerut mengetahui yang memanggilnya adalah Ami dan temannya yang baru Abi tahu kemarin bernama Nadira. “Ada apa, Mungil?” tanya Abi.
Hampir satu kelas bersorak mendengar panggilan spesial Abi, Ami merasa sangat malu dan salah tingkah. “Cu-cuma mau ngasih piring dan mangkuk Kak Abi.”
Semua tergelak mendengar yang dikatakan Ami. Yang benar saja? Ke sekolah bawa piring dan mangkuk? Hal itu menurut mereka lucu. Meta yang duduk di samping Abi kini mendelik sinis pada Ami. Dalam hati Meta, dia mencibir dan mengatai Ami sangat kecentilan dan sok pura-pura polos.
Abi bergegas bangkit untuk menghampiri Ami, tapi tangannya ditahan Meta. “Mau ke mana, Bi? Kalau cewek itu yang perlu, suruh ke sini aja. Jangan jadi sok manja, deh, pake disamperin segala.”
“Gue yang ada perlu sama dia,” jawab Abi sambil melepaskan tangan Meta. Abi menghampiri Ami yang berdiri di depan pintu bersama dengan Nadira yang bersidekap, memandang Abi tajam. “Mungil, kok, dikasih sekarang? Pulang sekolah aja, nanti pecah lagi. Gue juga nggak bawa tas sekolah.”
“Terus gimana, dong? Ami bawa balik lagi, kah?”
Abi mengangguk. “Itu cara terbaik, nanti pulang sekolah kasih lagi sama gue.”
Nadira marah karena tingkah Abi. Dia maju dua langkah dan menarik kantong yang dipegang Ami lalu menyodorkannya pada Abi. “Lo jadi cowok keterlaluan banget! Ami capek-capek naik ke lantai tiga buat ngasih ini, tapi lo tolak. Waras nggak, sih?!”
“Gue nggak suruh Ami ngasih sekarang. Itu salah dia sendiri,” jawab Abi santai.
Ami jadi panik, berusaha Ami menarik tangan Nadira. “Dira, nggak pa-pa. Itu memang salah Ami, Ami lupa ngasih tau Kak Abi. Main pergi aja.”
Kekesalan Nadira bertambah berkali-kali lipat. “Kok lo nyalahin diri sendiri? Seharusnya b******k ini, Ami,” tunjuk Nadira tepat di wajah Abi. “Sudah! Kasih sekarang aja, mau dia terima atau enggak, bukan urusan lo lagi!” Diletakkan Nadira di lantai kantong yang tidak Abi sambut tadi lalu Nadira menarik tangan Ami untuk keluar.
Dengan langkah terseok-seok, Ami mengikuti Nadira. Mereka menuruni tangga tanpa berbicara, Ami tau Nadira marah, Ami hanya menundukkan kepala sambil memperhatikan langkahnya. Tentu saja Ami malu karena kejadian tadi, sebodoh-bodohnya Ami, dia juga bisa malu. Yang dilakukan Abi tadi keterlaluan, Ami jadi sedih karena itu.
“Dengar! Jangan lagi dekat-dekat sama cowok itu?!” kata Nadira saat mereka sudah duduk di bangku.
“Tapi, Ami suka sama Kak Abi,” jawab Ami sambil menunduk.
“Suka itu suka aja, jangan jadi bodoh, Ami!” Tanpa diperintah, air mata Ami keluar sendirinya. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. “Lo itu sudah banyak dimanfaatin sama dia!”
“Wes, ada apa ini?” tanya Justin, dia mendekat ke tempat Ami dan Nadira duduk. “Ngapain lo bentak-bentak Lil Ami gue?”
“Ini bukan waktu bercanda, Justin!” Nadira menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. “Sana! Kembali ke tempat lo duduk.”
“Nggak bisa gitu dong, Nad. Ami sampe nangis gitu.”
Cepat-cepat Ami mengusap air matanya. “Ini salah Ami, bukan salah Dira. Justin kembali aja, Ami nggak pa-pa.”
“Tapi, Lil Ami ...”
Ami menggeleng lalu tersenyum. “Nggak pa-pa, Justin kembali aja.”
Walau tidak ikhlas, Justin mengangguk terpaksa. “Tapi janji, ya? Kalau nenek sihir ini ngapa-ngapain Lil Ami, panggil aja Bebeb Justin.” Nadira hanya memutar bola mata malas mendengar kata-kata Justin. Justin itu cowok playboy, sok ganteng, dan hobi menggombali cewek. Hampir semua cewek di kelas ini kena rayuan mulut manis Justin, terkecuali Nadira dan Ami. Karena Nadira emang terlalu kebal dengan pesona segala macam playboy, kalau Ami karena rasa sukanya hanya diperuntukan si superhero saja.
Setelah Justin kembali, Ami menunduk lagi. “Dira, maafin Ami, ya?”
“Buat apa minta maaf sama gue?”
“Maaf buat nggak dengerin kata-kata Dira. Ami nurutin mau Kak Abi karena Ami punya hutang sama dia. Dulu Ami pernah mau diperkosa preman, tapi Kak Abi yang nolongin. Ami juga udah janji ke diri Ami sendiri buat jadiin penolong Ami sebagai pacar atau budaknya. Ami nggak keberatan, kok.”
Nadira sedikit terkejut mendengarnya, tapi cepat-cepat Nadira mengusai ekpresi agar datar dan mengintimidasi kembali. “Tapi nggak harus buat dia semena-menanya ‘kan sama lo?”
“Iya, Ami tau. Tapi, entah kenapa, walaupun Ami ingin marah atau kesal sama Kak Abi, Ami nggak bisa lama.” Ami meneguk ludahnya. “Ami bodoh banget, ya?”
“Bodoh kuadrat banget,” jawab Nadira cepat. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala Ami. “Adik kecil, balas budi sewajarnya aja. Gue gini karena lo udah gue anggap adik sendiri, walau tuaan gue tiga bulan, tetep lo gue anggap adik.”
Ami mendongak dan berkaca-kaca memandangi Nadira. “Iya, Ami juga suka punya kakak seperti Dira.”
“Bagus,” kata Nadira. “Kalau dia jahatin lo, ngomong aja sama gue. Biar gue suruh bodyguard papi gebukin dia.” Mendengar itu, Ami tersenyum lebar lalu mengangguk.
***
Bel pulang berbunyi, Ami dan Nadira keluar kelas bersama-sama. Tapi di depan kelas, langkah mereka terhenti karena Abi. Ami sedikit tidak percaya menemukan Abi menungguinya, biasanya Ami yang selalu menghampiri cowok itu.
Cepat-cepat Nadira menyembunyikan Ami di belakangnya. “Mau apa lagi?”
“Gue ada urusan sama Mungil.”
Ami ingin menjawab, tapi Nadira lebih dulu memotong kata-katanya. “Belum cukup malu-maluin Ami di depan teman-teman lo?
Abi mengusap tengkuknya. “Gue mau minta maaf?”
“Huh!” Nadira mendengus. “Tidak semudah itu!”
“Dira ...” panggil Ami. “Dira pulang duluan aja. Sopir Dira udah nungguin, kan? Ami nggak pa-pa, Kak Abi juga sudah minta maaf.”
“Tapi , Ami–”
Ami menggeleng. “Nggak pa-pa, kok.”
Mau tidak mau Nadira menurut. Sebelum beranjak, Nadira mengancam Abi lebih dulu agar tidak macam-macam pada Ami. Abi hanya tersenyum tipis saja menanggapinya.
“Kak Abi beneran minta maaf?”
“Iya,” jawab Abi. “Gue tau kalau gue sedikit salah.”
“Lain kali jangan diulang lagi, ya? Walau Ami bodoh, tapi Ami juga punya malu. Masa udah capek naik tangga, Kak Abi usir. Mana banyak yang ngeliat Ami.”
“Iya, Mungil. Gue minta maaf, sebagai ganti, gue pengen ngajakin lo jalan-jalan.”
Mata Ami berbinar. “Mau, Kak,” jawab Ami antusias. “Ami kabarin Mom dulu, ya?” Dengan cepat Ami mengirim pesan pada Mommy Alea, setelah itu Ami memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. “Ayo kita jalan-jalan!” seru Ami. Saking antusiasnya, Ami menggenggam tangan Abi menuju parkiran.
Abi tidak melepaskan tautan tangan mereka. Matanya sibuk memandangi Ami dan merasa bersalah, tujuan Abi meminta maaf sebenarnya karena tidak ingin kehilangan makanan gratis, uang dan pembantunya. Bukan karena hal lain. Maaf, Mungil.
***