Episode 8

2249 Kata
"Ha--hallo Bi, gue bisa minta tolong kagak?" Tria berinisiatif untuk meminta kerjasama Bintang dalam membuat alasan atas ketidak pulangannya malam ini ke rumah. Saat ini ia ada di apartemen Akbar dan sang empunya apartemen sedang membersihkan diri di kamar mandi. Makanya ia bisa menelepon Bintang dengan bebas. "Ck! Lo mau minta tolong apaan, Tri? Kalo bisa gue tolong, pasti lo gue tolongin lah. Sopan amat cara minta tolongnya. Pake nanya-nanya lagi. Ada apa sih emangnya? Serius amat, tapi kok suara lo lesu banget. Belum makan malem lo?" "Iya belum. Gini, gue minta tolong ntar kalo nyokap, bokap atau kakak gue nelepon lo, lo bilang aja, iya gue nginep di rumah lo karena jabang bayi lo ngidam pengen barbeque. Gue minta tolongggg banget ya, Bi?" Dengan amat sangat terpaksa ia mengajak Bintang untuk berkonspirasi membohongi keluarganya. Kedua orang tuanya pasti curiga kalau dia tidak pulang ke rumah. "Perasaan tadi siang ada yang bilang jangan suka mengkambinghitamkan anak yang belum lahir dengan kata-kata ngidam. Padahal anaknya aja kagak tau apa-apa. Lo lupa Tri?" Nah kan... nah kan kemakan omongan sendiri lagi dia. Kanan kiri kena! Omoooo.... "Iye... iye... gue minta maap soal masalah siang tadi. Elah cuma becanda gue mah. Pokoknya ntar kalo mereka telepon, lo jawab aja sesuai dengan yang gue bilang. Oke ya, Mak Bun?" Hening sejak. Ia bahkan sudah bisa membayangkan kalau otak cerdas Bintang sekarang sedang bergerilya, mencurigai apa alasannya sampai ia berbohong. Membohongi orang satu rumahnya lagi. Pasti masalahnya serius. Ia yakin sebentar lagi Bintang pasti akan membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan menyelidik ala Om Badainya. "Dan kenyataan sebenarnya adalah lo ada di mana se--ka--rang?" Kan... apa ia bilang. Tidak mudah untuk mengajak Bintang ini berbohong kalau alasannya tidak masuk akal. Mereka bertiga, termasuk Altan sudah bersahabat sejak orok. Jadi segala tingkah laku mereka sudah sangat dikenal satu sama lain. Sangat sulit untuk bisa membohongi mereka berdua. Akhirnya dengan apa boleh buat ia pun menceritakan masalah yang sebenarnya. "Apa? Lo sekarang ada di apartemen Akbar dan bakalan di nananina semaleman sama si gay itu karena kalah duel? Wah... wah... kagak bisa dibiarin ini. Eh Tri, lo kadang pinternya kebangetan tapi kalau bodoh juga suka kelewatan ya? Mau sehebat apa pun ilmu bela diri lo, tetep aja lo nggak bakalan bisa menang ngelawan si Akbar! Akbar itu kan laki-laki, Tri. Mana badannya sebesar beruang lagi. Lo itu cuma segede upilnya doang. Kagak imbang! Yang pantes kalo duel sama dia itu ya kakak lo, laki gue atau minimal Altan deh. Lah kalo lo kan cewek, ya pasti kalah lah. Tenaga laki di adu sama cewek. Tri... Tri... lo kok kadang oonnya melebihi si Mer sih? Udah lo bebaek aja di sono. Ntar gue telepon kakak lo sama si Altan buat jemput lo balik. Kagak ridho gue lo di emek-emek si Akbar dengan cara curang begitu! Kagak jantan, kagak fair. Curang!" Tria menepuk jidatnya. Kalau Bintang  menelepon kakaknya dan Altan, sudah bisa dipastikan ayah dan ibunya akan hadir juga di sini. Kalau Akbar dikeroyok keluarganya, pasti Om Dewa juga akan datang ke sini untuk membela anaknya. Bakalan masuk acara Buser lah mereka semua. Lagian kan memang ia sendiri yang bersedia menerima tantangan Akbar. Jadi yang bodoh itu ya ia sendiri. Mau tidak mau ia harus bisa menerima apa yang disebut dengan kata konsekuensi. Ia bukan pecundang! "Lo jangan coba-coba nelpon mereka semua ya, Bi? Lagian ini semua gue yang mau. Gue yang udah bersedia menerima tantangan si Akbar. Karena itu ya gue harus berbesar hati menerima segala konsekuensinya, Bi. Lo tolong doain gue aja semoga gue besok pagi masih hidup ya, Bi?" Ia mendengar Bintang menghela nafas kasar. Bintang juga pasti tahu kalau ia itu keras kepala. Apa yang sudah diucapkannya, pantang baginya untuk menariknya kembali. Tidak ada sejarahnya seorang Tria menjilat ludah sendiri. Ora sudi! "Ya gue bisa apa coba kalo lo udah punya mau. Cuma apa lo nggak mikir, kalo lo ntar bunting gimana coba? Kalo gue kan punya laki. Nah lo pegimane?" "Ntar gue suruh si Akbar ngakalin pegimana lah supaya gue kagak bunting. Eh Bi, kalo kita pertama kali ena ena itu sakit kagak? Rasanya kayak gimana sih? Kayak patah tangan? Di tabok atau disuntik dokter?" Ia ingin agar persiapan lahir batinnya maksimal. Kan kagak lucu kalau preman nangis pas diperawanin. Harga diri dong, coeg! "Ahelah Tri... Tri... perumpamaan lo kagak ada yang mendekati satu pun. Gini ya, menurut pengalaman gue sih pertamanya sakit, kayak lo jatuh dari motor lah. Beset dikit dengkul lo. Perih-perih gimana gitu. Tapi abis itu lo bakalan enakkk banget. Ya gitu deh kurang lebih perumpaman gue. Tapi lo jangan percaya kata-kata Akbar kalo dia akan mencari cara supaya lo kagak bunting. Laki itu kalo udah enak lupa segala. Lo dong yang harus usaha! Pintu kamar mandi sepertinya telah terbuka. Ia pun dengan cepat mematikan sambungan ponselnya dengan Bintang. Wajahnya memerah melihat Akbar keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk putih di pinggulnya. Sementara titik-titik air masih tampak di ujung-ujung rambutnya. Ia salah tingkah. Ia tidak pernah melihat tubuh laki-laki sejelas itu dengan keadaan yang private seperti ini. Apalagi hanya berduaan di dalam kamar. Kamar Akbar lagi! Ayah dan kakaknya tidak pernah berkeliaran dengan handuk saja di dalam rumah. Makanya ia risih dan bingung sendiri dihadapkan dengan sosok Akbar yang santai saja berhilir mudik di depannya hanya dengan berhanduk ria. "Lo mandi gih sana. Setelah mandi kita  makan malam dulu. Makanan kita sebentar lagi datang." Tanpa disuruh dua kali ia langsung ngacir ke kamar mandi. Kelihatannya saja kalau ia itu cuek dan tidak pedulian. Tetapi sebenarnya ia sedang nervous parah. Demi Tuhan, ia ketakutan! Ia membersihkan dirinya selama mungkin. Ia bahkan ingin sekali tidur di dalam bath tub saja jikalau memungkinkan. Ia sangat takut dengan pemikirannya sendiri. Bagaimana kalau semalaman ini Akbar akan mengerjainya seperti yang dilakukan oleh pasangan yang pernah diperlihatkan oleh Altan di ponselnya? Huaaaa... ia rasanya ingin melarikan diri saja. Ia membayangkan bagaimana ia bisa berjalan keesokan harinya kalau Akbar terus melakukan hal itu pada dirinya. Apalagi tadi Bintang mengatakan kalau melakukan itu untuk pertama kalinya rasanya akan perih dan sakit sekali. Ia sampai mual membayangkannya. "Lo mandi atau tidur di dalam sana, Tri? Cepetan keluar. Kita makan dulu sebelum bertempur, biar lo kuat ngelayanin gue!" Suara Akbar yang memanggilnya untuk segera keluar dari kamar mandi semakin menciutkan nyalinya. Dikeroyok, dibegal bahkan berkelahi dengan tidak berimbang pun sudah pernah dilakoninya. Ia sama sekali tidak gentar. Mati toh hanya sekali. Tapi membayangkan dirinya bakal digarap habis-habisan oleh Akbar membuat jantungnya bergemuruh hebat. Matilah ia kali ini! Dengan apa boleh buat akhirnya ia keluar juga. Ia mengenakan bathrope Akbar yang kedodoran di kamar mandi karena pakaiannya sudah sangat kotor dipakai seharian. Aroma makanan yang lezat menguar di udara saat ia membuka pintu kamar mandi. Penciumannya memang sangat tajam jika berhubungan dengan aroma makanan. Sensor endusan penciumanannya sampai bisa menyaingi tikus saking tajamnya menurut Altan. Makanan pasti sudah di hidangkan di meja makan. Dari kamar ini saja ia sudah bisa mengendus kelezatan aromanya. Ini masih aroma ya, belum rasanya. Setelah mengikat tali bathropenya erat-erat, ia berjalan ke ruang makan. Dan benar saja. Akbar sudah duduk ganteng menunggunya. Si gay itu sekarang telah menggunakan celana pendek dan... shirtless sodara-sodara. Roti sobeknya terpapar sempurna di depan matanya. Ia menghempaskan pinggulnya di samping Akbar dan mulai menyendok nasi. Tanpa berbicara Akbar juga menyodorkan piringnya. Isyarat tanpa kata bahwa ia ingin agar piringnya di isi juga. Mereka berdua makan malam dalam diam. "Santai saja makannya, Tri. Anggap aja sedang makan di rumah lo sendiri. Oh ya, minum dulu segelas jus jeruk ini sekarang. Gue memesannya khusus buat lo. " Akbar memberikan segelas jus kekuningan yang katanya jus jeruk itu kepadanya. Saking gugupnya ia langsung saja menandaskan isinya dalam beberapa tegukan. Ia merasa jus itu agak aneh rasanya. Seperti ada rasa pahit yang tertinggal di lidahnya. "Lo paling suka makan udang galah kan kata Tama? Nah makan udang galah ini. Gue juga sengaja memesannya khusus buat lo." Akbar meletakkan seekor udang galah mayonaise ke piring Tria. Ia hanya menggumam tidak jelas sebagai tanda ucapan terima kasih yang tidak ikhlas. Dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka berdua telah menandas licinkan piring mereka masing-masing. Ia semakin jiper saat membayangkan waktu eksekusinya sudah semakin dekat. Demi mengulur waktu, ia mendadak begitu rajin menawarkan bantuan untuk mencuci piring. Akbar mengiyakan. Ia tahu Tria sedang mengulur waktu. Tria dengan segera mengangkat piring kotor. Ia selamat sementara waktu. "Lama banget sih lo nyuci piring segitu doang? Jangan membuat gue nunggu lo kelamaan dong. Hmmmm..." Tria merinding disko saat merasakan Akbar memeluk erat pinggangnya dari belakang. Ia nyaris menjatuhkan gelas, saat merasakan bibir panas Akbar terus menyusuri kuduk dan  mengendus-endus lehernya. Akbar kini dengan sengaja menyusupkan wajahnya kelekukan lehernya. Tria sampai sesak nafas saking nervousnya. Tetapi ada hal aneh yang terjadi pada dirinya. Dalam keadaan ketakutan biasanya ia akan berkeringat dingin dengan jantung yang berdentam-dentam kencang seperti genderang. Tapi ini aneh sekali. Bukannya adrenalinnya yang melaju deras, tetapi ia malah merasa mengantuk. Aneh sekali bukan? Kedua matanya bahkan nyaris menutup dalam keadaan masih membilas piring. "Lo ngantuk ya? Ya udah ayo kita tidur, sayang. Tinggalkan saja cucian piring kotor itu di sana. Besok pagi akan ada orang yang membereskannya." Tria tidak bisa menjawab karena lidahnya mendadak kelu. Samar-samar ia merasa kakinya sudah tidak menginjak tanah lagi. Sepertinya seseorang telah menggendongnya. "Ja--jangan sakiti gue. Gu--gue mohon. Jangan... jangan... gue--gue takut." Tria merasa kalau ia menceracau. Tetapi ia tidak tahu apa arti racauannya itu. Samar-samar ia merasakan kalau keningnya menghangat. Tubuhnya seperti ditidurkan pada sesuatu yang empuk. Inilah saatnya. Walaupun di selimuti kabut hitam dan kesadaran yang nyaris hilang, ia menyadari inilah saat-saat terakhir dirinya akan dimiliki oleh Akbar. Air matanya menitik di sudut-sudut matanya, sebelum kegelapan benar-benar menggulungnya dalam kabut ketidaksadaran. Akbar memandangi tubuh mungil Tria dalam ranjang king sizenya. Tria begitu kecil di sana. Nyaris seperti buntalan kecil di sisi pembaringannya. Akbar menghapus air mata Tria dengan jempolnya. Preman pasar ini ketakutan rupanya. Kalau tidak, mana mungkin ia sudi menangis? "Tri... Tria..." Akbar memanggil nama Tria sambil menepuk-nepuk lembut pipinya. Dan si preman pasar ini sudah tidak meresponnya sama sekali. Obat tidur yang tadi ia campurkan ke dalam jus jeruk sudah bekerja. Akbar tersenyum kecil. Rencananya berjalan dengan sempurna. Ia membuka ikatan bathrope Tria. Menyisakan bra katun putihnya yang tampak begitu pas menutupi d**a kencangnya. Akbar memejamkan matanya sejenak. Mengibas-ngibaskan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berusaha menjernihkan otaknya. Bagaimana pun ia adalah seorang laki-laki. Penampakan wanita walau segahar apapun pasti membuat darah kelelakiannya berdesir panas. Pasti begitu kan? Siapapun orangnya pasti dia akan terangsang. Bukan khusus hanya untuk Tria saja. Ya pasti begitu. Akbar berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau ia akan bereaksi yang sama terhadap siapapun asal berjenis kelamin wanita. Titik. Akbar membuka bathrope Tria hingga sebatas pinggangnya. Kemudian meraih selimut dan menutupi tubuh bagian bawah mereka berdua dengan selimut. Ia yang memang telah shirtless sedari tadi, menaiki tubuh Tria. Ia membuat pose seolah-olah mereka berdua sedang bercinta dengan panas. Kamera yang telah ia atur sedemikian rupa, dengan jelas memotret adegan demi adegan yang ia inginkan. Wajah Tria dan wajahnya juga sengaja ia perlihatkan. Dia bukan pengecut yang suka memblur-blurkan wajah. Setelah merasa cukup, ia mematikan kamera otomatisnya. Memakaikan kembali bathtope Tria dengan rapi dan mengikat talinya hingga seluruh bagian tubuh Tria tertutup sempurna. Akbar sama sekali tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan dengan cara selicik ini. Hanya saja ia mendengar kalau Sena tidak mempercayai tentang kabar kehamilan Tria. Ia masih ingin memiliki Tria seperti ia ingin memiliki aset-asetnya yang lain. Sena ini sedikit sakit menurutnya. Ia sama sekali tidak bisa menerima kekalahan apalagi penolakan. Tetapi ia malah mendapatkan dua hal yang paling di bencinya itu dari Tria. Tria mengalahkannya di arena balap liar dan sekaligus juga menolak lamarannya. Sena tidak bisa menerima hal itu. Akbar tahu kenapa Sena mati-matian ingin memiliki Tria. Kekalahan balap liarnya dari Tria dengan jarak sekebon telah menjadi olok-olok yang membuat harga dirinya terjun bebas. Makanya ia ingin membuktikan kalau ia mungkin kalah dari Tria dalam soal balap liar. Tetapi ia membalas kekalahan itu dengan cara memiliki Tria. Ia ingin mengangkat kembali harga dirinya yang sudah terlanjur menjadi keset wellcome. Si gila Sena ini bahkan sudah berencana mempersulit surat izin dan dokumen-dokumen Om Aksa dalam menjalankan bisnisnya. Ia memaksa ayahnya untuk mempersulit posisi Om Aksa sampai Om Aksa bersedia memberikan Tria padanya. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah melalui cara ini. Kalau orang-orang melihat hasil photo-photo panas ini, mereka pasti yakin kalau ia dan Tria sudah melakukan hal-hal di luar batas. Dan kalau Sena tetap keukeuh ingin mendapatkan Tria, ia juga pasti akan kembali diejek karena masih mau menerima bekas muntahan dari laki-laki lain. Harga dirinya yang maha tinggi pasti akan memberontak. Inilah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan demi untuk menyelamatkan hidup Tria. Ia hanya merasa kasihan saja pada si preman pasar ini kalau ia sampai menjadi barang mainan si Sena. Ia menolong Tria hanya karena rasa kemanusiaan belaka. Bukan karena rasa cinta atau perasaan-perasaan sentimentil lainnya. Niat dia cuma menolong. Titik. Akbar menguap lebar. Ia capek dan mengantuk. Kegiatan melatih para anak-anak baru tadi menguras semua energinya yang tersisa. Harum aroma tubuh wanita membuatnya sadar bahwa ada makhluk molek yang yang tertidur pulas di sampingnya. Akbar menghela tubuh mungil Tria dan meletakkan kepala imut itu pada lekukan lengan kirinya. Menjadikan pangkal lengannya sebagai pengganti bantal untuk Tria. Ia memeluk tubuh mungil namun pas untuknya itu seperti bantal guling. Menghirup dalam-dalam aroma buah dari tubuh Tria hingga ia pun akhirnya tertidur pulas di leher Tria. Ini artinya ia berhasil memiliki Tria semalaman bukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN