Episode 9

1996 Kata
Tria merasa banyak sekali suara burung-burung yang sedang bercuitan di kepalanya. Hadeh ini burung siapa sih sekalinya bercuit berjamaah? Tapi tunggu... tunggu... sejak kapan kamarnya ada burung? Ia mengedip-ngedipkan matanya, sedikit silau oleh tirai yang sepertinya baru saja disibakkan. Hidung tajamnya mengendus-endus aroma parfum pria yang samar-samar ia kenali aromanya. Aroma parfum ini sepertinya berbahan dasar cengkeh dan musk. Ia seperti baru saja menghirup aroma parfum ini dari tubuh... Akbar! Astaghfirullahaladzim Allahuakbar, jangan-jangan dia ada di... di... "Selamat pagi, Tri. Sudah jam tujuh pagi lho ini. Ayo bangun dan sarapan. Nggak baik anak perawan bangun siang-siang. Eh sorry, lo kan udah nggak perawan lagi sekarang. Gue ulangi ya, nggak baik anak perempuan bangun siang-siang." Suara bariton Akbar membuat nyawanya yang masih separuh sadar langsung terkumpul semua. Ia ada di ranjang Akbar dalam keadaan acak-acakan. Bukan hanya dirinya yang lecek dan acak-acakan. Tapi ranjang Akbar pun acak-acakan tidak karuan. Seolah-olah ada angin ribut yang mengacak-acaknya. Dan angin ribut itu pasti karena aktifitas panasnya dan Akbar semalaman! Selebar wajahnya pasti sudah merah membara saat ini. Karena ia bisa merasakan pipi sampai telinganya panas semua. Astaga, apa saja yang sudah mereka berdua lakukan semalam? Ia sama sekali tidak dapat mengingatnya. Sepertinya Akbar telah mencekokinya dengan sesuatu sehingga ia menjadi tidak sadar akan semua kejadian kemarin malam. Penjahat kelamin satu ini ternyata jahat sekali. Ketika melihat betapa rapi dan harumnya Akbar, ia meradang. Si b******n satu ini bisa-bisanya sudah berpakaian rapi dan siap untuk ke kantor sementara ia masih lecek bleketek begini. Akbar tidak membangunkannya sama sekali! "Kenapa lo nggak bangunin gue? Gimana gue mau ke kantor coba hah? Ntar bokap gue malah heran kenapa gue nggak ngantor dan nelpon si Bintang minta penjelasan. Mending kalo cuma nelpon, kalo bokap gue langsung ke sana dan nggak nemuin gue di sana, gimana coba? Lo emang bener-bener ngeselin ya?" Tria mengikat lebih erat tali bathropenya sebelum turun dari ranjang. Kepalanya sedikit pusing, ia duduk sebentar di ujung ranjang. "Abisnya gue kesian ngeliat lo tidurnya pules bener karena kecapean. Gue maklumlah, lima ronde ngelayanin gue dengan berbagai gaya gimana lo nggak tepar?" Akbar kini menggeser lemarinya, mengeluarkan sebuah dasi garis-garis dan mengikatnya dengan rapi di lehernya. "Lima ronde? Emang lo seperkasa itu? Cuih!!" Tria berdecih. Kesal dengan kepedean Akbar yang tidak pada tempatnya. "Ya iyalah lima ronde. Lo lupa? Jangan -jangan lo nggak inget lagi kita bedua pake gaya apa aja? Nih gue segerin lagi ingatan lo. Pertama-tama kita pake gaya konvensional, terus women on top, missionary, doggi* sampai gaya split dan kayang kita jabanin. Udah inget belum?" Akbar kini ikut duduk di sisi ranjang. Dasinya sudah terpasang sempurna. Akbar nyaris tertawa  melihat Tria berpikir keras untuk mengingat semua adegan-adegan yang dikarangnya dengan sembarangan. "Masih belum ingat juga? Berarti lo lupa juga dong sama ukuran junior gue yang luar biasa gedenya. Yang udah muasin lo sampe biji mata lo ilang dan tinggal putihnya doang saking enaknya. Sayang banget ya?" Akbar kembali memprovokasi Tria. Seru sekali rasanya melihat preman pasar ini kehilangan kata-kata. Tria adalah moodboasternya sebelum ke kantor dan berjibaku dengan segala keruwetannya. "Apa? Luar biasa kata lo. Halah junior standard SNI lokal aja lo banggain. Junior lo itu masih keitung produk lokal alias regular alias rata-rata orang Asia. Masih gedean juga juniornya noh, kakek Sugiono yang dari Jepang. Orang junior lo cuma bisa buat geli- geli kuping doang. Cemen lo ah!" Balas Tris pedas. Wajah Akbar langsung berubah. Ia sangat merasa terhina dengan kata-kata Tria. Mampus lo! Panas- panas dah kuping lo. Emang enak dikatain adeknya kecil. "Jadi lo udah sering ngeliat junior-junior banyak laki-laki ya Tri, makanya lo bisa membanding-bandingkan antara junior gue dengan yang lainnya." Akbar terlihat tidak terima dengan kata-katanya. Sepertinya nasehat Altan benar lagi. Laki-laki akan terjun bebas harga dirinya kalau dibilang dedeknya imut nan mungil. Kalo lo pengen nyentil ego laki, lo singgung aja masalah juniornya. Harga dirinya ya di situ. Kalo lo bilang, duh dedeknya gemesin deh. Kecil banget. Imut-imut. Pasti langsung remuk harga dirinya. Percaya deh sama gue, Tri. "Sering sih kagak. Tapi pernah beberapa kali lah. Dikasih liat Altan." Tria beringsut dari ranjang. Bermaksud menggunakan kamar mandi. Baru saja akan melangkah ke pintu kamar mandi, Akbar ikut bangkit dan menyambar lengannya. "Persahabatan jenis apa antara lo sama Altan? Persahabatan TTM alias Teman Tapi Menggelinjang? Sampai dia berani memperlihatkan juniornya beberapa kali sama lo?" Akbar menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Tria menyentakkan lengan Akbar dengan kasar. "Ngeres banget ya otak lo, Bar. Dia bukan ngasih liat juniornya, manusia bar bar b******k. Tapi ngasih liat trailer film bokep di laptopnya. Kan ada banyak jenis-jenis junior berbagai macam bangsa tuh di sana. Dari laki-laki yang kulitnya item, coklat, kuning, putih, semua lengkap. Makanya gue tau kalo dedek lo kecik. Udah sanaan, gue mau mandi!" Tria mendorong tubuh Akbar yang menghalangi pintu kamar mandi. Ia harus secepatnya membersihkan diri kalau tidak ingin terlambat ke kantor. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Kalau ia ngebut pulang ke rumah untuk berganti pakaian, pasti masih keburu untuk ke kantor. Ia baru beberapa bulan kerja di perusahaan ayahnya. Kalau ia tidak disiplin, pasti ayahnya akan mengamuk. Itu belum terhitung amukan dari Bu Ninit dan Bu Hanim, antek-antek ayahnya. Kalau duo perawan tua ini bekerjasama mendiskreditkannya, alamat ditendanglah ia dari kantor. Meski pun itu adalah kantor ayahnya sendiri. Ayahnya selalu bersikap professional dalam masalah pekerjaan. "Huwaaaa... ngapain lo berdiri di pintu kamar mandi? Lo mau ngintipin gue?" Tria kaget saat mendapati Akbar berdiri di depan pintu kamar mandi saat ia membukanya. Ini manusia sebatang memang suka mengagetkan orang. "Ngapain juga gue ngintipin lo? Semuanya juga udah gue liat semalem. Malah udah gue rasain juga. Nih, gue cuma mau ngasih baju ganti plus underware-nya. Semuanya masih baru. Pake dulu sana. Setelah itu kita sarapan. Cepetan, ntar gue telat ngantor lagi." Akbar mendorong tubuhnya masuk kembali ke kamar mandi kembali sembari menjejalkan sebuah bungkusan ke tangannya. Tidak sampai lima menit ia telah selesai berpakaian. Si manusia bar bar itu hebat juga. Ia mengetahui dengan tepat semua ukuran pakaian bahkan underware-nya dengan pas. Seperti kemarin saat ia keluar dari kamar mandi, makanan telah terhidang. Dalam diam mereka berdua menghabiskan dua lembar roti selai dan segelas jus jeruk. Tria sama sekali tidak mau menyentuh jusnya. Ia hanya minum segelas air putih. Ia takut kalau Akbar mencampurkan sesuatu lagi ke dalam jusnya. "Sebelum kita berangkat ke kantor masing-masing, gue hanya mau menjelaskan kalau ukuran junior seseorang itu tidak selamanya berbanding lurus dengan rasa nikmat yang disebabkan olehnya. Jadi kepuasan itu hanya bisa ditentukan ketika celana sudah tidak ada lagi di tempatnya. Banyak laki-laki yang juniornya standard tapi kenikmatannya super premium. Ada juga laki-laki yang  juniornya gede jenis anakonda, tapi begitu digoyang dikit langsung muncra* atau malah letoi tidak berdaya. Lo pilih yang mana coba?" Tria langsung mual seketika. Selembar roti isi nuttel*nya memberontak hebat di lambungnya. Jika biasanya orang normal membahas prakiraan cuaca atau masalah politik sehabis sarapan, ini manusia barbar malah membahas tentang ukuran peni* dan fungsi utamanya. Tria speechless! "Apa lo juga tau kalo untuk memperoleh kenikmatan bagi wanita bukan hanya melalui besar kecilnya peni* saja. Tetapi bisa dirasakan melalui teknik cunnilingu* yang tepat dan variatif. Mungkin menurut lo junior gue kecil. Tapi gue bisa menjila* lo sembari lo berdiri, tiduran terlentang, atau bahkan lagi nungging sekalipun. Lo tau cunnilingu* nggak? Kalo nggak tau, googling  dulu sana biar pinter. Gue jalan dulu. Jangan lupa ntar pintunya ditarik aja. Ntar otomatis akan terkunci sendiri." Setelah membuatnya mual Akbar meraih tasnya dan pergi begitu saja. Karena penasaran ia pun menggoogling kata c*********s. Akibat googling-an isengnya, isi perutnya berakhir di closet kamar mandi. Si manusia bar bar ini memang benar-benar m***m sampai ke partikel syarafnya! ================================== Tria tiba di kantornya pukul delapan lewat lima belas menit. Ia terlambat lima belas menit! Ia segera mengisi absensi dengan sistem almano ceklok. walaupun anak boss, tapi jabatannya di kantor ini cuma setingkat lebih tinggi daripada office girl, yaitu cungpret alias kacung kampret. Setiap hari kerjanya hanya disuruh-suruh ini itu oleh Bu Hanim dan Bu Ninit. Duo perawan tua ini sepertinya dendam sekali setiap melihatnya duduk beristirahat. Mentang-mentang ayahnya mengatakan agar memperlakukan dirinya sama seperti karyawan-karyawan yang lain, ia jadi ditindas sampai sedemikian rupa oleh Bu Ninit dan Bu Hanim. Dua orang ibu-ibu ini adalah sekretaris senior yang usianya sepantaran dengan ayahnya. Mereka berdua sangat istimewa karena memiliki ingatan dengan kapasitas memory lebih dari 8 GB. Bayangkan saja, kesalahan kecil karyawannya 10 tahun lalu saja masih bisa mereka ingat dengan jelas. "Kamu ini sudah terlambat lima belas menit dari waktu yang seharusnya, Naratria Abiyaksa. Apakah kamu tahu, dalam kurun waktu lima belas menit yang kamu korupsi itu, sudah berapa banyak pekerjaan yang seharusnya bisa kamu kerjakan? Kenapa kamu terlambat hah?" Bu Hanim mencegat langkahnya yang baru saja ingin masuk ke dalam kubikel. Naseb... naseb... alamat dikuliahi panjang lebarlah ia kali ini. "Macet, Bu Hanim. Saya tadi menginap di rumah temen saya. Mana rumahnya jauh lagi dari kantor." Bu Hanim kembali melotot mendengar kata-katanya. "Kalau begitu ya kamu bangunnya lebih pagi dong. Alasan saja!" "Ibu tenang saja. Walaupun saya terlambat lima belas menit lamanya, tapi saya akan menyelesaikan semua pekerjaan saya tepat waktu. Saya janji." Tria mengangkat tangan kanannya dan membuat huruf V. "Jangan berperinsip berkerja hanya untuk menyelesaikan pekerjaan kamu. Tetapi bekerjalah untuk memperkuat kecerdasan dan dedikasi kamu. Mengerti?" Tria mengangguk dengan takzim. Lebih baik ia mengalah saja daripada persoalan malah semakin panjang urusannya. "Jawab kata-kata dengan tegas. Jangan diam saja. Kamu tahu Tria, tidak selamanya diam itu emas. Mengerti?" "Iya ibu. Tidak selamanya diam itu emas. Karena bisa saja kalau diam itu silent." Mata Bu Hamin melotot lagi. "Kamu ini kalau dikasih tahu,  menyahut saja mulutnya!" Solohhhh begini salah begitu salah. Menyahut salah, didiamkan juga salah. Diapakan lah enaknya ibu-ibu judes ini. "Iya, Bu. Saya salah. Saya akan bangun lebih cepat besok pagi. Saya akan bekerja keras bagai kuda untuk perusahaan ini." Tria membungkukkan  sedikit punggungnya. Berusaha  meyakinkan Bu Hanim. Setelah mendengus bagai seekor banteng, Bu Hanim berlalu. Akhirnya ia pun bisa bernafas dengan lega. Tria memulai harinya dengan memilah-milah file yang akan diperiksa oleh masing-masing divisi. Baru sekitar sepuluh menit menyortir, Bu Hanim sudah memberinya tugas lagi. Kali ini tugasnya bisa membuatnya sesak nafas mendadak. Auditor dari pusat  memintanya membawa arsip dari tahun 2000 sampai 2010 di gudang arsip lantai 14. Bisa encok sekeliling pinggang lah ia hari ini. Bayangan ia harus membawa arsip-arsip jadul itu naik turun tangga membuatnya lemas seketika. Soalnya di lantai 14 itu tidak ada lift sama sekali. Hanya tangga manual saja. Lift hanya sampai pada lantai 12. Jadi ia harus naik dua kali anak tangga lagi dari lantai 12 ke lantai 14. Setelah mengambil file-file berat itu, ia harus turun dua kali lagi tangga manual untuk masuk ke dalam lift di lantai 12. Baru kemudian turun ke lantai 8, menuju ruang baru si pimpinan cabang. Saat ia mengusulkan untuk membuka arsip melalui sistem saja, Bu Hanim mengatakan kerjakan saja apa yang disuruh dan jangan banyak protes. Beginilah nasib seorang kacung kampret. Dengan nafas ngos-ngosan ia sampai juga di depan pintu ruangan yang akan digunakan oleh auditor. Ia mengetuk pintu tiga kali. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk tiga kali lagi. Setelah menunggu sebentar dan tetap tidak ada jawaban, ia nekad membuka pintu ruangan begitu saja. Sunyi sepi tidak berpenghuni. Mungkin si tukang audit sedang sibuk menyusahkan divisi-divisi yang lain. Lebih baik ia meletakkan arsip-arsip yang beratnya ampunan-ampunan ini di mejanya saja. Sekonyong-konyong ia teringat akan aktifitas ena ena-nya dengan Akbar kemarin malam. Seharusnya setelah ia tidak perawan, itunya  berdarah bukan? Atau yah minimal sakit lah. Ini kok tidak terasa apa- apa ya? Padahal ia sudah bolak balik naik turun tangga. Mungkin aktifitasnya kurang ekstrem makanya tidak terasa sakit. Penasaran ia melakukan gerakan-gerakan salto, kayang bahkan split dengan kaki lurus seperti angka satu. Tidak sakit juga. Tepat pada saat ia melakukan sikap kayang sekali lagi, pandangannya membentur sepasang kaki mengkilat dalam keadaannya yang masih jungkir balik ini. Matilah ia sekali lagi hari ini! Mati!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN