Episode 10

2118 Kata
"Anda ini siapa? Apakah kantor ini mempekerjakan karyawati dari rombongan sirkus musiman? Anda sepertinya sangat ahli melompat dan memanjat-manjat. Hanya kurang back sound ah uh ah, payung serta pisang saja sepertinya." Ia dengan cepat membalikkan posisinya dalam posisi siap sempurna. Pandangannya bertemu dengan tatapan tajam pria berahang persegi khas daerah Sumatera. Pasti ini auditor yang telah membuatnya ngos-ngosan mengangkut file-file lama yang bejibun. Hah, dikira ia takut apa? Apa pun ceritanya ia ini kan anak boss, sementara si tukang audit ini hanya orang gajian ayahnya. Si auditor ini bilang apa tadi? Karyawati dari sirkus musiman? Kurang suara ah uh ah payung dan pisang? Eh sianying, ia berani mengatai anak bossnya sendiri monyet! "Anda ini siapa? Mengapa Anda mengata-ngatai saya monyet?" Walaupun kesal Tria masih berusaha bersikap sopan. Bagaimana pun ini di kantor. Lain cerita kalau laki-laki ini mencari masalah. Pasti akan ia sambut dengan senang hati. Tangannya sudah gatal kepengen menghajar wajah songongnya. Si auditor ini diam saja. Tetapi matanya berbicara banyak. Ia terus memandanginya dengan seksama. "Coba kamu ingat-ingat, kalimat saya yang mana yang mengatakan kalau Anda itu adalah seorang monyet? Karena seingat saya, saya tidak pernah mengatakan kalimat seperti yang Anda katakan itu. Correct me if I'm wrong." Sahutnya santai. Ia malah sempat mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka. "Tadi Anda mengatakan bahwa saya itu ahli melompat dan memanjat. Kurang back sound ah uh ah, payung dan pisang. Berarti kan Anda memyamakan saya dengan monyet? Ah satu kesalahan Anda lagi. Sebutan untuk monyet itu seekor, bukan seorang. Paham Pak Auditor?" Sembur Tria gemas. Si tukang audit ini sangat pintar membolak balikkan kata. "Tapi saya tidak menyebutkan kalau Anda itu seorang monyet kan? Lagi pula bagaimana mungkin saya menyebutkan kata seekor kepada Anda yang jelas-jelas tidak mempunyai ekor? Kalau saya memang punya. Cuma letaknya di depan." Tukas si auditor sambil tersenyum m***m. Tria termangu. Senyum si auditor ini mengingatkannya akan seseorang. Ia seperti pernah melihat senyum dan ekspresi wajah seperti ini. Tetapi entah di mana dan siapa orangnya, ia lupa. Ia memang payah dalam mengingat nama maupun wajah seseorang. Lamunannya terhenti saat mendengar suara pintu yang dibuka. Ayahnya yang datang rupanya. "Lho Barita Pardamean Nainggolan, kamu sudah sampai duluan ke sini ya? Tulangmu mana? Sebentar lagi Pak Bima akan segera datang. Semua draft-draftnya sudah kalian pelajari bukan?" Tria mengerutkan kening saat melihat ayahnya sepertinya sangat dekat dengan auditor ini. Lihat saja sekarang mereka berdua pindah duduk di sofa dan berbincang-bincang akrab di sana. Ia malah dikacangain ayahnya sendiri. Hadeh, naseb... naseb. Kalau ia memang sudah tidak diperlukan lagi disini, mending ia kembali saja ke kubikelnya. Tugas dari Bu Hanim masih sepanjang rel kereta api saking panjangnya. "Ini semua file-file laporan keuangan yang Anda minta mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 Pak-- maaf nama Anda siapa tadi?" Tria nyengir sambil menatap ayahnya dengan pandangan minta maaf. Ia memang gampang sekali melupakan nama orang. Makanya ayahnya selalu protes akan sifat pelupanya ini. Karena kesannya ia jadi tidak sopan dan tidak professional. "Barita. Barita Pardamean Nainggolan, lengkapnya. Panggil saja saya, Bari." Pria dengan rahang persegi itu menjabat tangannya dengan tegas dan kuat. "Nama saya Naratria Abiyaksa. Panggil saja saya, Tria." Mau tidak mau Tria menyebutkan namanya juga demi kesopanan. Sebelah alis Barita terjungkit ke atas saat mendengar namanya. "Naratria Abiyaksa? Tria ini putri Anda, Pak Aksa?" Pungkas Bari lagi. Kali ini ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya. Tria melihat ayahnya mengiyakan seraya tertawa lebar. Tumben. Jarang-jarang ayahnya ngakak di kantor. Mereka berdua ini seperti menertawakannya. Ada apakah gerangan? Ia mencium adanya hawa-hawa persengkongkolan di sini. "Berhubung saya sudah mengetahui siapa kamu sebenarnya. Mari kita ulangi saja sesi perkenalan kita." Barita dengan berani meraih tangan Tria dan menjabatnya erat sekali lagi. "Perkenalkan. Nama saya adalah Barita Pardamean Nainggolan. Suami yang kamu lupakan, Naratria Abiyaksa." "Oh Pak Barita Pardamean Nainggolan." Tria balas menjabat tangan si tukang audit ini dengan sopan. Tapi tunggu... tunggu... sepertinya ada yang salah di sini. Setelah laki-ini ini menyebutkan namanya, ia mengatakan apa lagi tadi? Kalau... ia adalah suaminya! Astaga, apa lagi ini? Dia tidak pernah merasa menikah dengan si auditor ini, kenapa tiba-tiba ia sudah jadi suaminya aja? Suami dari mana coba? Dari Balige?! "Tu--tunggu dulu. Su--su--suami? Suami dari mana, Kang Audit? Anda jangan sembarangan memberi statement ya? Kita saja baru saling kenal. Anda ngelindur ya?" Tria berjalan ke arah sofa. Bermaksud meminta dukungan dari ayahnya. Tria heran karena ayahnya anteng-anteng saja anak perawannya, eh anak perempuannya diaku-aku sudah menjadi istri orang. Apa dulu ia pernah amnesia ya? Hah, kagak mungkin lah. "Yah, beri auditor ini SP3, Yah. Ia sudah berani menyebarkan berita bohong dan bersikap kurang ajar pada anak pemilik perusahaan, Yah." Ia menarik lengan kanan ayahnya. Mencoba meraih perhatiannya. "Yang Bari katakan itu memang benar, Tri. Kamu tidak ingat wajah suami kamu sendiri? Dulu aja kamu sampai nangis-nangis minta dinikahkan dengan Barita. Kamu lupa, Tri?" Ayahnya tergelak saat meliat raut wajah cengonya. Barita ikut tergelak di samping ayahnya. Lah ia diketawain! Padahal sumpah, ia tidak merasa pernah melakukan hal sememalukan itu. "Sebentar, saya akan memperlihatkan sesuatu sebagai bukti kalau kamu itu adalah istri saya." Bari menarik dompet dari saku celananya. Ia mencabut sebuah photo dan memperlihatkannya pada Tria. Karena penasaran Tria  merebut begitu saja photo itu dari tangan Bari. Ingatannya seketika flash back kemasa lalu. Ia memandangi photo itu sebelum memandang kembali wajah Bari. Satu alis kanan Bari berjengit ke atas saat melihat cara menatap Tria yang begitu intens. Dia rupanya! Pantas saja ia tadi seperti mengenali mimik wajahnya. Sekarang ia sudah mengingat siapa pria ini sebenarnya. Dia adalah si Barbarita, teman kecil si Tian, kakak Merlyn sewaktu di Medan. Dulu Tante Lyn, bundanya Tian sedikit salah faham dengan Om Chris. Tante Lyn yang sedang mengandung Tian kabur dan ikut dengan Tante Nadia ke Medan, karena akan dinikahkan dengan Hotman Goklas Nainggolan, paribannya. Tante Lyn kemudian bekerja pada Radja Nainggolan, adik lagi-laki dari Hotman Goklas Nainggolan. Barita Pardamean Nainggolan inilah anak dari Tante Nadia dan Om Hotman. Tante Lyn dan Tian sempat tinggal di Medan lima tahun lamanya. Barita remaja dulu sering sekali ikut dengan ibunya saat mengunjungi Tante Lyn di ibukota. Dan di sana lah semua bermula. Tria kecil dulu mengagumi Barita yang sangat jago berkelahi. Tria kecil ingin sekali seperti Abang Barbaritanya ini kalau ia sudah besar nanti. Tria bahkan ingin menikah dengannya. Dan photo inilah bukti dari keposesifannya di masa lalu. Tria memetik beberapa tangkai bunga mawar Tante Lyn dan memaksa agar Abang Baritanya menikahinya saat itu juga. Tidak lupa ia juga minta untuk dipotret sebagai bukti bahwa ia telah menikah dengan Abang Barbaritanya. Nama Barbarita itu sendiri Tria kecil pilih, karena nama itu begitu melekat di telinganya. Televisi di masa itu gemar menayangkan telenova. Salah satu nama pemeran wanitanya adalah Barbarita. Sangat mirip dengan lafal nama Barita bukan? "Sudah ingat dengan saya sekarang, Tri?" Suara Barita menghentikan semua tentang ingatan masa kanak-kanaknya. Sekarang ia malu sekali diingatkan pada kelakuan noraknya dulu. Hadeh mau ditaruh di mana ini muka coba? "Ehmmm." Tria berdeham sejenak. Mencoba menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Barita. Ia berusaha bersikap seprofessional mungkin. Ia tahu ayahnya masih mengulum senyum di sudut sofa. Ayahnya ini kadang-kadang suka jahil juga. "Selamat pagi, Pak Barba--Barita. Tentu saja saya ingat. Kadang sewaktu kecil kita memang suka melakukan beberapa hal konyol bukan? Saya harap Bapak memaklumi tingkah laku saya dulu. Namanya juga masih anak-anak. Oh ya, mengenai file-file yang Bapak minta ta-- Tok... tok... tok... "Masuk." Ayahnya lah yang menjawab suara ketukan pintu. Wajah muram Bu Hanim semakin suram saja saat menatapnya. Salah apa lagi lah ia kali ini? "Ya Ampun Tria, kenapa kamu lama sekali mengantarkan file-filenya? Pak Ganindra sudah ngamuk-ngamuk itu di ruangannya. Kamu ini kalau disuruh apa-apa kenapa lelet sekali?" Tria membelalakkan matanya. Bukannya tadi ia disuruh mengantarkannya ke sini. Keruangan baru si auditor? Kalau si auditor malah nungguin dia, berarti si Barbarita ini siapa? "Kan Bu Hanim menyuruh saya mengantarkan file-file ini ke ruangan baru si Bapak auditor?" "Ya betul. Saya bilang begitu tadi." "Lah kan ini ruangan baru auditornya. Ini semua file-filenya sudah saya bawa semua ke sini. Itu dia, Bu." Tria menunjuk tumpukan file laporan keuangan di atas meja. "Ruangan auditor yang baru itu di mana Tria? Bukannya ruangan ini sudah di alihfungsikan sebagai ruang untuk menerima client-client VIP sejak tiga hari lalu. Kamu lupa lagi, hah?" Mampus! Ia lupa. Penyakit pelupanya  memang parah. Ibunya bahkan pernah mengancam akan membawanya ke ruang mesin untuk menyetrum dan merangsang syaraf otaknya, agar fungsi daya ingatnya menjadi normal kembali. Tapi ya mau bagaimana lagi, sudah bawaan badan ia ini memang pelupa. "Bawa file-file ini ke sana se--ka--rang!!!" Raungan Bu Hanim membuatnya segera meraup file-file berat itu dan bergegas menghambur keluar sebelum taring Bu Hanim mengeluarkan semua kata-kata mutiaranya. ================================== Akhirnya jam makan siang tiba juga. Tria rasanya ingin bersalto sambil goyang dumang saat jarum pendek dan jarum panjang jam yang biasanya saling jauh-jauhan, akhirnya bersanding di angka dua belas. Ia bergegas memacu mobilnya ke sebuah restaurant seafood paling enak di ibukota ini, yaitu Raja Seafood kepunyaan Om Albert. Jabatan boleh cungpret, tapi cita rasa mah tetep majikan euy. Saat ia mendorong pintu kaca restaurant, semerbak aroma kepiting balado langsung membuat lambungnya merintih-rintih perih meminta jatah makan siang. Setengah berlari ia menduduki singsasana tempat biasanya ia duduk apabila kebetulan sedang makan di sini. "Eh ada Tria ya? Apa kabar, Tri? Ayah dan ibumu sehat?" Astaghfirullahaladzim! Kenapa harus dia lagi dia lagi yang dijumpainya akhir-akhir ini. Semalam dudah bobo bareng. Pagi tadi sarapan bareng. Masa ini makan siang bareng juga? Naseb... naseb... Ia sama sekali tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Akbar beserta dengan ibunya dan wah... wah... wah... anak abege kinyis-kinyis yang umurnya paling masih tujuh belas tahunan. Siapa dia ya? "Kabar Tria baik, Tante. Ayah dan Ibu juga baik. Tante sekeluarga sehat?" Tria menampilkan senyum ala iklan pasta gigi terbaiknya. Ada ibunya di sini, jadi dia kudu jaga image dong. Ya kan? Kalau saja tidak ada ibunya, ia kepengen sekali menjejalkan cabai pada kedua mata Akbar yang seperti mengejeknya itu. "Tante sekeluarga baik-baik juga, Tri. Oh ya ini kenalkan Damaria Eka Suci, anak salah satu teman Tante yang mau tante jodohkan dengan Akbar. Cocok tidak, Tri?" Cocok Tan. Cocok banget kayak om sama ponakan. "Ya cocok-cocok aja si Tan kalo pake ilmu cocoklogi. Hehehe..." Tria nyengir. Akbar akan terlihat seperti om om yang sedang membawa ponakannya jalan-jalan kalau menggandeng Damaria. Akbar ini seumuran dengan Tian, berusia tiga puluh tahun. Bersamanya yang usianya 20 an awal saja masih ketuaan rasanya, apalagi ini dengan anak abege belasan tahun. Pas banget kayak pedophile ntar si Akbar. Hahaha... "Oh ya, kita makan barengan aja ya, Tri? Sudah lama juga kita tidak bertemu. Tenang aja, Akbar yang traktir kok. Hehehe... kamu bisa makan sepuasnya. Tante ke toilet sebentar ya?" Tante Ory yang lembut berjalan anggun menuju ke arah toilet. Tante Ory  dulu masih SMA sewaktu dinikahkan dengan Om Dewa. Sementara si Om umurnya sudah 34 tahun. Sepertinya Tante Ory ini ingin mengulang sejarah. "Kakak yang cantiknya ganteng ini namanya siapa sih?" Tria melihat mata bulat Damaria menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Sedari tadi Tria menyadari kalau Damaria ini terus saja memandanginya dengan penuh minat. Beginilah seorang anak abege. Penuh dengan rasa ingin tahu dan budaya meniru. Tria tahu kalau Damaria menyukai gaya kasual dan tomboynya. "Kan tadi udah disebutkan, Dek. Nama kakak, Tria. Naratria Abiyaksa tepatnya." Tria tersenyum manis. "Kamu ini calon istrinya Akbar ya? Emang kamu udah siap jadi istri orang? Yakin mau jadi ibu rumah tangga dalam usia belasan seperti ini?" Berondong Tria lagi. Ia merasa kasihan melihat anak abege seperti Damaria ini bakalan diemek-emek oleh Akbar setiap malam dan hamil setiap tahun. "Ya yakin nggak yakin sih, Kak. Tapi Dama suka ngeliat Bang Akbar. Ganteng bingits. Macho, terus laki banget lagi. Dama pengen mamerin Bang Akbar sama si Michael. Mau Dama unjukin, walau dia sudah mutusin Dama demi si ganjen Riri, tapi Dama sekarang dapet yang jauhhhh lebih ganteng dari dia." Tria terbahak sambil menatap Akbar sinis. Si beruang ini cuma mau dijadiin alat balas dendam rupanya. Hah! Sukurin. "Kakak tahu nggak tips dan trik agar disayang pacar. Dama takut nanti Bang Akbar bakal ninggalin Dama lagi kayak mantan Dama, Kak. Bagi tipsnya dong, Kak. Soalnya kakak kan mirip laki-laki juga." Akbar yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya gantian memandang Tria dengan senyum mengejek karena Tria dianggap separuh laki-laki. "Gampang sih Dek kalau mau disayang laki-laki. Ada 70 cara. Pertama katakan saja kalau adiknya itu tegap dan gagah perkasa, sisanya ya 69. Kalau kamu nggak percaya coba tanya Bang Akbarmu." Jawab Tria kalem. Akbar memelototi Tria. Si preman pasar ini cari masalah sepertinya. Baiklah. Akan ia layani saja sampai di mana si preman pasar ini memprovokasinya. "Hallo istriku. Kamu makan di sini juga?" Ai mak! Dia lagi dia lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN