3. Permintaan Cerai Dan Fitnah Keji

1299 Kata
Melati mengetik pesan-pesan untuk sang suami sambil berderai air mata. Ia duduk di tempat duduk yang disediakan di teras alfa. Sementara bukannya diminum, air mineral yang Melati beli, justru Melati pakai untuk membasuh wajah khususnya membasuh kedua matanya. Lagi-lagi kedua matanya jadi sembab hanya karena pengabaian yang selalu ia terima dari suaminya. Seperti biasa, lagi-lagi pesan yang Melati kirimkan kepada sang suami, hanya dibaca. “Mas Rava memang menganggap aku sangat tidak penting. Atau memang ada alasan lain hingga semua pesan dariku tidak pernah dia balas? Atau memang karena mas Rava sedang sakit?” Namun, Melati memutuskan untuk mencari tahu besok. Hari besok juga, Melati akan menghubungi mama mertuanya. Di lain sisi, di tempat berbeda, pesan-pesan dari Melati membuat Ravael merenung serius. Ravael yang berdiri di ruang sebelah Nilam terbaring lemah, melongok Nilam. Nilam masih tidur, hingga Ravael kembali fokus ke ponsel. Di ponselnya masih dihiasi ruang obrolan WA dengan kontak M, dan itu kontak Melati. Sampai detik ini, meski Melati merupakan istri pertamanya, dan Melati juga merupakan menantu idaman kedua orang tuanya. Ravael tak berniat memberi nama kontak khusus, bahkan sekadar nama Melati. Bagi Ravael yang memang telanjur membenci Melati, dirinya masih sudi menyimpan nomor ponsel Melati saja, sudah untung. M : Bukankah lebih baik kita bercerai saja? Apa yang Mas harapkan dari hubungan ini? Tidak ada yang perlu dipertahankan, kan? M : Jika aku harus mengembalikan semua yang sudah Mas kasih, aku akan mulai menyicilnya, Mas. M : Supaya Mas bisa fokus hidup bahagia bersama istri Mas. M : Karena meski Mas sudah tidak akan mengirimiku uang bulanan lagi. Kesehatan istri Mas pasti akan jauh lebih terjaga, andai dia tahu, bahwa dia satu-satunya istri sekaligus wanita yang Mas cinta. Pesan-pesan dari kontak “M” dan tak lain nama kontak istri pertama yang sudah ia telantarkan sejak ijab kabul untuk menikahi Nilam sang kekasih itu membuat seorang Ravael menggebu-gebu. Ravael mendadak bersemangat karena jalan melepaskan Melati sudah ada di depan mata. Tiga tahun lebih menelantarkan Melati, dan sekadar melihat wajahnya pun, Ravael tak sudi. Akhirnya Melati juga yang menginginkan perceraian di antara mereka. “Cerai, ... ini memang yang terbaik. Namun, alasan apa yang bisa mama papa terima? Aku harus memiliki alasan kuat, agar papa dan mama mengizinkanku menceraikan Melati.” “Ah, ... iya. Aku bilang saja kalau Melati selingkuh!” Keputusan Ravael sudah bulat. Dirinya sungguh akan melakukan segala cara. Termasuk itu memfitnah Melati, asal ia bisa menceraikan wanita kampung itu. * “Menceraikan Melati ...? Atas dasar apa?” Ibu Irma tidak bisa untuk tidak emosi kepada putranya, yang tiba-tiba saja mengutarakan niat untuk menceraikan Melati. Acara sarapan mereka langsung terganggu setelah apa yang baru saja Ravael utarakan. Pria berusia tiga puluh tahun itu langsung ditatap sengit oleh kedua orang tuanya. “Kamu itu anak tunggal, Rav! Kamu bukan lagi anak kecil. Istri yang kamu gadang-gadang akan menjadi sumber kebahagiaan di keluarga ini dan memberi kami banyak cucu, terkena kanker serviks dan itu stadium tiga. Sementara istri yang kamu tolak, justru selalu menerima semua ketidak adilan yang kamu berikan!” tegas pak Bagyo, selaku papa Ravael. Pria berkepala botak itu jadi tak selera makan. Dalam diamnya Ravael berpikir, andai dirinya memberikan alasan baik-baik. Pasti sampai kapan pun dirinya tidak bisa lepas dari Melati. “Aku dapat laporan kalau Melati selingkuh, Ma ... Pa. Kabarnya sekarang dia ada di Jakarta bareng selingkuhannya!” ucap Ravael. Niatnya menceraikan Melati sudah sangat bulat. Sementara satu-satunya cara agar dirinya bisa melakukannya ialah berdusta. Ia harus membuat istri pertamanya itu buruk di mata kedua orang tuanya. Lihatlah, kedua orang tuanya langsung terlihat marah setelah apa yang ia kabarkan tentang Melati. Belum sempat mendapat hasil dari obrolan sekaligus musyawarah dadakan yang mereka lakukan. Ravael harus buru-buru pergi dari sana. ART yang Ravael tugaskan menjaga Nilam di rumah sakit mengabarkan, bahwa keadaan wanita yang menjadi salah satu alasan kuat dirinya menolak sekaligus menelantarkan Melati, makin memburuk. Ditinggal Ravael, kebersamaan di ruang sarapan jadi makin tak bernyawa. Ibu Irma dan pak Bagyo sama-sama terpukul dengan nasib putranya. Dijodohkan dengan wanita baik-baik, Ravael justru jatuh cinta kepada wanita yang penyakitan. Mereka sudah habis-habisan membiayai pengobatan Nilam. Belum lagi satu tahun lalu, kedua orang tua Nilam juga sama saja. Keduanya meninggal dengan jenis kanker yang berbeda, dan tentunya masih mereka juga yang mengurusnya. Mama Nilam meninggal setelah tak kuat melawan kanker serviks, sementara papa Nilam meninggal karena kanker otak. Diam-diam, ibu Irma berinisiatif mengirimi Melati pesan singkat. Terlebih sudah sangat lama ia tak berkabar dengan menantu pilihannya itu. Alasannya tentu masih sama. Karena selain tak enak hati Melati terus Ravael tolak. Ibu Irma juga pusing sekaligus lelah, jika harus mengurus Nilam secara materi sekaligus tenaga. Ibu Irma : Assalamualaikum, Mel. Gimana kabarnya? Kabarnya sekarang di Jakarta? Melati : Waalaikumsalam, Bu. Alhamdullilah kabar saya baik. Ibu dan Bapak bagaimana kabarnya? Iya, saya memang di Jakarta, Bu. Tanpa meresapi balasan WA dari Melati. Juga tanpa menanyakan alasan Melati di Jakarta, ibu Irma sudah langsung percaya kepada apa yang putranya kabarkan. Bahwa alasan Melati di Jakarta karena menantunya itu sedang bersama selingkuhan. “Pantas lah Melati selingkuh. Rava saja tidak memperhatikannya.” Pak Bagyo tak kalah putus asa. Tatapannya kosong dan ia mendadak merasa, angan-angan menghabiskan masa tua penuh bahagia bersama anak cucunya, seolah tidak akan pernah menjadi nyata. “Melati bilang, dia memang di Jakarta, Pa.” Ibu Irma menunduk dalam. Tiba-tiba saja, ia kehilangan semangat hidup. “Sekarang begini saja. Biar Melati tinggal di sini. Apa pun tanggapan Rava nanti, biarkan saja. Biarkan Melati dan Rava terbiasa bersama. Lagi pula, laki-laki mana yang tidak menyukai Melati?” ucap pak Bagyo. “Yang sudah ya sudah. Masalah Melati selingkuh dan sebagainya, itu karena anak kita juga tidak bisa menjadi suami yang baik buat Melati.” “Asal diarahkan, Melati pasti paham. Lagipula, Nilam juga sudah tinggal nunggu siang, malam, apa pagi. Nilam pasti sebentar lagi. Tubuhnya saja dipegang sudah sakit.” Pak Bagyo terlalu yakin, bahwa menantu yang sangat dicintai putranya, usianya tidak lama lagi. Terlebih sejauh ini, yang bisa lolos dari penyakit ganas seperti kanker memang terbilang jarang. Keputusan diambil. Kedua orang tua Ravael mengunjungi Melati ke tempat kerja Melati. Mereka yang awalnya berburuk sangka kepada Melati karena termakan omongan Ravael, akhirnya melihat sendiri. Terlebih ibu Irma yang sempat ilfil karena memang jijik kepada pelaku selingkuh. “Di sini tertib banget, Bu, Pak. Dalam satu bulan, saya hanya ada waktu libur sehari. Kerja dari pagi, sampai malam buat beres ini itunya. Sepadan dengan gaji sekaligus fasilitasnya yang memang bagus!” ucap Melati. Satu tahun tak bertemu, pak Bagyo dan ibu Irma sampai pangling kepada menantu pilihan mereka. Melati yang sekarang sungguh makin cantik. Tubuh Melati juga makin bagus, tak sekurus sebelumnya. Itu kenapa, keduanya makin mantap untuk memboyong Melati pulang. Laki-laki mana yang tidak naksir apalagi ingin memiliki Melati, jika kecantikan Melati saja, mengalahkan para artis yang akan terlihat cantik karena sederet perawatan yang dijalani? Sore hari ini menjadi saksi kebahagiaan Melati karena akhirnya ia didatangi mertuanya. Melati yang menganggap keduanya layaknya orang tua sendiri seolah mendapatkan angin segar detik itu juga. Namun, fakta keduanya yang mengajaknya pulang dan tinggal bersama membuat Melati dilema. Melati sangat butuh uang. Kerja di sana membuatnya bisa menutup kebutuhan pengobatan sang bapak. Melati juga cukup bekerja tanpa harus menunggu belas kasih jatah bulanan dari Ravael yang jumlahnya tidak seberapa. Lagi pula, Ravael sendiri yang memutus hubungan mereka secara halus. Tentunya Melati juga tak lupa bahwa suaminya itu sudah tidak akan memberinya jatah bulanan karena sekarang, Ravael harus fokus membiayai pengobatan istri keduanya. Di tempat berbeda, Ravael tengah merasa sangat putus asa. Sang istri yang sangat ia perjuangkan, keadaannya makin menurun. Wajah yang dulu cantik serta tubuh yang sangat segar, kini sangat tua dan tubuh juga hanya tinggal tulang. Sementara akibat serangkaian pengobatan yang dijalani, kepala Nilam yang dulunya dihiasi rambut panjang bergelombang hitam, kini botak tanpa sedikit pun keindahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN