Kebersamaan di bangku tunggu yang ada di depan restoran, masih berlangsung hangat. Orang tua Ravael masih menatap sang menantu penuh harap.
Jejak lelah begitu kentara dari gelagat Melati. Buih keringat yang masih kerap jatuh dan sudah membuat rambut sekaligus wajah basah. Keadaan itu membuat orang tua Ravael yakin, Melati yang harusnya masih mengeyam bangku kuliah, sudah sangat bekerja keras.
Hingga meski Melati tidak menyanggupi permintaan kedua mertuanya. Caranya yang santun, juga perjuangan Melati yang nyata untuk sang bapak jauh di kampung sana, membuat orang tua Ravael maklum. Terlebih, Melati berdalih akan berusaha pulang ke rumah setelah dirinya beres bekerja. Jadi, Melati tak akan tinggal di mess restoran lagi yang keberadaannya ada si lantai paling atas restoran berlantai empat di sana.
“Aku kira mereka akan membahas perceraian karena kemarin, aku sudah membahasnya dengan mas Rava. Meski lagi-lagi, tidak ada balasan karena setiap pesanku memang hanya beliau baca. Namun ternyata, orang tua mas Rava ingin aku tinggal bersama mereka. Apakah ini bertanda baik?” Melati yang berbicara dalam hati, tersenyum sopan melepas kepergian orang tua suaminya.
Orang tua Ravael pergi menggunakan mobil yang langsung disetir sendiri oleh papa Ravael. Sampai detik ini, Melati sungguh tidak tahu, bahwa alasan keduanya datang sekaligus menemuinya, justru karena fitnah keji dari Ravael kepadanya.
Gara-gara permintaan cerai yang Melati bahas, bukannya langsung merespons apalagi menceraikan Melati. Yang ada Ravael malah memfitnah Melati selingkuh. Alasan Melati di Jakarta, dikata Ravael kepada orang tuanya karena Melati tinggal dengan selingkuhannya. Andai Melati sampai tahu, yang ada gadis desa tak berdosa itu pasti makin nelangsa.
***
“Kamu hanya salah paham, Rav. Di Jakarta, Melati murni untuk bekerja karena dia enggak mau merepotkan kamu. Restoran tempatnya bekerja sangat tertib. Dia tinggal di mess yang juga ada di restoran. Semua yang dia lakukan terpantau CCTV selama 24 jam!” jelas ibu Irma ketika kabar Melati akan tinggal di sana, dan baru saja ia kabarkan, ditolak oleh Ravael.
“Mama enggak mikirin perasaan Nilam! Nilam sedang sakit parah, tetapi Mama menarik Melati ke sini!” Ravael menolak mentah-mentah dan akan terus melakukannya. Ia juga sengaja melewatkan makan malam yang sudah disiapkan oleh sang mama.
Hidangan lezat yang memenuhi meja makan di sana, sama sekali tidak mengundang minat Ravael. “Baru pulang dan langsung diajak makan, ujung-ujungnya masih Melati yang mereka bahas. Enggak mikir apa, di kamarku Nilam sedang kesakitan. Terapi sinar yang dia jalani, bukannya membuat Nilam membaik, justru sebaliknya!” gumam Ravael masih marah-marah. Ia yang melangkah sambil menenteng tas kerja dan jasnya, hampir menginjakkan kaki di anak tangga. Anak tangga yang akan menghubungkannya ke lantai atas selaku lantai keberadaan kamarnya.
Karena emosinya dan masih Melati yang menjadi penyebabnya, Ravael sampai di lantai dua keberadaan kamarnya lebih cepat dari biasa. Baru menghela napas, rintih kesakitan Nilam, sudah terdengar. Tampaknya selain kesakitan, lagi-lagi istri kesayangannya itu mengamuk.
Mungkin karena sederet pengobatan yang dijalani dan itu membuat Nilam sangat kesakitan, emosi Nilam jadi sangat tidak stabil.
Tidak ada waktu Nilam yang tidak Nilam lalui dengan marah-marah. Suster atau siapa pun yang membantunya pasti akan salah di mata Nilam. Layaknya saat ini, suster yang akan membantu Nilam ganti popok, Nilam maki tiada henti. Nilam kesakitan, padahal suster yang mengurus sama sekali belum menyentuhnya.
Ravael paham, Nilam sudah telanjur trauma. Hingga untuk sekadar membedakan mana nyata dan halusinasi, Nilam tak lagi bisa. Itu juga yang membuat Ravael makin kasihan, hingga ia juga makin peduli kepada sang istri.
Iya, kepada Nilam, Ravael memang bisa sabar. Kontras ketika ia memperlakukan Melati. Setelah beres mengurus Nilam dan itu mengganti popok Nilam, Ravael berniat menghubungi Melati. Ada masalah genting yang telah wanita desa itu perbuat. Masalah genting yang mengancam hubungannya dan Nilam. Ravael tak mau, hadirnya Melati di sana, justru membuat Nilam makin sakit. Alasan Nilam dibawa pulang saja karena agar Nilam bisa istirahat dengan leluasa.
Terapi sinar yang harus Nilam jalani dan tinggal lima kali lagi, sengaja ditunda agar Nilam bisa istirahat. Diharapkan, tubuh sekaligus kesehatan Nilam juga membaik bersama waktu istirahat yang diberikan. Meski Nilam sempat kecewa karena malah disuruh pulang. Nilam berdalih ingin lanjut saja, tim dokter yang menangani tetap tidak mengizinkan. Karena sekadar disentuh saja, Nilam sudah kesakitan.
“Pak Rava, ... punten. Ini ...,” ucap suster yang mengurus Nilam.
Karena tak bisa mengurus Nilam selama 24 jam, Ravael memang sengaja memperkerjakan seorang wanita dari yayasan penyalur. Terlebih karena Nilam bukan menantu yang orang tuanya harapkan, orang tua Ravael juga hanya bantu sebisanya. Tentunya kalian juga jangan lupa, bahwa sebelum mengurus Nilam, Ravael sekeluarga sudah habis-habisan membiayai pengobatan orang tua Nilam. Padahal ketimbang mengurus orang tua Nilam, ibu Irma dan sang suami lebih sudi berbagi kepada orang tua Melati yang teman lama mereka.
“Kenapa, Sus?” tanya Ravael sambil menaruh tas kerjanya di meja kerja miliknya yang ada di dekat jendela kamar. Ia menyikapi sang suster dengan serius. Karena biasanya, wanita paruh baya itu akan mengabarkan setiap perkembangan Nilam.
Sementara yang Nilam lakukan, wanita itu sudah tidur meski Ravael yang mengganti popok Nilam, belum selesai memasang popoknya. Memang separah itu keadaan Nilam yang bisa mendadak tidur bahkan tidak bisa diajak komunikasi, padahal sebelumnya baru saja menangis, teriak-teriak sangat drama.
“Punten, Pak. Si Ibu sudah satu minggu belum BAB. Seharian ini, Ibu sangat kesakitan. Biasanya kan, habis suntik block saraf, Ibu bisa BAB,” jelas sang suster yang berbicara dengan logat sunda sangat khas.
“Sepertinya, block saraf kali ini memang enggak ngaruh sih, Sus. Terus bagaimana?” tanggap Rafael yang makin bingung. Karena sang suster malah mengajukan cuti untuk satu minggu ke depan. Suami suster tersebut jatuh sakit, dan bahkan baru jatuh dari pohon kelapa. Hingga mau tak mau, Ravael harus memberi susternya cuti.
“Bentar ... Melati kan mau ke sini.” Iya, ... Ravael sungguh baru ingat itu. Ia pastikan, ketimbang dimanja-manja oleh orang tuanya, ia akan membuat adanya Melati di sana berguna untuknya maupun untuk Nilam.
***
Di mess, Melati sudah memasukkan semua pakaian maupun barang-barangnya ke ransel jinjing. Barang-barang milik Melati memang tidak banyak. Pakaian pun hanya lima setel, satu buah handuk, dan juga sebuah kain jarit untuk selimut. Sisanya hanya perlengkapan mandi dan sebuah lotion tubuh. Melati siap pergi karena ia juga sudah mengantongi izin dari bosnya.
Satu hal yang sangat Melati syukuri. Karena ketika suaminya sangat sulit ia dekati dan yang ada selalu memberi jarak, bosnya justru sangat baik bahkan pengertian. Tahu akan pulang ke rumah mertua saja, Melati sampai akan diantar oleh sopir restoran agar Melati sampai tujuan dengan selamat dan tentunya aman.
Padahal Ravael saja tetap belum merespon, meski Melati sudah mengabarkan malam ini juga, dirinya akan pulang ke rumah orang tua Ravael. Rumah yang juga menjadi tempat tinggal Ravael beserta Nilam.
Bersambung....