Bad News

1642 Kata
Allison berangsur bangun, menyadari dirinya dalam keadaan naked. Ia mengingat, mengumpulkan nyawa sebisa mungkin. Kamar terlihat sepi, tanpa penghuni. Gadis itu mengedarkan mata, meremas sprei berantakan karena aksi liarnya semalam bersama Leon. Sayang, ia kelelahan, jika tidak, Allison bersedia merasakan kenikmatan tanpa henti. Kaki Allison mendarat di lantai, mencari cahaya untuk menerangi ruangan bawah tanah. Lalu, memungut pakaian Leon yang pria itu berikan untuk menghangatkan tubuhnya semalam. Aroma wangi Leon masih tertinggal di jas itu. Tercium begitu manly, mahal. Allison tahu jika Leon pasti good rekening. "Kemana pria itu?"pikir Allison mencari-cari sosok yang menemani malam panas nya. Allison menggapai kantong pakaian Leon, meremasnya hingga sudut dan menemukan sesuatu. Gadis itu menariknya, menemukan plastik kecil berwarna hitam. "Kondom?"pikir Allison, memastikan. "Sialan! Dia membohongiku!" Allison melempar pakaian Leon, memungut miliknya sendiri dan segera mengenakannya. Allison mengumpat, menghabiskan sisa tenaganya sambil menjelajahi isi ruangan.  mencari Leon. "Good. Aku benar-benar bodoh. Aku tidur dengan pria tidak tahu diri, yang meninggalkan ku di kamar ini begitu saja, berengsek!"Allison berteriak sarkas. Marah pada dirinya sendiri, ia mendekati ranjang dan menendang nya dengan keras. Menahan rasa sakit di area intim, ia tidak peduli. Sungguh. "Berengsek! Berengsek! Berengsek!" Drrrttttt!!! Ponsel Allison berdering, gadis itu berhenti, menoleh ke sumber suara. Ia berlari, berjalan mendekati mini bag yang hanya berisi ponsel dan black card. "Mampus! Daddy pasti mencari ku!"Allison menelan ludah, menatap layar ponsel nya seksama. Ia ketakutan, takut mengangkat panggilan yang akhirnya berakhir. Mata gadis itu membulat, mendapati 127 kali panggilan tidak terjawab dan 200 pesan. Bateri ponselnya nyaris mati, sisa satu persen. "Aku harus pulang, sebelum daddy membakar ku hidup-hidup,"gadis itu segera berkemas dan keluar dari kamar penuh kenangan tersebut. ____________________ Meison del Catrine Mansion | 2 jam Kemudian. "Markus, hubungi polisi!"pinta Megan, panik. "Ya. Aku sedang meminta bantuan,"Markus membuang napas, melirik Jayler yang duduk di sudut sofa. Menunduk takut dengan wajah pucat. Tidak seharusnya ia meninggalkan Allison, mabuk dan malah meniduri Axtena. Ia benar-benar kacau. "Semua karena kau...."Markus menarik kerah pakaian Jayler, mencengkeramnya kuat hingga pandangan mereka saling menyatu. "Aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu jika Allison...." "Dad...."tegur Allison serak, tangan Markus yang semula berada di leher Jayler perlahan lemas, ia menoleh, menatap putrinya dengan napas yang mendadak sesak. Jantung nya sakit. Ini bukan pertama kalinya, Allison membuat jantung nya berdebar cepat. Tiap sesuatu hal yang membahas Allison, membuat Markus frustrasi, nyaris gila. Terlebih, sewaktu gadis itu di Harvard, Allison sering membuat masalah. Bahkan beberapa orang tua, meminta nya di keluarkan.  "Allison.."cetus Megan, menatap penampilan putrinya seksama. "Dari mana saja kau? Hah?"tanya Markus sedikit keras, mengepal tangan nya tegas. "Aku sedang tidak ingin berdebat. Aku letih.. Jadi..." "Aku sedang menanyai mu. Kau tidak tahu bagaimana kami mengkhawatirkan mu?"potong Markus, menatap dengan tatapan mata yang merah. "Bersenang-senang seperti keinginan ku, puas?"tantang Allison, melirik ke arah Jayler sesaat. "Kau...." "Aku letih. Jika ingin menanyaiku besok saja. Aku sedang tidak ingin di ganggu!" "Allison diam di tempat mu!"teriak Markus. "Tidak!"Allison berlari, menuju elevator kaca mansion. Markus berputar, menatapnya dari kejauhan, berteriak memanggil namanya. Namun, Allison tidak mengubris, membuang kotak rokoknya keluar elevator sengaja. "Akan ku tarik semua fasilitas mu, mulai hari ini tidak akan lagi ada black card, mobil atau..." "I don't care....."teriak Allison, lalu pintu elevator tertutup rapat. Ia naik ke atas, menuju kamar kedap suaranya untuk beristirahat. "Kau seharusnya pulang, Jayler,"ujar Megan menatap pria itu. "Harusnya dia sadar diri sejak tadi. Dia tidak di butuhkan, karena tidak bisa menjaga putriku,"kecam Markus, berjalan melewati Jayler tanpa memikirkan ucapannya. "Aku minta maaf,"jelas Jayler pada Megan. "Hmm. Markus hanya sedang panik. Jangan di ambil hati soal ucapannya, Ya,"pinta Megan, membuat pria itu mengangguk. Jayler mundur, setelah berpamitan, menatap Markus dari kejauhan sesaat. "Aku akan mendapatkan putri mu. Lihat saja nanti!"janji Jayler dalam hati, lantas pergi tanpa mengatakan apapun lagi. "Aku akan menghubungi Leon. Anak itu mungkin punya cara untuk membuat putri mu lebih jinak,"sindir Markus setelah yakin Jayler tidak lagi di area mansion nya. Megan tidak menjawab, ia diam seribu bahasa, memerhatikan kepergian Jayler di depannya. _____________________ "Sky, kau sibuk?"tanya Allison, membuka pintu kamar adiknya asal. "Ya,"jawab Sky memutar stik game nya ke segala arah. Sky sangat dekat dengan Paris, anak Taylor dan Andrea. Mereka bersahabat sejak kecil, berbagi rahasia dan melakukan banyak hal sebagai teman. "Paris..."panggil Allison, melotot pada gadis kecil itu. "Paris juga sibuk, kami sedang main game!"sanggah Sky, tidak ingin di ganggu. Allison masuk ke kamar Sky, melihat keadaan sekitar dan menarik sebuah kabel hingga permainan mereka berhenti. "Allison!"teriak Sky tidak terima dengan perlakuan kakak nya itu. "Punggung ku pegal, ayo pijet!"pinta Allison memukul bahu nya yang tegang. "Kami bukan tukang pijat!"tolak Sky, melirik Paris yang terlalu sering menjadi bahan bully Allison. Gadis itu tidak berkutik, diam dengan wajah takut. "Paris kau saja. Nanti aku kasih uang jajan,"pinta Allison, menarik lengan Paris. "No. Paris sedang bermain game bersama ku, sana keluar! Minta tunangan mu saja yang pijat!"Sky mengusir Allison, menarik kembali Paris. "Sky.. It's okay. Aku akan..." "Diam. Kau bukan suruhannya. Duduk di sana, cepat!"tunjuk Sky pada Paris. "Dasar Norak!"teriak Allison tepat di hadapan Sky. Menatap Sky dan Paris bergantian. Allison memutar bola matanya, memandang geli pada jacket hoodie sama yang mereka pakai. Allison pergi, membanting pintu kamar Sky dengan sangat keras. ____________________ Bogota Hospital. Bogita, Republik Kolombia George savalas, memukul mundur pasukannya sementara, setelah Leon menjadi sasaran penusukan oleh pria tidak di kenal. Meski demikian, baik Phoenix ataupun Southsiders menyakini bahwa Loz Arcasas, adalah pelaku utama penusukan tersebut. Usaha keras LA yang ingin menguasai wilayah Mississippi sangat besar. "Sir, Leon sampai,"tegur seorang pria muda dengan wajah tenang. George bangkit dari tempatnya dengan cepat, Lucia dan Alicia juga sama. Mereka khawatir. Leon belum sadarkan diri sejak di pindahkan dengan penerbangan private dari Mississippi. "Justin!"panggil George, membuat pria tersebut berlari mendekat. Membiarkan pihak rumah sakit menangani Leon. "Bawa Lucia, aku akan segera menyusul,"titah George pada Alicia. Wanita itu mengangguk, memegang lengan putrinya dan ikut bersama perawat yang membawa Leon. "Apa yang terjadi?"tanya George pada Justin. "Aku benar-benar tidak tahu. Leon tiba-tiba mendorong ku dan seorang pria misterius menusuk putramu, sepertinya mereka sengaja menargetkan ku,"jelas Justin. "Tidak ada yang tahu kalau Leon leader Southsiders sebelumnya, 'kan?" "Aku dan Leon sangat hati-hati. Kami hanya mengunjungi kelab Greendale, memantau keadaan di sana, selama Leon meniduri Allison, aku tidak melihat apapun yang bisa..." "Apa?"potong George, melirik ke dalam rumah sakit. "Meniduri Allison?"ulang George. "Ya. Kunjungan keluarga untuk membentuk keluarga baru." "Apa katamu?"suara George parau. Menoleh keadaan sekitar. "Bagaimana jika gadis itu hamil. Aku dan Markus berhubungan baik." "Ya. Tinggal nikah kan. Beres!"tutur Justin enteng. "Allison tahu jika Leon...." "Oo tenang, gadis itu bahkan tidak tahu dia tidur dengan siapa." "Ya Tuhan. Anak-anak ku semua bermasalah. Apa kalian gila? Hah?" "Ya ampun, kan Leon udah besar. Kasian juga burung nya gak ada yang rawat!" Plak!! Kepala Justin di pukul, cukup keras. Justin mengaduh, lebih baik menutup mulutnya. "Kau mau ku buat gegar otak?"tanya George. "Udah kaya Sinetron aja, mau di bikin gegar otak. Ehe.. Tidak Om.. Mulut nya nakal, spontan,"sebut Justin, memukul mulutnya sendiri. "Jika terjadi sesuatu hal pada Leon. Kau akan ku buat gegar otak,"ancam George. "Iya Pak. Eh. Iya Om,"ucap Justin lagi. George menggelengkan kepala, lalu merasakan ponselnya bergetar. Pria itu meraihnya cepat, menatap nama Markus tertera di layar ponselnya. "Calon besan ya, Om?"tanya Justin, mengintip layar ponsel George. George menoleh, mengeluh kasar. Masalahnya, mereka terlalu lama tidak saling berkomunikasi. Meskipun George tahu, Leon cukup sering berhubungan dengan Markus. Sungguh, saat yang tidak tepat. "Angkat aja Om, mana tahu Allison udah garis dua, buatnya sampai pecah isi kamar Greendale,"sindir Justin. Menambah rasa takut. George menekan tanda hijau, mendorong Justin menjauh. Ia tidak ingin mengambil risiko. Akhirnya, George kembali bicara dengan Markus setelah beberapa tahun. Justin membuntuti George, ingin tahu. Namun, George merasa lega, karena Markus sama sekali tidak membahas Allison. Pria itu sekadar menyapa, menanti di Mississippi seperti masa lalu. Markus ingin mempertemukan keluarga nya lengkap. "Aku tidak yakin. Leon sedang berada di rumah sakit. Seseorang menusuknya semalam,"jelas George pada Markus lewat telpon. Mereka tampak bicara serius. Tertuju pada Leon hingga pembicaraan selesai. _______________________ Markas Loz Arcasas, Biloxi, Ms Ruangan petak berwarna hijau terang terdengar berisik. Enam anggota utama LA berkumpul, saling berbagi pendapat. Trevor menjadi pusat perhatian utama, setelah kejadian yang terjadi di kelab malam miliknya. "Mereka pasangan Gay,"tuduh Trevor, membuat Rick tersenyum kecut. "Kau yakin?"tanya Rick. "Mereka memesan kamar yang sama di area private,"jelas Trevor. "Kau dapat nama pemimpin Southsiders?"tanya pria dingin, yang duduk di meja utama. Memutar gelas berisi alkohol dengan sedikit es batu. Pria ini, menjadi tokoh utama di dalam Loz Arcasas, meletakkan Rick sebagai pion nya. Berdiri di belakang untuk memerintahkan. Kejam, jahat. Marshal Dummas. "Belum. Kamar di pesan dengan nama Justin." "Bagaimana dengan access card? Kau bisa melihat data dari sana, 'kan?"tanya Rick. "No. Aku sudah memeriksa semuanya, tapi...." "Kalau begitu, tidak ada kepastian bahwa pria yang bersama Justin adalah leader Southsiders. Dia bisa saja memesan seorang Gay dari situs kencan,"ucapan Marshal tegas. Rick tersenyum, mengejek pada Trevor. "Bagaimana luka tusuknya?"tanya Marshal. "Cukup dalam. Aku tidak yakin dia hidup,"jelas Trevor. "Hmm. Kalau begitu, jika kau benar, maka usaha pembunuhan kita berhasil. Berpikir positif saja dulu,"tukas Marshal, mengangkat gelas berisi alkoholnya ke arah Trevor, Rick dan sisa anggota Loz Arcasas nya. Trevor tidak menimpali, ia diam, meyakini perasaannya. Trevor memiliki insting sangat kuat. Apapun yang ia yakini, adalah kebenaran seharusnya. "Ponsel mu,"sindir Rick menunjuk ke arah meja, tempat di mana benda pipih milih Trevor bergetar. Pria itu mengerutkan kening, menariknya segera. Sebuah pesan dari Allison masuk. Tampak begitu penting. "Kirim alamat Axtena si wanita Dajjal, cepat!" Trevor memiringkan bibir, membaca pesan Allison yang tampak tidak sabar. Ia menekan ponselnya terus menerus hingga Trevor terlihat mengetik, lalu mengirimkan alamat Axtena tanpa bertanya. "Thanks handsome. I love you, semoga segera berjodoh dengan si cantik Thalassa,"balas Allison cepat. Trevor mengangkat ponselnya, mengirim emoticon cium begitu banyak pada Allison.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN