Aku melihat ada yang berbeda dari Edward. Hari ini, sudah dua kali ia terlambat menanggapi pembicaraanku, tidak biasanya,seperti ada sesuatu yang sedang ia fikirkan. Aku mengetuk meja dua kali, menyadarkan Edward bahwa ia sedang bersamaku.
"Hah? A-ada apa?" Tanya Edward tersadar dari lamunannya,
"Kamu ini kenapa sih? Kok pulang-pulang jadi melonho, kesambet?" Tanyaku, melipat lenganku ke d**a.
Edward berdiri, dan memelukku dari belakang sedikit menunduk, Ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Cermin di ujung ruang kerjanya menangkap bayangan Edewrd yang sedang bergelayut manja kepadaku. Aku bisa melihat, ada sesuatu yang sedang membebani fikirannya.
"Ada apa? Kamu pasti sedang ada masalah.." tanyaku, menepuk pipinya pelan. Edward melepaskan pelukannya, berjalan ke hadapanku, lalu duduk di atas meja kerjanya. Kedua tangannya masih memegang erat tanganku, ia menarik nafas perlahan lalu menghembuskan nya perlahan.
"Aku mau tanya sesuatu kepadamu.." ucap Edward, ia menatap mataku tajam,
"Hm, apa?"
"Seberapa besar kamu mencintaiku?" Tanya Edward. Aku mengerutkan alis, heran, karena Edward tidak pernah bertanya seperti itu sebelumnya.
"Besar. Besar sekali." Jawabku,
"Kalau begitu, kamu akan selalu mempercayai ku kan?" Edward kembali bertanya,
"Entahlah," aku mengangkat bahu, "sebenarnya aku agak trauma memberikan kepercayaan kepada orang lain, apalagi lelaki, jadi.."
"Jadi.. jadi apa?" Edward sedikit memaksa, kali ini ia memegang kedua rahangku, ia memaksaku agar menatap matanya dari jarak lebih dekat,
"Jadi, aku,aku tidak akan mudah percaya kepada siapapun.." jawabku. Edward mengendurkan pegangannya, lalu melepaskan. Kali ini ia menunduk, memegang kedua lututnya.
"Hufh..." Ia melenguskan nafasnya berat,
"Kamu aneh deh, Ward. Ada apa sih?" Tanyaku penasaran.
Tok.. tok.. tok..
Terdengar suara ketukan pintu dari arah pintu,
"Sudah sana, buka pintu." Perintahku, Edward berjalan lemas. Aku menutup mulut, menyembunyikan tawaku melihat tingkah Edward yang masih saja menurut walaupun sedang dalam mood yang tidak baik. Ternyata Fia,
"Fia bawakan donat kentang kesukaan, Mas." Aku mendengar suara Fia dari dalam ruangan, dadaku penat mendengar nya. Fia berdiri dengan membawa sebuah nampan, di atasnya ada sepiring donat dan secangkir teh manis hangat.
"Masuk," perintah Edward. Fia melangkah masuk, ia mengenakan baju kaos putih, dengan celana jeans hitam ketat, badannya yang tinggi dengan kulit putih membuat Fianterlihat fresh malam ini. Edward semangat menatap sepiring donat yang dibawakan Fia, seolah mood nya kembali normal, bahkan membaik.
"Hm, enmak.. hm, aku su-ka hfmh..." Ucap Edward sambil mengunyah donatbyang sudah memenuhi rongga mulutnya, Fia tersenyum memperhatikan tingkah Edward.
"Pelan-pelan saja, Mas. Ini di minum dulu.." ucap dia, menunduk dan menuangkan segelas teh hangat ke gelas. Edward mengangkat cangkir itu, menghirup aroma teh itu dalam, matanya terpejam seolah menikmati sekali aromanya, lalu perlahan meneguk teh itu, "hm, sudah lama tidak minum teh melati seperti ini. Kamu memang paling jago buat saya merasa tenang." Ucap Edward lembut, meletakkan secangkir gelas itu ke posisi semula.
Edward benar-benar membuatku dongkol kali ini, sudah mengabaikan omonganku, bersikap aneh dengan bertanya apakah aku mempercayainya atau tidak, kali ini dengan mudahnya ia membuatku dongkol dengan memuji Fia di depanku. Aku keluar dari ruang kerja Edward, lalu masuk ke kamar dengan membanting pintu kamar sekeras mungkin. Tujuanku? Tujuanku agar Edward tau bahwa aku tidak menyukai sikapnya. Edward seperti memiliki dayang-dayang sekarang, Edward menikmati sekali kehadiran Fia. Hingga ia seperti lupa bahwa ia memiliki aku di rumah ini.
Aku duduk di depan meja rias, mengikat rambutku, gerah sekali. Aku berjalan mengambil remot AC, lalu mengecilkan suhu ruangan. Pendingin di kamar tidak cukup membuat dingin perasaanku saat ini. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil melipat kedua lenganku di d**a. Edward belum juga muncul, jangan-jangan ia tidak perduli denganku, sampai ia mengabaikan ku yang sudah jelas menunjukkan tanda-tanda tidak suka.
Tidak lama terdengar suara pintu terbuka, aku tau Edward sudah masuk kamar. Aku masih tetap diam di depan cermin, pura-pura mengoleskan krim malam ke wajahku. Edward memegang pundakku, aku diam saja.
"Kamu kenapa?" Tanya Edward pelan. Aku masih diam. Edward menatapku dari cermin, aku tidak menangkap tatapannya, Edward mendesah pelan, lalu memutarkan badanku hingga kami berhadapan. Tangannya masih memegang pundakku,
"Aku buat salah lagi?" Edaward berucap pelan, seolah berusaha lebih hati-hati lagi menghadapi ku. Aku menurunkan tangannya dari pundakku, lalu kembali membalikkan badan ke arah cermin. Sambil menepuk-nepujkan krim di wajahku, aku menjawab.
"Pertanyaanmu tadi, sudah ada jawabannya kan? Jelas dong, kenapa aku jawab seperti itu?"
Edward menghela nafas panjang. Aku berdiri dan menyibakkan selimut putih lalu duduk di atas tempat tidur.
"Ra, apa kita harus bertengkar setiap malam karena Fia?" Tanya Edward.
Aku masih diam, "dia, Fia. Dia bisa merubah mood aku malam ini, menjadi lebih baik. Dia..."
"Ya, terus saja membicarakan Fia. Jadi, aku, aku istrimu tidak bisa merubah moodmu menjadi baik? Fia, Fia terus! Kenapa sih? Dia itu di sini untuk mengasuh Billy, bukan mengasuh Ayahnya!" Aku sedikit membentak. Edward memejamkan mata mendengar luapan amarahku.
"Haha.." Tawa Edward pecah, aku semakin kesal melihat tawanya. Aku memukul Edward dengan bantal, lalu sedikit mendorongnya menjauh. Aku tidur membelakanginya. Edward tidak mengerti kenapa aku seperyini, ia pura-pura tidak peka, atau memang sungguhan ia mulai acuh denganku.
Kemarin Edward menyentuh pinggulku, ia membentuk pola melingkar beberapa kali. Aku masi dia. Aku merasakan Edward mulai mendekatiku, suasana kamar yang hening membuat suara nafas Edward yang berat semakin jelas terdengar.
"Ward, aku lagi bad mood!" Aku mengingatmu. Edward memelukku, mendekatkan dirinya semakin erat. Aku sudah merasakan sesuatu mengganjal dan sengaja di gesekkan di bokongku. Edward meniup belakang telingaku, membuatku merinding merasakannya. Perlahan Edward melau menyentuhku berani, kini tangan kanannya sudah menyusup dari balik baju tidur yang ku kenakan, aku mulai memberontak merasakannya.
Antara marah, dan... Ingin. Aku memejamkan mata, berusaha menahan agar tidak mendesah karena serangan Edward yang begitu indah, jemari Edward sudah berhasil melepas pengait bra ku, kini telapak tangannya sudah menyusup ke depan, dan menggenggam Habil bukitku. Aku menggigit bibir. Kamar ini mulai terasa dingin, aku baru ingat tadi aku sudah menurunkan suhu ruangan, kamar ini terasa dingin, terasa hangat dari nafas dan kecupan Edward yang menyerbuku. Deru desah Edward menjadi irama terindah yang ku dengar malam ini. Edward mengecup pundakku, bergeser ke leher, lalu Edward membalikkan posisi tidurku. Aku pasrah. Wajahku, aku alihkan ke samping, sengaja aku wmmbuang muka ke lain arah, agar Edward tidak merasa menang dari serangannya. Edward membabtuku duduk untuk membuka terusan merah muda yang ku kenakan malam ini. Pengait bra yang sudah lepas semakin mempermudah Edward untuk membuatku polos. Edward terdiam, menatapi keindahan yang ku miliki. Aku masih memalingkan wajah. Edward membalikkan badanku, mengusap bibirku pelan dengan ibu jarinya, lalu mengecup bibirku dalam. Edward mengulum bibirku. Kali ini aku tidak ada daya menolaknya, aku membalas lumayan bibir Edward. Lidah kami saling beradu, kini tanganku sudah melingkar di dadanya. Masih dengan bibir yang saling terpaut, Edward membuka celana tidur yang ia kenakan. Tidak membutuhkan waktu lama, Edward sudah menanggalkan semua yang ia kenakan.
"Hpfhm.." aku mencengkram Edward ketika bibirku digigit gelas olehnya,
Ciuman Edward turun ke leherku. Ia mengecup leherku perlahan, hingga sampai pada bukitku. Di sana ia tidak berhenti, bahkan ia semakin semangat. Edward terlihat senang memilin puncaknya hingga membuatku tidak kuasa menahan suaraku yang lebih terdengar seperti kesakitan dari pada menahan nikmat itu.
"Kamu baik-baik saja?" Edward juga tertipu, aku mengangguk cepat, menekan kepala Edward untuk kembali memainkan dadaku. Dadaku seperti gunung yang akan meletus. Kencang.
Senjata Edward di bawah sana juga ikut bergerilya dan tidak tinggal diam. Cairan kental miliknya membuat gesekan itu terasa semakin menggairahkan. Aku memeluk b****g Edward dengan kedua kakiku yang ku lingkarkan ke bokongnya, Edward melepaskan permainannya di bukitku, kali ini ia menatapku,
Aku menggigit bibir bawahku saat senjatanya masuk, melesat tanpa halangan ke dalam tubuhku.
Aku mengerang, nikmat.
Edward mulai menciptakan ritme yang indah, sesekali ia mencuri waktu untuk mengecup bukitku.
"Hm, Ward.. Ah,,," aku sudah menyerah. Keindahan yang ia berikan membuatku gagal menjual mahal harga diriku. Edward memang piawai mempermainkan kesukaanku.
"Sayang.."
Aku semakin panas, rasa nya berbeda setiap mendengar Edward memanggil dengan sebutan itu, aku seperti ingin selalu bersamanya, dan tidak ingin melepaskan dekapannya sedikitpun. Edward membalikkan badanku, tanpa melepas senjatanya yang masih di dalam milikku. Edward kembali memaju mundurkan badannya, aku mendapatkan sensasi yang berbeda setiap melakukannya dengan gaya seperti ini.
"Ah, ah... Ah, Ward.."
"Hm, oh.., Ra.."
Badanku melengkung, saat Edward memaju mundurkannya semakin cepat, cepat, hingga aku merasakan penuh dalam kewanitaan ku, ditutup dengan lenguhan keras kami berdua. Kami masih menganggap rumah iini kosong, tidak ada Bik Inah ataupun Fia.
Bila mereka mendengar, anggap saja itu bonus dari kami, agar mereka tau bahwa kami bahagia dan saling memiliki.
Edward memajukan badannya hingga semuanya memenuhi bagian bawahku. Aku memejamkan mata, ketika Edward mengecup beberpa kali kedua mataku.
***