Bab 5 | Karir Edward

1201 Kata
Aku merasakan sebuah kecupan hinggap di keningku, aku membuka mata, lebih tepatnya memaksakan diri bangun dari tidur. Aku melirikbke samping, sudah ada Edward yang tersenyum. Aku mekihat jam dinding yang tertempel, sudah jam tujuh pagi. Aku membalas senyum Edward, ia selalu membangunkanmu dengan cara yang manis. Semalaman Billy berulang kali terbangun, membuatku beberapa kali terbangun  Aku beranjak bangun dari tidur, duduk dan membenahi rambutku.aku melihat sudut ruangan sudah terisi penuh oleh cahaya yang masuk melalui selah tirai yang masih tertutup. Biasanya aku sudah bangun sebelum sinar matahari seterik ini.  "Aku akan buatkanmu sarapan," aku bergerak, aku melihat Edward sudah bersiap dengan pakaian kantornya,  Edward menahan, "sudah, aku sudah sarapan.." ucapnya,  "Bik Inah yang buatkan?" Tanyaku, Edward menggeleng, "lalu?" Tanyaku lagi,  "Fia, dia membiarkanku nasi goreng,"  "Oh," jawabku malas, aku hampir lupa kalau ada wanita itu.  "Kamu hari ini izin saja, Ra. Kamu terlihat lelah," ucap Edward. Aku menggeleng, dan turun dari tempat tidur.  Aku malas berbasa-basi dengan Fia, aku lebih baik ke kantor, aku sedang tidak ingin berjauhan dari Edward.  "Ra, tidak ada hal penting di kantor yang harus kamu kerjakan.."  "Tapi aku mau masuk, aku sudah pompa ASI semalam, jadi persediaan s**u untuk Billy sudah banyak.." ucapku masuk ke kamar mandi. Edward masih duduk di atas tempat tidur.  "Ya sudah, aku tunggu di ruang tamu ya sayang.." ucap Edward. Aku menunjukkan jari jempolku, tanda setuju, tanpa menjawab pertanyaan Edward. Aku merasa tidak becus menjadi istri, akubtidak akan biarkan selanjutnya sarapan Edward Fianyang menyiapkan. Bagaimanapun Fia adalah gadis single, cantik, aku takut Edward akan tergoda kedepannya.  Aku berdiri di depan cermin, bentuk badanku tidak seperti dulu lagi, ada guratan halus strech mark di perut bawahku. Aku menghembuskan nafas pelan, semoga krim penghilang garis ini berfungsi dengan baik. Aku ingin badanku seperti semula, agar Edward tidak kecewa denganku.  Aku mebyiramkan air ke kepalaku, berusaha menghilangkan kegundahan yang ada di kepala.  *** Aku melepaskan tangan ku yang terselip di lengan kiri Edward. Aku memutuskan berangkat bersama Edward hari ini. Semenjak ada Fia, aku tidak ingin berjauhan dari Edward.  "Kenapa di lepas, Ra?" Tanya Edward menghentikan langkahnya. "Ini kantor." Jawabku singkat, tanpa menatap ke arah Edward.  "Lalu?" Tanyanya lagi.  "Aku.." belum sempat aku melanjutkan omonganku, Edward sudah menarik tanganku dan kembali menyelipkannya di lengannya, bahkan kali ini lebih erat.  "Kamu pantas aku perlakukan seperti ini, Ra. Dimanapun!" Tegas Edward. Edward kembali melangkahkan kakinya, aku mengikuti langkahnya. Aku bersyukur memiliki Edward, walaupun dalam hati aku khawatir Edward akan mendapatkan masalah. "Pak, maaf sebentar mengganggu waktunya. Kami dari media Cerita Pengusaha."  Tiba-tiba seorang lelaki berrompi hitam, menjulurkan ponsel ke arah Edward. Di rompinya tertulis bahwa dia adalah seorang reporter. Dadaku nyaris berhenti, dari awal aku mengikuti karir Edward aku belum pernah melihat Edward di liput. Ada masalah apa? "Apa benar, perusahaan anda sedang berselisih dengan perusahaan Mahakarsa?"  Edward terdiam. Aku mengerutkan alis, kenapa mereka menghubungkan Mahakarsa dan perusahaan Edward?  "Kalau ada pertanyaan, bisa tanyakan ke bagian humas. Saya terlambat." Edward menarikku berjalan masuk. Di kantor beberapa staf terutama staf wanita sudah berkerumun, melihat Edward dan aku datang, kerumunan itu perlahan membubarkan diri. Tanganku tetap di genggam Edward, ia membawaku masuk ke ruangannya.  "Ikut aku, nanti saja ke mejamu." Pinta Edward. Aku tidak sempat menolak, karena Edward menarik dan menggenggam tanganku kuat. Aku mengikuti langkahnya.  "Ward, sudah lepas." Edward yang tersadar langsung melepaskan genggamannya, Edward duduk ke sofa, menyandarkan kepalanya. Aku bisa melihat, ia sedang panik. Aku mengikutinya duduk di sofa. "Kenapa wartawan tadi bisa menanyakan hal itu?" Tanyaku pelan,  "Entahlah, ini pasti ada seseorang yang mengaitkan masalah pribadi dengan perusahaan."  Tidak lama suara ponsel Edward berbunyi, Edward mengangkat telponnya,  "Ya, ya Pak." Aku menatap mimik wajah Edward saat menanggapi telepon,  "Konfirmasi saja, kalau kita tidak ada masalah apapun dengan perusahaan Mahakarsa," Edward diam sejenak, mendengarkan lawan bicaranya berbicara di sebrang sambungan, "kalau menanyakan masalah pribadi, jawab saja tidak ada hubungan sama sekali."  Edward menutup teleponnya. Aku diam, tidak berani bertanya. Melihat gelagatnya, aku bisa membaca kalau Edward saat ini sedang dalam kondisi serba salah. Aku tau, semua pastinya kaitannya dengan ku. Karena hanya karena aku, Edward jadi berurusan dengan perusahaan Mahakarsa.  Tok. Tok. Tok Terdengar ketukan pintu dari luar ruangan.  "Ya, masuk." Edward mempersilahkan masuk. Queen datang mendekati sofa yang di duduki aku dan Edward. Ia terlihat membawa sesuatu, bukan berkas seperti biasanya setiap ingin bertemu Edward. "Pak," ucap Queen pelan dan amat berhati-hati. "Ya, ada apa?" Tanya Edward sedikit malas,  "I-ini, Pak. Bapak, menjadi headline di majalah Bisnis edisi Minggu ini."  Queen meletakkan sebuah majalah ke meja di hadapan Edward. Aku melihatnya, di sana terpampang foto Edward dan Romi berdiri masing-masing. Ada tulisan besar di depannya bertuliskan Persaingan Antara Sesama Lekaki. Di saat masalah Pribadi menjadi kendala." Aku menggeleng kan kepala, majalah yang menjadi langganan Edward ini berubah seperti sebuah majalah gosip. Aku menarik majalah itu paksa dari tangan Edward. Aku membuka halamannya. Di dalam, Edward dan Romi menjadi berita utama. Majalah itu mengatakan bahwa, perusahaan yang di pimpin Romi di buat berantakan oleh Edward, semua dinilai karena masalah pribadi, tidak lain karena kehadiranku di samping Edward. Dulu Edward pernah menjadi headline juga, tapi bukan masalah seperti ini, tapi karena Edward memiliki prestasi yang membanggakan. Edward menarik majalah itu paksa. Lalu, menyerahkan kembali kepada Queen.  "Saya tidak perlu ini." Ucap Edward datar, menyodorkan majalah yang sudah ia gulung itu kepada Queen.  "Tapi, Pak. Di luar sudah banyak..."  "Saya minta kamu keluar. Saya mau berbicara dengan istri saya." Edward berkata datar.  "B-baik." Queen membalikkan badan.  Aku menunduk, menyembunyikan wajahku. Aku tidak mau terlihat rapuh di depan Edward.  "Aku permisi dulu," pamitku tanpa melihat wajah Edward. Edward menarik pundakku, lalu memelukku dalam.  "Kamu tidak perlu khawatir, Ra. Ini semua bukan masalahmu." Edward mengusap kepalaku. Tangisku pecah di pelukannya. Aku merasa bersalah, aku tidak tau akan seperti ini. Nama baik perusahaan Edward tercoreng, Edward dianggap menjadi penyebab retaknya rumah tangga aku dan Romi, sehingga berdampak pada perusahaan yang Romi pimpin. Perusahaan Romi di beritakan nyaris gulung tikar, namun karena Mahakarsa sudah sangat kokoh, perusahaan itu tidak mudah goyah. Aku kembaki teringat cerita Clara saat itu, yang mengatakan bahwa Romi berhutang ke beberapa bank, untuk menutupi ke gonjang-ganjingan perusahaan nya. Aku tidak menyangka, semua akan menjadi sebesar ini.  "Maafkan aku, Ward.." aku menangis kuat di pelukan Edward.  "Bukan salahmu, Ra. Tidak ada yang mengatakan itu salahmu." Edward menenangkan, tapi ucapan Edward tidak bisa membuatku tenang. Aku terus menangis.  "Sudahlah, tidak usah menangis. Aku akan hadapi semua, aku akan membereskan semua."  Tidak lama, terdengarlah suara ponsel Edward berdering, aku melihat tulisan yang tertera di layar ponsel, Romi. Edward mengangkat telepon itu,  "Ya, saya sudah mendengar semua." Jawab Eward, Edward melirik ke arahku, lalu kembali menjawab obrolannya, "Ara tertekan karena masalah ini," ucap Edward lagi.  "Oke, Rom. Ya, oke. Setelah jam kantor saya akan menemui mu di kantor. Oke, thanks."  Edward terdengar menyetujui sesuatu.  "Romi mengkhawatirkan mu, begitu juga dengan Pak Hadi. Romi dan pihak Mahakarsa akan mengadakan konferensi Pers. Mengklarifikasi mengenai masalah ini." Jelas Edward. Aku mengusap air mataku.  "Aku diminta ikut hadir, karena aku dan perusahaanku juga terlibat." Sambung Edward.  "Aku?" Tanyaku sambil menarik nafas sisa tangisku,  "Haha, untuk apa kamu ikut? Deffa juga terlibat, jadi kalian wanita, tidak perlu terlibat. Ini bukan majalah gosip, kami pengusaha, bukan pemain sinetron." Jelas Edward mengacak-acak rambutku, lalu memelukku.  "Maafkan aku, Ra. Kamu jadi menangis, baru tadi di rumah aku berjanji tidak akan membuatmu menangis." Bisik Edward. Aku diam, masih dalam pelukannya. Aku memejamkan mata, kepalaku sakit, karena aku menangis terlalu dalam. Aku terlalu takut, karir Edward akan jatuh hanya karena aku. Edward sudah merintis ini bertahun-tahun, tapi dengan kekuatan berita aku takut karirnya akan rusak. Aku tidak menginginkan itu terjadi.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN