1. Beratnya hidup Zea

1055 Kata
“Bab tiga revisi lagi. Masih ada yang kurang di poin kelima.” Zea terduduk lemas di kursinya, menatap kosong ke depan. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinganya, menggema tanpa henti hingga membuat kepalanya nyaris pecah. “AAAAAAARGH!” teriaknya lantang sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan sejak tadi. Kertas skripsi yang ada di tangannya ia remas hingga kusut, lalu melempar semua barang di depannya tanpa pikir panjang. Setelah itu, ia membanting tubuh ke kasur dan mengubur wajahnya di bawah bantal “Gue harus revisi sampai berapa kali? Gue capek. Teman-teman gue udah banyak yang selesai skripsinya,” keluhnya dengan suara parau. Wajar jika Zea merasa lelah. Dalam seminggu terakhir, ia dipaksa merevisi bab tiga berkali-kali. Apa pun yang ia tulis, selalu salah di mata Aldi. Padahal data yang ia kumpulkan bukan sembarangan, ia bahkan rela mengelilingi perpustakaan di Jakarta demi mendapatkan referensi yang layak. Tapi tetap saja, sekeras apa pun usahanya, Aldi tak pernah puas. "Besok udah waktunya bayar uang kos, dan gue udah nggak punya uang sama sekali. Gue malu minta ke Bang Satria terus,” keluhnya lagi, sambil memukul-mukul guling di pelukannya. Beberapa hari terakhir, Zea hanya makan mie instan setiap hari. Uang bulanan yang seharusnya cukup untuk satu bulan, habis ia gunakan untuk ongkos berkeliling Jakarta. Luar biasa, bukan, perjuangannya? Zea bukan anak orang kaya, jadi ia harus pandai-pandai mengatur keuangan agar tidak menyusahkan saudaranya. Ayahnya sudah tiada, sementara ibunya tak lagi mampu bekerja. Alhasil, seluruh kebutuhan hidupnya ditanggung oleh kakak-kakaknya. Drrt ... Zea meraba ponselnya yang bergetar pelan. Ada sebuah pesan masuk. Saat melihat nama pengirimnya, ia langsung berdecak kesal. Aldi rewel [Besok bimbingan jam delapan seperti biasanya.] Zea meletakkan ponselnya kembali tanpa berniat membalas pesan itu. Hatinya masih terlalu sakit. Masa bodoh jika Aldi marah, ia sudah sangat kebal menghadapi mulut kejam pria itu. “Nggak ada gunanya gue bimbingan. Datang cuma dimaki-maki doang. Mending gue tidur seharian,” gerutunya, sebelum akhirnya memejamkan matanya. Hanya butuh beberapa detik, Zea sudah terlelap. Mungkin karena terlalu lelah, tubuh dan pikirannya langsung menyerah tanpa perlawanan. *** Sementara itu di sisi lain, seorang pria bertubuh jangkung sedang menemani dua anak kecil menyikat gigi di kamar mandi. Dengan sabar, ia membantu sang bocah laki-laki yang duduk di atas wastafel, menyikat giginya perlahan dan telaten. Sementara itu, anak perempuan di sampingnya menunggu giliran sambil bernyanyi kecil dan berjoget riang. “Papa...” panggil gadis kecil itu dengan suara manja. “Iya?” sahut pria itu. “Kapan Sena punya Mama? Sena udah capek diledekin terus sama teman-teman Sena.” Pria itu tak langsung menjawab. Ia tetap fokus menyikat gigi putra kecilnya. Melihat respon itu, Sena cemberut. Bibir mungilnya langsung mengerucut “Aku kan udah bilang, punya Mama itu nggak enak! Kata teman aku, Mama itu suka ngomel-ngomel tiap hari. Emang kamu mau diomelin terus?” sahut bocah laki-laki dengan mulut penuh busa pasta gigi. “Ya udah, kita cari yang nggak suka ngomel,” balas gadis kecil itu, sambil melipat tangan di d**a. "Sekalian aja cari yang bisu,” celetuk bocah laki-laki itu santai, membuat sang Papa langsung melotot kaget. “Hus! Anak kecil nggak boleh ngomong aneh-aneh. Kalau lagi disikatin itu diam, jangan banyak omong! Nanti Papa kunci di kamar mandi, baru tau rasa!” omelnya sambil pura-pura galak. Membuat kedua bocah itu langsung menundukkan kepala dengan wajah cemberut. “Lagian sih, Papa kerja mulu. Sena jadi kesepian di rumah. Makanya Sena pengen punya Mama,” keluh bocah itu dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang mulai melengkung ke bawah. Pria itu menghela napas berat, lalu menarik kedua anaknya ke dalam pelukan. Dengan lembut, ia mengusap punggung mereka, mencoba menenangkan meski hatinya sendiri terasa sesak. “Besok Sean sama Sena nggak sekolah, kan?” tanyanya, yang langsung dijawab dengan anggukan semangat dari kedua bocah itu. “Ikut Papa kerja kalau gitu." Mata mereka langsung berbinar mendengarnya. “Yeaaayyy!” seru keduanya bersamaan, girang bukan main. Pria itu tersenyum tipis, lalu mengecup kening kedua anaknya dengan lembut. Kecupan singkat itu berhasil membuat senyum di wajah dua bocah itu semakin lebar. Namanya Refaldi Alfiansyah, biasa dipanggil Pak Aldi oleh mahasiswanya di kampus, dan Papa Al oleh kedua anaknya. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia sudah menjadi ayah dari sepasang anak kembar, buah hatinya dari pernikahan yang kini tinggal kenangan. Tak banyak yang tahu bahwa Refaldi Alfiansyah sebenarnya sudah pernah menikah dan memiliki anak. Selama ini, orang-orang mengira ia masih lajang. Beberapa bahkan menjulukinya bujang lapuk atau bujang karatan, karena tak kunjung terlihat menjalin hubungan di usianya yang sudah matang. Ada pula yang berbisik-bisik, mengira ia seorang gay. Padahal kenyataannya, ia sudah menjadi Ayah dari dua bocah kembar yang sangat lucu. Aldi memiliki wajah yang tampan, tegas, dan berkarisma. Aura wibawanya begitu kuat, membuatnya disegani oleh banyak orang. Meskipun jarang tersenyum, raut wajahnya tetap enak dipandang. Tak heran jika banyak wanita diam-diam mengaguminya. Namun, kekaguman itu sebatas pandangan dari jauh. Tak ada yang berani berharap terlalu jauh, apalagi bermimpi menjadi kekasih atau istrinya. Sebab, desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa Aldi adalah penyuka sesama jenis. Satu hal lagi yang membuat banyak wanita terpikat padanya: Aldi selalu tampil rapi dan berpenampilan bersih. Ditambah lagi, aroma tubuhnya selalu wangi dan menyenangkan, membuat para wanita berlama-lama berada di dekatnya. ***** Keesokan harinya... Zea bangun pukul lima subuh. Setelah mandi dan salat, ia langsung membuka laptop untuk melanjutkan pengerjaan skripsinya. Beginilah rutinitasnya setiap hari. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, hanya skripsi yang terus ia kerjakan. Padahal, teman-temannya terlihat lebih santai dan cepat selesai. Berbeda dengan dirinya, yang harus bermandi keringat dan air mata hanya untuk menyelesaikan satu per satu poin dalam tiap bab. Kalau ditanya kenapa Zea tidak mengganti dosen pembimbing? Jawabannya: sudah. Bahkan ia sudah mengajukan permohonan itu lebih dari lima kali. Sayangnya, pihak kampus tidak pernah memberikan tanggapan. Seolah sengaja membiarkannya bertahan di bawah bimbingan Aldi. Entah apa alasannya, Zea sendiri juga tidak tahu. Drrt ... Zea melirik ponselnya. Kontak bernama ‘Aldi rewel’ kembali mengiriminya pesan. Aldi rewel [Nggak jadi bimbingan di Kampus.] [Di Kafe aja.] [Jam delapan.] [Jangan telat.] Zea membanting ponselnya ke kasur dengan kesal. Ini masih pagi, tapi suasana hatinya sudah dirusak. “Bisa nggak sih, lo itu diem sehari aja?! Gue eneg ketemu sama lo tiap hari,” gerutunya kesal. Tak lama kemudian, Aldi kembali mengiriminya pesan lagi. Aldi rewel [Kalau nggak datang, saya suruh revisi lagi dari bab 1 sampai 3.]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN