“Bab tiga revisi lagi. Masih ada yang kurang dipoint kelima.”
Zea terduduk lemas di kursi dengan pandangan kosong. Kata-kata itu terngiang-terus ngiang di telinganya sedari tadi, hingga membuatnya hampir stress memikirkannya.
“AAAAAAAA!” teriaknya kencang, sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan sedari tadi.
Kertas skripsinya ia remas dan barang-barang yang ada di depannya ia buang semua. Kemudian ia membanting tubuhnya di kasur, lalu menangis di bawah bantal yang setiap harinya menjadi tempat penampungan air matanya.
“Gue harus revisi sampai berapa kali? Gue capek ... hiks. Teman-teman gue udah banyak yang selesai skripsinya,” keluhnya.
Bagaimana tidak mengeluh? Dalam satu minggu ini, Zea disuruh revisi bab tiga berkali-kali. Apapun yang Zea tulis di karya ilmiahnya, selalu salah di mata Aldi. Padahal data yang ia ambil bukanlah data sembarangan. Ia sampai rela mengelilingi perpustakaan di Jakarta demi mencari data-data yang bisa ia masukkan ke dalam skripsinya. Namun tetap saja, Aldi tidak pernah puas dengan kerja kerasnya.
“Mana besok waktunya bayar uang kost, hiks ... gue udah nggak punya uang. Gue malu minta ke Bang Satria terus,” keluhnya lagi sambil memukul-mukul gulingnya.
Bahkan selama beberapa hari terakhir ini, ia hanya makan mie instan setiap hari. Uang bulannya habis ia pakai untuk berkeliling Jakarta demi mencari buku-buku di perpustakaan.
Sangat hebat sekali bukan, perjuangannya? Ia bukan anak orang kaya, jadi ia harus pintar-pintar mengelola uangnya kalau tidak mau menyusahkan saudaranya. Ayahnya sudah tiada dan ibunya tidak bisa bekerja, jadi semua kebutuhan dia ditanggung oleh kakak-kakaknya.
Drrt ...
Zea meraba-raba ponselnya yang berdering. Ia kemudian membaca pesan yang baru saja dikirim oleh Dosen kejamnya itu.
Aldi rewel
Besok jam delapan bimbingan di kampus seperti biasanya
Zea meletakkan ponselnya kembali. Tidak ada sedikitpun niat untuk membalas pesan pria itu, karena hatinya masih sangat sakit. Masa bodoh jika Aldi marah, ia sudah sangat kebal menghadapi mulut kejam pria itu.
“Nggak ada gunanya gue bimbingan. Datang cuma dimaki-maki doang. Mending gue tidur seharian,” gerutunya sebelum memejamkan matanya.
Hanya butuh waktu beberapa detik saja, Zea sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin karena saking lelahnya, jadi ia mudah sekali tertidur.
***
Sementara itu di sisi lain, seorang pria bertubuh jangkung saat ini sedang menemani dua anak kecil menyikat giginya di kamar mandi. Ia dengan begitu telaten membantu menyikati gigi bocah laki-laki yang saat ini sedang duduk di wastafel. Sementara itu, sang bocah satunya sedang menunggu gilirannya sambil bernyanyi dan berjoget-joget kecil.
“Papa ...” panggil sang anak perempuan.
“Iya?” sahut pria itu.
“Kapan Sena punya Mama? Sena udah capek diledekin terus sama teman-teman Sena.”
Pria itu hanya terdiam. Ia fokus menyikati gigi anak lelakinya. Hingga membuat bocah perempuan itu langsung mengerucutkan bibirnya kesal.
“Aku kan udah bilang, punya Mama itu nggak enak! Kata teman aku, Mama itu suka ngomel-ngomel tiap hari. Emang kamu mau diomelin terus?” sahut bocah laki-laki dengan mulut yang penuh dengan busa pasta gigi.
“Ya kita cari yang nggak suka ngomel,” balas bocah perempuan itu.
“Sekalian aja cari yang bisu,” celetuk bocah laki-laki itu, hingga membuat sang Papa langsung membulatkan matanya lebar.
“Hus! Anak kecil ngomongnya udah aneh-aneh. Kalau lagi disikatin itu diem, jangan banyak omong! Nanti Papa kunci di kamar mandi, tau rasa kamu!” omelnya. Membuat kedua bocah itu langsung menundukkan kepala dengan wajah yang cemberut.
“Lagian sih, Papa kerja mulu. Sena jadi kesepian di rumah. Makanya Sena pengen punya Mama,” keluh bocah itu dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir yang melengkung ke bawah.
Pria itu menghela napasnya kasar. Ia kemudian memeluk kedua anaknya sambil ia usap dengan lembut punggungnya.
“Besok Sean sama Sena nggak sekolah, kan?” tanyanya, yang langsung diangguki oleh kedua bocah itu.
“Ikut Papa kerja kalau gitu,” ucapnya lagi dan berhasil membuat mata kedua bocah itu langsung berbinar-binar.
“Yeaaayyy!” serunya girang.
Pria itu tersenyum simpul. Kemudian ia memberi kecupan singkat di kening anak-anaknya, hingga membuat kedua bocah itu semakin tersenyum senang.
Namanya Refaldi Alfiansyah, biasa dipanggil Pak Aldi atau Papa Al oleh anak-anaknya. Pria berumur 30 tahun itu sudah dikaruniai dua anak kembar, hasil dari pernikahannya dengan mantan istrinya.
Di Kampus, ia dianggap orang yang kejam oleh mahasiswanya. Namun di rumah, ia adalah sosok Ayah yang sangat hangat bagi anak-anaknya. Tidak ada yang tahu jika Aldi sudah pernah menikah dan mempunyai anak. Selama ini, orang-orang menganggapnya sebagai bujang lapuk dan bujang karatan, karena tak kunjung memiliki pasangan diusianya yang sudah sangat dewasa. Bahkan ada beberapa orang yang mengira dirinya gay, padahal ia sudah menghasilkan dua bocah kecil lucu dari kerja hubungannya dengan sang mantan istri.
Aldi memiliki wajah yang tampan, tegas dan berkarisma. Aura wibawanya sangat kuat, hingga membuat dirinya disegani oleh banyak orang. Meskipun jarang tersenyum, tapi wajahnya masih enak dipandang. Karena itulah, banyak wanita-wanita yang mengaguminya. Tapi hanya sekedar kagum saja, tidak berani berhayal menjadi pacarnya atau istrinya. Karena yang mereka tahu, Aldi ini penyuka sesama jenis.
Satu lagi yang membuat banyak wanita terpikat dengannya, dia selalu tampil rapi dan bau badannya juga sangat wangi, hingga membuat para wanita jadi senang berada di dekatnya.
***
Zea bangun pada jam lima subuh. Setelah mandi dan sholat, ia lalu membuka laptopnya lagi untuk lanjut mengerjakan skripsinya.
Ya beginilah kehidupannya setiap hari. Mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi, hanya skripsi saja yang ia pegang. Padahal teman-temannya tidak seperti ini effortnya. Mereka santai, tapi cepat selesai, karena berada di Dosen yang tepat. Beda dengan dirinya yang harus bermandi keringat dan air mata terlebih dahulu untuk menyelesaikan point-point perbabnya.
Kalau ditanya, kenapa tidak mengajukan pergantian Dosen pembimbing? Terhitung mungkin sudah lima kali, Zea mengajukan permohonannya. Tapi pihak Kampus sama sekali tidak menanggapinya, mereka seolah membiarkan Zea bertahan dengan Aldi dengan segala siksaanya. Entah apa alasannya, Zea sendiri juga tidak tahu.
Drrt ...
Zea melirik ponselnya. Nomor dengan nama ‘Aldi rewel’ kembali mengiriminya pesan.
Aldi rewel
Nggak jadi bimbingan di Kampus
Di Kafe aja
Jam delapan
Jangan telat
Zea memukul ponselnya dengan keras. Pagi-pagi sudah dibikin bad mood saja.
“Bisa nggak sih, lo itu diem sehari aja?! Gue eneg ketemu sama lo tiap hari,” ucapnya kesal.
Tak lama kemudian, Aldi kembali mengiriminya pesan lagi.
Aldi rewel
Kalau nggak datang, saya suruh revisi lagi dari bab 1 sampai 3