2. Sebuah perjuangan

1111 Kata
Sebelum berangkat bimbingan, Zea pergi ke Kampus terlebih dahulu untuk mengambil bukunya yang tertinggal di perpustakaan. Ya. Niatnya untuk beristirahat seharian gagal total, karena sang Dosen mengancamnya jika ia tidak datang bimbingan pagi ini. Siapa yang tidak takut jika disuruh revisi lagi mulai dari bab satu? Membayangkannya saja, tubuh Zea langsung merinding seketika. Teringat bagaimana perjuangannya menyusun dari bab 1 sampai bab 3 yang total revisiannya mungkin sampai puluhan kali. Saat itu Zea sampai jatuh sakit karena saking lelahnya. “Zea ...” Zea langsung menoleh ke belakang saat mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Saat ini ia sudah berada di perpustakaan, dan orang yang memanggilnya tadi adalah teman sekelasnya. “Iya?” sahut Zea. “Kapan mau bayar buku? Pak Arif udah nanya soalnya.” Zea langsung meringis dengan wajah tak enak. Ia lupa jika belum membayar buku yang ia beli di dosennya. “Haduh ... diundur seminggu lagi bisa nggak? Gue lagi nggak ada duit soalnya. Udah lama nggak kerja part time,” ucapnya dengan wajah yang memelas. “Yah ... yaudah, deh. Nanti gue bilangin ke Pak Arif.” “Iya. Sorry ya, Na. Gue bener-bener lagi nggak ada banget soalnya.” “Iya, nggak papa.” “Berapa totalnya?” sahut seorang pria yang tiba-tiba datang menghampiri mereka. Zea langsung menatapnya kaget. “Jangan, Daf. Nanti kalau gue ada duit, gue bayar sendiri,” ujar Zea panik, saat pria itu mengeluarkan dompet dari sakunya. “Udah, santai aja. Berapa totalnya?” “200 ribu,” sahut teman Zea. “Nih. Lunas ya,” ujar pria itu seraya memberikan uangnya pada teman Zea. Seketika Zea langsung menghembuskan napasnya kasar. Kemudian setelah temannya pergi, ia langsung mengajak pria itu untuk duduk di kursi. “Lo kalau butuh apa-apa, bilang aja ke gue,” ujar pria itu. “Gue nggak enak, Daf. Masa dari awal pacaran, lo biayain gue terus. Gue sampai bingung gimana cara balas budinya.” Pria itu tersenyum. “Gue nggak berharap balasan apa-apa. Bisa jadi pacar lo aja, gue udah seneng,” balasnya. “Gue yang nggak enak. Orang-orang banyak yang ngomongin soalnya. Katanya gue pacaran sama lo karena butuh duitnya aja.” “Ya ngapain lo dengerin omongan orang? Yang penting kan lo nggak pernah minta ke gue, gue sendiri yang inisiatif buat bantu lo.” Zea menghela napasnya. Pacarnya ini memang dermawan, tapi dermawannya keterlaluan. Dia terlalu sering membantu Zea, sampai Zea tidak enak sendiri. Zea tahu, uang pria itu memang banyak. Tapi ya tidak harus sesering itu kan, membantunya? Padahal Zea sendiri tidak minta untuk dibantu. Pernah waktu itu uang kost Zea selama beberapa bulan dilunasi oleh pria ini. Terus waktu Zea masuk rumah sakit, pria ini juga yang membiayainya. Maka dari itu, banyak orang yang mengira dia pacaran dengan Dafa karena butuh duitnya saja. Padahal ia memang tulus dan nyaman dengan pria ini, walau kata orang-orang, wajah Dafa tidak setampan pria-pria yang mendekatinya di Kampus. “Uang kost udah dibayar?” tanya Dafa. “Udah. Tadi dikirim Bang Satria,” jawabnya berbohong. Padahal minta uang ke abangnya saja, belum. “Habis ini lo mau ke mana?” tanya Dafa. “Bimbingan sama Aldi rewel,” jawabnya dengan wajah kesal. Entah kenapa, setiap menyebut nama pria itu, bawaannya ingin emosi saja. Dafa berdecak kesal. “Tuh Dosen maunya apa sih? Ngajak bimbingan mulu, tapi disuruh revisi mulu.” Zea mengangkat kedua bahunya. “Lo udah sampai bab berapa sekarang?” tanyanya. “Bab lima.” Zea menghela napasnya. “Gue nggak tau, bisa ikut wisuda tahun ini apa enggak. Gue udah kehilangan semangat soalnya.” “Gue bantuin ganti Dosbing, mau?” “Percuma, Daf. Gue udah ngajuin sampai berkali-kali, tapi nggak ditindak lanjuti sama pihak Kampus.” “Tapi dia nyiksa lo, Ze. Lo jangan diem aja. Kalau kayak gini, kapan selesainya skripsi lo?” Zea mengangkat kedua bahunya lagi. “Makanya itu, gue udah pasrah. Mungkin gue emang ditakdirkan jadi Mahasiswa abadi.” “Nggak boleh gitu. Lo Mahasiswa terbaik diangkatan kita. Masa iya, lo mau nyerah begitu aja?” Terlalu asik berbicara, Zea sampai tidak sadar jika saat ini jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih. “Astaga ... udah jam delapan lebih. Pasti Aldi rewel bakal ngomel lagi ini.” Karena panik, ia pun lantas berlari meninggalkan perpustakaan menuju jalan raya untuk mencari transportasi umum. Dafa sempat menawari untuk mengantarnya tadi, tapi ia menolak karena tidak mau merepotkannya. Lagi pula di jalan raya banyak kendaraan umum, jadi untuk apa minta diantar segala? “Haduh ... mana macet banget lagi,” keluhnya. Ia memesan ojek online, tapi perkiraan sampainya masih sepuluh menit lagi. Angkot dan bis kota juga terlihat tidak bergerak, jadi menaiki kendaraan umum bukanlah opsi yang tepat, karena sepertinya macetnya agak lama. Akhirnya, ia memilih untuk berlari dari pintu masuk kampusnya menuju jalanan yang sudah terbebas dari macet. Ternyata macetnya cukup panjang. Kalau tidak terbiasa militer seperti Zea, mungkin akan pingsan di tengah jalan. Napas Zea saja sudah mulai ngos-ngosan dan kakinya juga mulai terasa sakit. Kalau bukan demi menghindari revisi, ia tidak akan mau mengorbankan nyawanya seperti ini. Hah ... hah ... hah ... Zea mengatur napasnya sejenak. Rasanya nyawanya seperti sudah diubun-ubun saat ia mulai kehabisan napasnya. Mana ia tidak membawa air minum, jadi rasanya ingin pingsan saja. Namun akhirnya, kendaraan sudah mulai berjalan dan ia segera menaiki bis kota yang berhenti di depannya. “Gila ... gue bisa mati muda kalau kayak gini terus tiap hari,” keluhnya. Sembari mengusap keringat di keningnya. Setengah jam kemudian, ia sampai di Kafe yang akan menjadi tempat untuk bimbingannya kali ini. Ia langsung turun dari busway dan berlari masuk ke dalam Kafe tersebut. Akan tetapi, ia tidak menemukan keberadaan dosennya. “Nggak mungkin kalau belum datang. Ini udah hampir jam sembilan,” gumamnya sambil melihat jam di ponselnya. Ia pun bertanya pada sang Barista. “Mas, tadi ada cowok pakai kemeja nggak, di sini? Orangnya bawa laptop, bawa buku sama bawa tas. Mukanya datar, nggak ganteng-ganteng amat, tapi kelihatan rapi.” Sang Barista mengerutkan keningnya bingung. “Nggak ada yang pakai kemeja, Mbak, dari tadi. Pada pakai kaos semua,” jawabnya. “Enggak. Orangnya nggak pernah pakai kaos. Dia itu hidupnya datar, nggak asik, terlalu serius, terlalu rapi. Ke mana-mana selalu pakai kemeja, mana kemejanya itu-itu aja lagi, kayak nggak punya duit buat beli baru,” cerocosnya. Mencaci maki sang Dosen. Barista itu menggaruk tengkuknya sambil tersenyum canggung. “Saya nggak tau, Mbak, beneran.” “Serius, Mas. Nggak mungkin saya salah Kaf- “Ehm.” Ucapan Zea terpotong dengan suara deheman yang beras dari belakangnya. Dengan gerakan lambat, ia pun memutar tubuhnya ke belakang. Dan betapa terkejutnya dia, saat bertatapan dengan seseorang yang ia caci maki sedari tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN