“Kamu telat hampir satu jam. Itu menandakan kalau kamu nggak serius dalam bimbingan,” ujar Aldi dengan raut wajah yang sangat datar.
Zea mendengus kesal. “Bapak juga telat. Masa cuma saya yang disalahin,” protesnya.
“Saya udah di sini sejak satu jam yang lalu. Karena kamu nggak datang-datang, jadi saya pergi sebentar.”
“Ya maaf atuh, Pak. Tadi macet banget soalnya. Motor aja kagak bisa gerak, apalagi mobil yang gede-gede.”
Aldi mendengus kesal. Kemudian ia mengajak Zea untuk segera duduk ke tempat duduknya yang tadi.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang mengantarkan makanan yang entah kapan pesannya, Zea tidak tahu.
“Kamu tau, saya orangnya nggak suka buang-buang waktu. Tapi kenapa masih telat, dan buat saya menunggu sampai satu jam?”
Zea menghela napasnya. Padahal tadi sudah dijelaskan, tapi masih saja bertanya.
“Ya Allah, Pak ... siapa sih yang bisa mengendalikan macet? Bapak jadi Polisi lalu lintas aja deh, biar tau gimana susahnya ngurus jalanan yang lagi macet. Orang-orang kalau pagi itu pada berangkat kerja, Pak. Dan mereka itu bawa kendaraan sendiri-sendiri. Satu mobil, satu orang. Bapak kira kita hidup di Jepang? Yang rakyatnya lebih memilih naik transportasi umum dari pada naik mobil sendiri,” cerocos Zea.
“Udah tau. Nggak usah diceramahin juga,” ketus Aldi. Membuat Zea langsung berdecak kesal seraya memutarkan bola matanya malas.
“Sangat disayangkan. Mahasiswa berprestasi tapi punya attitude jelek. Dosennya sendiri dijelek-jelekin di depan orang lain.” Aldi menyindir sembari membuka laptopnya.
Seketika Zea langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Kali ini ia tidak bisa membantah lagi, karena ia memang bersalah.
“Baru kali ini saya dicaci maki sama anak didik saya sendiri. Mana pedes banget lagi omongannya. Dibilang nggak pernah ganti kemeja, padahal tau kehidupan saya aja, enggak.”
“Ya Allah ... maafin dong, Pak. Mulut saya kalau lagi kesal sama orang emang susah dikontrol,” sahut Zea dengan wajah yang memelas.
“Padahal saya rela luangin waktu saya buat kamu, tapi kamu masih sempat-sempatnya kesal ke saya. Dosen lain mana ada yang mau bimbing anak didiknya tiap hari.”
“Lah, gue juga nggak minta bimbingan tiap hari kali,” batin Zea.
“Yaudah, saya minta maaf. Janji deh, nggak bakal diulangin lagi,” ujar Zea dengan bibir yang mengerucut kesal.
“Karena tadi kamu bilang saya nggak pernah ganti baju, jadi saya minta dua baju baru dari kamu,” ujar Aldi. Yang berhasil membuat Zea langsung membulatkan matanya lebar.
“Anjir! Udah disiksa, diporotin lagi,” batinnya kesal.
“Pak, ya Allah ... saya buat makan aja susah, apalagi buat beli baju,” keluhnya.
“Saya nggak peduli. Siapa suruh ngehina dosennya sendiri? Itu hukuman buat kamu.”
Aldi meminum kopinya sebentar. Kemudian setelah itu, ia lantas berdiri dari duduknya.
“Saya udah nggak mood buat bimbingan. Bab 1 sampai bab 3 tolong direvisi lagi. Masih banyak point-point penting yang belum kamu masukin. Karena kamu Mahasiswa yang terkenal pintar, jadi saya ingin skripsi yang sempurna dari kamu. Jangan hancurkan ekspetasi saya,” cerocosnya. Hingga membuat Zea langsung lemas seketika.
“Saya pulang dulu. Makanannya tolong dihabiskan,” pamitnya seraya berjalan pergi meninggalkan Zea.
Zea tak menanggapinya. Pikiran dia sudah kosong semenjak keluar omongan revisi dari mulut Aldi. Yang ia lakukan sekarang hanyalah terdiam dengan pandangan kosong.
Namun beberapa detik kemudian, ia berteriak dengan begitu kencang sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Hingga membuat semua orang langsung menatapnya heran.
Lama-kelamaan, teriakannya berubah menjadi tangisan. Ia menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.
“Kayak gini boleh mati aja nggak sih? Gue capek banget sumpah,” keluhnya.
Sementara itu, orang-orang hanya menatapnya prihatin. Ia tampak seperti orang stres saat ini.
***
Perlakuan Aldi tadi pagi berhasil membuat mental Zea kembali terguncang. Sore ini yang ia lakukan hanya merenung di dalam kamar kostnya. Di samping kasur, sudah banyak tisu bekas air mata yang berceceran dan di atas meja belajar, banyak sobekan kertas skripsi yang berserakan.
Yang lebih ekstrim lagi, saat ini ia tengah memegang selembar foto Aldi sambil ia tusuk-tusuk menggunakan jarum seolah sedang menyantet seseorang.
“Gue salah apa sama lo? Kenapa lo tega banget? Gue cuma pengen cepet lulus. Pengen cepet-cepet kerja lagi biar nggak nyusahin Abang gue. Tapi kenapa, lo malah halangin jalan gue?” ucapnya, sembari memandang kosong foto tersebut.
Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan dari luar kamarnya.
“ZEA! HARI INI TERAKHIR BAYAR UANG KOST. JANGAN TELAT LAGI KAU! AWAK SUDAH TAK PUNYA DUIT INI.”
Zea menghela napasnya. Itu adalah teriakan maut Ibu kost yang terdengar setiap satu bulan sekali. Biasanya kalau sudah seperti ini, wanita itu benar-benar tak punya uang. Karena kalau masih ada uang, dia suka memberi keringanan ke anak-anak kostnya untuk telat membayar. Maka dari itu Zea betah di kostan ini, meskipun tidak sebagus kostan yang lain.
“IYA, BU! NANTI SAYA TRANSFER UANGNYA!” balas Zea berteriak juga.
“AWAK TUNGGU YA, SAMPAI NANTI MALAM!”
“IYA!”
Ibu kostnya asli orang Medan, jadi cara berbicaranya masih terbawa logat sana. Meskipun kelihatannya garang, tapi sebenarnya beliau ini baik. Sering memberi Zea makanan kalau ada rezeki.
“Telfon Bang Satria aja kali ya. Udah kepepet banget ini,” ucapnya, sambil mencari nomor abangnya di ponselnya.
Tanpa menunggu lama, panggilannya langsung diangkat oleh abangnya tersebut.
“Abang ...” panggilnya dengan nada manja.
“Iya, Dek? Ada apa?”
“Zea butuh duit buat bayar kost.”
Sang Abang terdiam sebentar. Kemudian kembali menjawab, “Iya. Nanti Abang transfer ya. Sekarang Abang masih di pabrik.”
“Maafin Zea ya, masih suka nyusahin Abang. Doain Zea cepat lulus biar bisa kerja lagi. Biar beban Abang berkurang juga.”
“Ngomong apa sih? Udah ya, Abang tutup dulu telfonnya. Mau lanjut kerja.”
“Iya. Semangat kerjanya. Love you ...”
Setelah panggilan teleponnya sudah terputus, Zea langsung memandangi ponselnya sambil menghela napasnya kasar.
“Tunggu adekmu ini sukses, Bang. Nanti gue balas semua kebaikan lo selama ini,” ucapnya sendiri.
Saat ia berdiri, matanya tak sengaja memandang foto Aldi yang tergeletak di lantai.
“Apa lo lihat-lihat?! Benci banget gue sama lo! Gue doain punya istri cerewet kayak gue, lo! Biar darah tinggi mulu tiap hari,” kesalnya sambil menginjak-injak foto tersebut.