Setelah seharian menangis dan merenungi nasib, kini Zea mulai bangkit kembali. Di saat teman-temannya sedang asik bersantai di kostan, ia pergi ke Kampus untuk menjelajah buku lagi di perpustakaan.
Hal yang patut disyukuri dalam hidupnya adalah, ia masih bisa bertahan di saat semua masalah menghantamnya habis-habisan. Mentalnya terguncang, ekonomi terhambat dan kesehatan juga sedikit memburuk. Tapi tidak apa-apa, akan Zea hadapi semuanya, tapi sambil nangis dikit.
“Gila lo, Ze! Kuat banget lo jadi orang. Skripsi sebagus ini aja masih disuruh revisi. Apa kabar punya gue? Disuruh ganti sejudul-judulnya kali ya?” cerocos temannya.
Namanya Caca. Satu-satunya teman dekat Zea yang setia menemani Zea dari awal masuk kuliah sampai sekarang.
Zea menghela napasnya panjang. “Ya mau gimana lagi? Life is not gwenchana. Dikasih waras sama Tuhan aja udah Alhamdulilah,” ucapnya.
“Gue kalau jadi lo udah tantrum sih.”
“Gue tantrum tiap hari, Ca. Bahkan banyak orang yang nganggap gue gila, padahal gue cuma meluapkan emosi aja.”
“Parah emang, Pak Aldi ini. Apa karena nggak nikah-nikah ya? Makanya sensi mulu.”
“Tau, dah. Nikahin gih.”
“Lo aja deh.”
“Kalau gue yang nikahin, belum ada sebulan, udah masuk tanah dia.”
Sontak Caca langsung tertawa terbahak-bahak. Terkadang mulut Zea ini memang sedikit mengerikan.
“Jangan terlalu benci, Ze. Takutnya jodoh beneran,” goda Caca. Membuat Zea langsung menatapnya tajam.
“Banyak cowok waras di dunia ini. Ngapain gue nikah sama Om-om rewel? Bisa mati muda gue,” balasnya sewot.
“Ya siapa tau, kan? Namanya juga jodoh. Sama kayak kematian, nggak bisa dihindari.”
Zea berdecak kesal. Ia tidak menanggapi ucapan temannya lagi. Fokus pada laptop yang sedari tadi menganggur di depannya.
“Lo udah makan?” tanya Caca.
“Udah. Makan mie instan,” jawabnya.
“MIE INSTAN LAGI?!” pekik Caca.
“Ya terus apalagi kalau bukan mie instan? Gue nggak ada duit buat beli nasi. Kemarin dikirim Bang Sat cuma cukup buat bayar kost aja.”
Caca menghela napasnya sambil menatap Zea iba. “Lo udah gak nganggap gue teman?” tanyanya. Namun tidak dipedulikan oleh Zea, karena ia sudah tahu arah pembicaraan Caca.
“Gue udah sering nawarin lo beras, tapi lo nggak pernah mau ambil ke kostan gue. Sampai kapan lo mau hidup kayak gini? Sayangi tubuh lo, Ze. Lo masih muda,” ujar Caca.
“Gue nggak mau ngerepotin orang, Ca. Selama masih ada makanan yang masuk ke perut gue, gue bakal baik-baik aja. Lagian rice cooker gue udah nggak bisa dipakai, jadi gue nggak bisa masak nasi lagi.”
“Sesama anak rantau, gue tau gimana susahnya hidup di kostan. Gue juga bukan orang kaya, tapi untuk masalah makanan, InsyaAllah gue selalu ada. Jadi nanti pulang dari Kampus, ambil beras di kostan gue, terus gue antar beli rice cooker baru.”
Tanpa mereka sadari, pembicaraan mereka didengar oleh seseorang yang bersembunyi dibalik rak buku perpustakaan.
***
Zea dan Caca keluar dari perpustakaan pada jam sebelas siang. Rencananya, mereka akan pergi ke kantin untuk makan siang. Akan tetapi, ada seorang pria gendut yang menghalangi jalan mereka.
“Ze, dipanggil Pak Aldi ke ruangannya,” ujar pria itu.
Wajah Zea langsung bad mood seketika. Ia pun hendak berjalan pergi, namun langsung ditahan oleh pria itu.
“Penting banget katanya. Ini menyangkut skripsi lo.”
Zea berdecak kesal. “Bilang ke dia, gue juga manusia! Butuh makan, butuh minum, butuh istirahat. Gue hidup bukan untuk mengabdi ke dia,” ucapnya menggebu-gebu. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Bahkan di saat ia sedang kelaparan, pria itu masih saja mengganggunya.
“Demi Tuhan, Ze ... ini penting banget. Kalau lo nggak mau ke sana, nanti gue yang kena marah.”
Pria itu masih mencoba membujuk dengan wajah yang dibuat semelas mungkin. Hingga membuat Zea pada akhirnya luluh.
Zea pun berjalan menuju ruangan Aldi dengan wajah yang merengut kesal dan bibir yang terus menggerutu.
Sesampainya di depan ruangan Aldi, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hingga membuat Aldi yang sedang fokus mengetik langsung menatapnya kaget.
“Bapak bisa nggak sih, sehari aja nggak ganggu saya? Saya capek, Pak, mikirin skripsi mulu tiap hari. Kasih saya kesempatan buat istirahat sehari aja. Saya juga manusia. Saya bisa gila kalau terus-terusan ditekan kayak gini,” cerocosnya. Mengeluarkan semua unek-uneknya tanpa takut dimarahi oleh Aldi.
Pengaruh Aldi memang luar biasa. Dulu sebelum memasuki era skripsi, mana berani Zea bersikap seperti ini. Berbicara dengan temannya saja lemah lembut, apalagi dengan Dosen-dosennya. Sayangnya ia sudah berubah. Sekarang lebih emosional dan kasar kalau berbicara, akibat dari kondisi mentalnya yang tidak stabil.
“Duduk,” perintah Aldi dengan raut wajah yang sangat datar.
Meskipun sedang marah, tapi Zea tetap menuruti perintahnya. Ia duduk di depan pria itu dengan wajah yang masih merengut kesal.
“Makan ini,” suruhnya. Sambil mendorong satu kotak makanan ke depan Zea. Tak hanya itu, ia juga memberi sekantong buah-buahan dan satu botol air mineral.
Zea mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya pria itu bersikap baik seperti ini.
“Tadi saya salah pesan. Niatnya mau beli ayam, tapi datangnya daging. Karena saya alergi daging, jadi mending kamu makan aja dari pada kebuang. Ini buahnya sekalian bawa juga. Tadi dikasih sama Bu Risma,” ucapnya lagi. Dengan raut wajah yang masih datar.
“Tumben baik ke saya? Jangan-jangan habis ini mau dikasih beban yang lebih berat lagi.” Wajar kalau Zea curiga, karena Aldi yang selama ini ia kenal adalah sosok yang sangat pelit dan tidak pernah peduli dengan orang lain.
“Saya nggak ada niat jelek. Kalau kamu nggak mau, buang aja ke tong sampah,” ketus Aldi.
Zea membulatkan matanya lebar. Semudah itu dia menyuruh membuang makanan? Tidak tahu saja, kalau setiap harinya masih banyak orang yang kelaparan.
Membuang semua rasa gengsinya, Zea pun lantas mengambil makanan tersebut sambil berkata dengan ketus, “Yaudah, makasih.”
“Hmm,” sahut Aldi cuek tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Tepat setelah Zea keluar dari ruangan tersebut, seorang Satpam masuk ke dalam sambil membawa satu kantong berukuran besar yang entah berisi apa.
“Pak, ini kembalian buah yang tadi. Terus ini sembakonya ,” ujar pria itu. Seraya meletakkan beberapa lembar uang dan sebuah kantong besar di atas meja Aldi.
“Iya, makasih. Sembakonya tolong dikirim ke alamat ini.”
Aldi menyerahkan secarik kertas berwarna putih yang berisi alamat tempat tinggal seseorang. Sedangkan pria itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Kemudian ia lantas mengambil kembali kantong tersebut dan membawanya keluar dari ruangan.