Selesai membeli rice cooker baru, Zea langsung diantar Caca pulang ke kostnya. Meskipun anak rantau, tapi Caca memiliki motor di sini. Hal itu yang terkadang membuat Zea merasa terbantu. Ketika uangnya tidak cukup untuk menaiki kendaraan umum, ia bisa menebeng Caca atau meminjam motornya sebentar.
“Lo bawa rice cooker aja. Berasnya biar gue angkat,” ujar Zea seraya mengangkat satu karung beras berukuran kecil.
Caca memang baik sekali. Persediaan berasnya yang masih utuh ia berikan semuanya ke Zea. Ia tidak takut kekurangan, karena setiap bulannya, orang tuanya yang di kampung selalu mengiriminya beras dan bahan sembako yang lain.
“ZEA!” teriak sang Ibu kost saat melihat Zea dan temannya yang hendak berjalan memasuki kamar kostnya.
Zea menghampirinya, lalu Ibu kostnya terlihat sedang mengambil sesuatu yang disimpan di atas mejanya.
“Ada apa Kanjeng Ratu? Kan uangnya udah ai transfer,” ujar Zea dengan gaya centil. Dia kalau lagi waras memang asik banget orangnya. Tapi kalau lagi stres, jangan aneh-aneh deh. Bertanya saja kadang dibentak sama dia.
“Ini, Ibu ada sedikit rezeki buatmu.”
Zea mengerutkan keningnya bingung. Namun ia tetap mengambil kantong besar yang diserahkan oleh wanita itu.
“Apa ini?” tanya Zea.
“Sembako. Tadi dapat bantuan dari Bu RT. Karena punya awak masih banyak, jadi buat kau saja lah.”
“Ih, baik kali lah Ibu ini. Jadi tak enak awak,” ujar Zea. Menirukan logat berbicara Ibu kosnya.
“Lebay kali kau ah. Udah, sana pergi. Awak mau lanjut bersih-bersih,” usirnya.
Zea tertawa kecil. Kemudian ia lantas berjalan menaiki tangga, menyusul Caca yang sudah pergi ke kamarnya terlebih dahulu.
“Bawa apa lo?” tanya Caca. Saat melihat Zea yang masuk ke dalam kamar sambil membawa kantong besar.
“Sembako. Dikasih Ibu kost,” jawab Zea.
“Hoki banget lo hari ini. Habis dapat makanan dari Dosen kesayangan, sekarang dapat sembako dari Ibu kost.”
“Dosen kesayangan Bapak lo!” sewot Zea. Membuat Caca langsung tertawa terbahak-bahak.
Kemudian Zea duduk di lantai dan membuka kantong tersebut untuk melihat apa saja isinya.
“Wih ... minyak 2 liter, gula, garam, sayur, telur, s**u, daging ayam, daging sapi. Baik banget dah, Ibu kos lo. Ini mah seminggu kagak usah belanja,” seru Caca yang ikut bersemangat melihat Zea unboxing sembakonya.
“Kok gue agak curiga ya,” ujar Zea.
“Curiga kenapa?”
“Masa sembako ada vitaminnya?” Zea menunjukkan dua botol vitamin tersebut. Hingga membuat Caca ikut mengerutkan keningnya bingung.
“Lah, iya ya. Nggak sengaja dimasukin kali, sama Ibu kost lo.”
“Ini sembako dari Bu RT.”
“Oh, mungkin itu program dari pemerintah. Soalnya sekarang kan musimnya orang sakit, jadi dikasih vitamin buat menjaga daya tahan tubuh.”
Zea berpikir sebentar. Kemudian ia lantas menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Iya, bisa jadi.”
***
“Papa ...” Seorang bocah kecil berlari menghampiri sang Papa yang sedang duduk santai di depan kolam sambil berteriak memanggil namanya.
Aldi menutup bukunya. Kemudian menatap sang anak yang sedang berdiri di depannya. “Kenapa?” tanyanya.
“Sena bawa foto calon istri buat Papa.”
Aldi langsung membulatkan matanya lebar. Bocah lima tahun sudah mengerti perihal istri dan calon istri? “Fiks, ini ajaran si Malik,” batinnya kesal.
“Pilih salah satu ya. Mau yang ini, apa ini?” tanyanya, sambil menunjukkan kedua foto yang ia bawa.
Aldi menghela napasnya. Masalahnya, foto yang anaknya bawa adalah foto Artis transgender yang sudah terkenal di negaranya. Bagaimana ceritanya coba, ia dijodohkan dengan wanita jadi-jadian? Agak lain memang anaknya ini.
“Sena ... foto yang kamu bawa itu bukan Tante Yanti, tapi Tante Yanto. Kamu mau, Papa nikah sama dia? Emang nggak takut? Dia itu kayak penyanyi yang biasanya kamu lihat di pasar malam,” tutur Aldi. Mencoba untuk menjelaskan pada sang anak yang masih polos.
“Hah? b*****g maksudnya?” tanya Sena.
“Iya. Kamu dapat foto ini dari mana?”
“Dari Om Malik.”
Aldi menghela napasnya lagi. Benar dugaannya. Adiknya itu memang kurang ajar. Anak sekecil Sena sudah mulai dicuci otaknya dengan hal-hal seperti ini. Lihat saja setelah ini, ia akan menghabisinya kalau bertemu.
“Kok Om Malik jahat sih sama Sena? Padahal Sena pengen punya Mama beneran,” ujar Sena dengan wajah yang tertunduk lesu.
Aldi mengangkat tubuh bocah itu, lalu ia dudukkan di atas pangkuannya.
“Kenapa sih, Sena pengen banget punya Mama? Emang Papa Al aja nggak cukup?” tanya Aldi dengan selembut mungkin.
Dengan wajah yang cemberut, Sena pun menjawab, “Sena malu diledekin terus sama teman-teman Sena. Katanya, Sena itu anak pungut.”
“Sena bukan anak pungut. Sena punya Mama, tapi mamanya Sena udah pergi ninggalin Sena.”
“Pergi ke mana?”
“Papa juga nggak tau dia pergi ke mana. Udah ya, jangan sedih lagi. Kalau temannya ngeledekin, diemin aja. Yang penting Sena masih punya Papa, punya Sean, punya Nenek, punya Om Malik. Okey?”
Aldi tak mau ribet menjelaskan tentang keberadaan mantan istrinya pada sang anak. Belum saatnya Sena dan Sean mengetahui semuanya, maka dari itu ia menjawab seadanya saja.
Namun tanpa ia sadari, jawabannya itu membuat sang anak semakin sedih. Bocah itu pun lantas turun dari pangkuan papanya dan berlari memasuki kamarnya dengan wajah menahan tangis.
Di atas kasur, ia menumpahkan tangisannya sambil memeluk guling yang ia jadikan sebagai penutup wajahnya.
***
Jakarta
08.00
Pagi ini Zea pergi ke Kampus lagi untuk menyetorkan revisian skripsinya sekaligus memulai bimbingan bab empat. Karena Aldi baru sampai di kampus jam 9, jadi ia pergi ke perpustakaan terlebih dahulu untuk membaca-baca buku sambil meneliti skripsinya lagi.
“Zea ...”
Zea menoleh ke samping. Biang kerok yang selama ini menjadi musuhnya datang menghampirinya dengan wajah tengil.
“Kemarin lo nyari buku ini, kan?” tanya wanita itu, seraya menunjukkan buku yang ia pegang pada Zea.
Zea mengangguk dengan semangat. Matanya langsung berbinar-binar saat melihat buku yang selama ini ia cari-cari.
“Gue bakal kasih buku ini ke lo, tapi lo harus bantuin gue nyari buku pengantar ilmu hukum.”
Lagi-lagi Zea mengangguk. Soal mencari buku di perpus mah Zea jagonya. Ia hampir hafal letak-letak buku Hukum yang ada di perpustakaan ini.
“Okey, tunggu bentar ya.”
Seolah melupakan permusuhannya, Zea pun lantas mencarikan bukunya dengan semangat. Sementara itu, wanita itu menunggunya di tempat duduknya tadi.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa buku yang diinginkan oleh temannya. Mereka pun lantas bertukar buku tersebut, lalu temannya segera pergi meninggalkan dirinya.
Zea tersenyum senang melihat buku yang selama ini dicarinya. Ia pun lantas mencium buku tersebut, lalu kembali fokus ke laptopnya lagi. Akan tetapi, sekujur tubuh Zea langsung menegang saat tak mendapati file skripsinya di laptop. Padahal tadi sebelum ia pergi, filenya belum ia cancel. Posisinya laptopnya masih membuka Microsoft word. Dan ketika dicari dipenyimpanan, ia tak menemukannya sama sekali.
“Tenang ... rileks. Siapa tau lo salah simpan,” ucapnya. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Dengan pikiran yang sudah tidak karuan, ia pun lantas mencarinya diseluruh penyimpanan di laptopnya. Akan tetapi, file skripsinya itu benar-benar tidak ada. Bahkan di recycle bin pun tidak ada.
Karena sudah terlalu panik, akhirnya Zea hanya bisa menangis. Tangannya bergetar dan wajahnya mulai memucat. Sampai akhirnya, ia terduduk lemas di lantai dengan tangan yang memeluk kedua lututnya, sambil menangis tanpa suara seperti orang yang sedang ketakutan.
“Zea,” gumam Aldi yang tak sengaja melihat Zea dari pintu perpustakaan. Ia pun lantas berlari menghampiri wanita itu dengan wajah yang sangat panik.