9. Bertemu si kembar

1071 Kata
Setelah menunggu selama kurang lebih satu jam, akhirnya orang yang Aldi tunggu-tunggu menampakkan batang hidungnya juga. Sebenarnya ia sudah bad mood, tapi ia tak tega mengusirnya. Ia perhatikan wanita itu dari lantai dua rumahnya. Terlihat masih riweuh membayar ongkos ojeknya sambil membawa satu kantong putih yang entah berisi apa. Ketika wanita itu sudah mulai memasuki halaman rumahnya, ia buru-buru langsung turun ke bawah. Suara bel di rumahnya pun mulai terdengar, membuat ia cepat-cepat langsung membuka pintunya. “Assalamualaikum ...” ujar Zea seraya tersenyum manis. “Waalaikum salam,” balas Aldi dengan raut wajah datar. Zea langsung masuk ke dalam ketika sudah dipersilahkan oleh Aldi. Ia duduk di ruang tamu. Sementara itu, Aldi masuk ke dalam lagi untuk mengambil air minum. “Telat satu jam. Nggak niat bimbingan atau udah males ngerjain skripsi?” tanya Aldi ketus, seraya meletakkan air minumnya di meja. “Tadi Bapak ngajaknya pas saya lagi masak, jadi nanggung. Sekalian saya lanjutin aja masaknya. Nih, saya bawa kue buat Bapak. Cobain. Kalau enak, nanti diorder lagi,” cerocos Zea seraya menyerahkan kantong tersebut pada Aldi. Ia sudah tidak peduli lagi dengan omelan Aldi. Niatnya datang ke sini bukan hanya untuk bimbingan saja, tapi untuk mempromosikan dagangannya juga. Aldi berdecak kesal. Ia kemudian membuka kantong tersebut dan mengeluarkan dua cup kotak yang berisi kue brownis. “Kamu jualan?” tanya Aldi. Zea mengangguk semangat sambil tersenyum manis. “Nanti order lagi ya, kalau Bapak suka,” ucapnya. Meskipun Aldi bukan target marketnya, tapi ia yakin, pria itu pasti menyukainya. Karena ia pernah mendengar kalau Aldi lebih suka makanan yang manis-manis dari pada yang asin-asin. “Ini namanya apa?” tanya Aldi, setelah mencoba satu suap sendok. “Dessert box,” jawab Zea. Aldi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Enak. Pintar juga ya kamu,” pujinya. Yang berhasil membuat Zea langsung tersenyum senang. “Iya, dong. Mau order nggak? Kalau mau, besok langsung saya buatin.” “Berapa harganya?” “40 ribu.” “Mahal amat.” “Kalau mau yang murah ya beli kue cubit aja, Pak. Cuma goceng udah dapat lima biji,” cetus Zea menahan kesal. Yang namanya dessert box di mana-mana ya pasti mahal. Ada harga, ada rasa. Proses pembuatannya juga tidak semudah membuat kue cubit dan bahan yang dipakai juga lebih banyak dari kue cubit. Aldi tertawa kecil. “Yaudah, saya pesan lima deh.” Mata Zea membulat sempurna dengan mulut yang menganga lebar. “Serius?” tanyanya tak menyangka. Aldi tak menanggapi pertanyaan Zea. Namun ia berkata, “Buka laptop kamu. Sekarang waktunya fokus ke skripsi. Promosi jualannya udahan dulu.” “Tapi Bapak jadi order beneran, kan?” “Iya,” balas Aldi kesal. Namun berhasil membuat Zea langsung tersenyum senang. Di saat Zea mulai bersiap-siap membuka laptopnya, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar rumah. Dan beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka. Dua anak kecil masuk ke dalam sambil berteriak, “ASSALAMUALAIKUM, PAPA ...” Sontak Zea langsung membulatkan matanya lebar. Apalagi di saat kedua bocah itu menghampiri Aldi sambil mencium kedua pipinya, ia semakin tidak bisa berkata-kata melihatnya. “Anjir, ternyata dia udah punya anak,” batin Zea. Ini jauh lebih mengejutkan dari pada berita Aldi yang katanya homo. Siapa sih menyangka? Orang yang selama ini digadang-gadang anti perempuan ternyata sudah memiliki dua anak. Zea yakin, semua teman-temannya juga pasti akan terkejut mendengarnya. “Ganti baju dulu. Seragamnya taruh di mesin cuci,” suruh Aldi. “Itu siapa?” tanya Sena. “Muridnya Papa,” jawab Aldi. “Yang kemarin nggak jadi ke sini itu ya?” tanyanya lagi. “Iya.” Zea hanya tersenyum canggung. Ia dibuat heran saat bocah perempuan itu menatapnya dengan wajah kesal. “Kakak ngeselin, ih. Aku nungguin Kakak sampai ketiduran.” Zea kembali dibuat terkejut. Untuk apa menunggu dirinya? Padahal bertemu saja baru kali ini. “Sena, jangan kurang ajar. Sana masuk ke dalam,” tegur Aldi. Sena mengerucutkan bibirnya kesal. Ia kemudian menyusul saudara kembarnya yang sudah berlari ke dalam lebih dulu. “Itu beneran anaknya Pak Aldi?” tanya Zea yang masih tidak percaya. Aldi mengangguk singkat. Ia kembali fokus memakan kuenya lagi. “Haduh ... saya jadi nggak enak sama istri Bapak. Masa urusan Kampus dibawa ke rumah? Nggak baik ah. Takut jadi fitnah.” “Saya nggak punya istri.” Zea kembali dibuat terkejut untuk yang ketiga kalinya. Punya anak tapi tidak punya istri? Ini adalah hal yang sangat membagongkan. Sebenarnya masih penasaran, tapi Zea tidak mau bertanya lagi, karena raut wajah Aldi sudah tidak enak. Aldi pun memulai bimbingannya. Akan tetapi beberapa menit kemudian, Sena kembali menghampiri dirinya dengan wajah yang cemberut. “Papa ... Sena lapar,” rengek bocah itu. “Iya. Nanti Papa beliin makanan kalau kakaknya udah selesai belajar,” balas Aldi. “Maunya sekarang,” rengeknya lagi sambil bergelayut manja di lengan papanya. Aldi menghela napasnya. Ada saja halangan ketika mengajak Zea bimbingan. “Mau makan apa? Burger atau pizza?” tanya Aldi seraya membuka ponselnya. Untuk kali ini saja, ia akan membiarkan anaknya memakan junk food. Karena biasanya, kedua anaknya itu merengek meminta dibelikan kedua makanan itu. Sesekali tidak apa-apa, asal tidak terlalu banyak. “Nasi goreng aja kayak biasanya.” “Papa nggak bisa. Makan seadanya aja. Jangan cerewet. Nenek kamu lagi nggak ada,” ketus Aldi. Membuat Sena langsung mengerucutkan bibirnya kesal. “Mau Kakak masakin nggak?” Tiba-tiba Zea menawarkan diri. Ia tidak tega melihat wajah Sena yang seperti ingin menangis. “Emang Kakak bisa?” tanya bocah itu. Sedangkan Aldi hanya menatap Zea datar. “Bisa, dong. Masak nasi goreng, bisa. Omelet, bisa. Chicken katsu, bisa. Sayur sop juga bisa,” jelas Zea dengan wajah yang sumringah. Hingga membuat bocah itu langsung tersenyum senang. “Sena mau omelet,” ucapnya. “Boleh nggak, Pak?” tanya Zea pada Aldi. Aldi hanya mengangguk singkat. Kemudian Zea lantas berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya ke depan Sena. “Ayo. Anterin Kakak ke dapur,” ajaknya. Sena langsung menggandeng tangannya dengan semangat. Saking senangnya, Sena sampai berjalan sambil loncat-loncat. Hingga membuat Zea tertawa kecil melihatnya. Sesampainya di dapur, Zea langsung memakai apronnya. Setelah itu, ia membuka kulkas untuk mengambil telur dan beberapa bahan masakan lainnya. Sementara itu, Sena menunggunya di kursi bar sambil memakan es krimnya. “Kakak mau es krim?” tawar bocah itu. Zea menggeleng sambil tersenyum. “Nggak mau. Kakak lagi pilek.” “Kalau jadi mamanya Sena, mau nggak?” celetuk bocah itu, yang berhasil membuat Zea langsung membulatkan matanya lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN