Empat

1951 Kata
Rabu (10.43), 26 Mei 2021 --------------------- Freddy sibuk membetulkan lilitan perban di lengan hingga bahunya. Dia mencoba mengulurkan lengannya untuk memastikan gerakannya tidak terganggu. Lelaki itu menyeringai saat menyadari lengannya persis seperti molen putih besar. Freddy menoleh menatap Gabriel yang sibuk menulis sesuatu. “Apa yang sedang kau tulis, Gabe?” Gabriel menyahut tanpa melihat Freddy. “Aku sedang menulis keterangan bahwa tulang lenganmu sudah hancur menjadi serpihan hingga tidak bisa disambung lagi. Jadi aku merekomendasikan untuk segera dilakukan amputasi.” Freddy terkekeh. “Kau sungguh lucu, Gabe.” Gabriel mengabaikan komentar Freddy dan terus melanjutkan kegiatannya. Mendadak Freddy turun dari ranjang rumah sakit lalu menghampiri Gabriel. Lelaki itu mengintip tulisan Gabriel. “s**t! Kau benar-benar menulis seperti itu.” Freddy langsung merebut kertas dari papan klip yang digenggam Gabriel. Dia membacanya lagi untuk memastikan dirinya salah. “Astaga, Gabe. Kau adik yang sangat kejam.” “Kau bilang ingin cuti. Kau bisa mendapat cuti panjang jika lenganmu diamputasi, kak.” Sahut Gabriel ketus. “Aku bilang hanya dua minggu. Kalau seperti ini kau bisa membuatku kehilangan pekerjaan.” Sungut Freddy sambil merobek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah. “Papa pasti senang jika kau berhenti menjadi polisi. Dia jadi memiliki penerus perusahaannya.” Freddy melipat lengan di d**a sambil menatap adiknya lekat-lekat. “Kau selalu saja membujukku untuk meneruskan bisnis papa. Kenapa tidak kau saja yang melakukannya?” Gabriel membalas tatapan mata abu-abu milik kakaknya. “Aku tidak tertarik dengan bisnis papa. Lagipula kaulah anak tertua, kak. Kau yang lebih berhak menjadi penerus papa.” “Aku juga tidak tertarik dengan bisnis papa. Dari dulu impianku menjadi polisi.” “Baiklah, terserah. Setidaknya berhentilah bersikap kekanak-kanakan, kak. Mau sampai kapan kau terus menjahili orang lain? Usiamu sudah tiga puluh tahun tapi kelakuanmu masih seperti remaja.” Gabriel mengomel sambil mencari-cari sesuatu di kotak obatnya. Tiba-tiba Freddy terbahak. “Aku sudah bukan remaja lagi. Buktinya tidak ada yang pernah mengirimku pulang ke rumah mama dan papa lagi.” Gabriel hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah kakaknya. Dia jadi ingat dulu papa mereka pernah mengirim kakaknya ke sekolah asrama karena dia membakar gudang jerami milik tetangga yang seorang peternak sapi. Ketika ditanya alasannya, Freddy dengan santai mengatakan bahwa dia kesal ketika melihat tetangganya itu memberi cap pada sapi-sapi mereka dengan besi panas. Saat itu, Gabriel yang masih SD dan mamanya menangis sepanjang malam karena kepergian Freddy. Baru sebulan berlalu ketika kakaknya dikirim pulang oleh ketua asrama. Mereka mengaku tidak sanggup mengurus Freddy hingga membuat papa mereka semakin murka. Freddy dengan senang hati bercerita kepada Gabriel bahwa dia pernah mengganti mentega dengan sabun colek untuk cuci piring, melepaskan katak ke kamar para pengurus asrama ketika malam, mengunci anak-anak yang tidak disukainya ke gudang, atau melempar makanan ke wajah temannya ketika makan siang bersama hingga terjadi perang lempar makanan. Dua hari kemudian papa mereka kembali mengirim Freddy ke asrama yang lain. Gabriel kembali kehilangan sang kakak. Berbeda dengan Freddy. Tidak pernah ada rasa takut dalam dirinya meski ia masih remaja dan harus beradaptasi di lingkungan baru. Baginya hidup untuk bersenang-senang. Seperti sebelumnya, baru sebulan berlalu Freddy kembali dipulangkan dengan alasan yang sama. Papanya masih belum menyerah. Freddy kembali dikirim ke asrama namun untuk yang ketiga kalinya itu dia hanya bertahan selama dua minggu. Sang mama yang biasanya selalu menurut karena begitu menghormati semua keputusan papanya akhirnya turun tangan. Dengan lembut dia menanyakan impian Freddy dan berusaha mendorong putranya itu untuk mengejar impiannya. Saat itulah Freddy mengatakan ingin menjadi polisi. Tanpa pikir panjang papa mereka langsung mengirim Freddy ke rumah salah satu kerabat yang merupakan perwira tinggi di kepolisian. Setelah itu orang tua mereka tidak pernah mendapat keluhan lagi tentang Freddy. Mereka pikir Freddy sudah berubah. Gabriel juga berpikir begitu. Ketika Gabriel menjadi dokter, dia mulai mengetahui bahwa kakaknya masih belum berubah. Freddy sering memanfaatkan profesi Gabriel demi mencapai tujuannya. Gabriel tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut karena dia percaya pada kakaknya. Hanya saja, sikap kekanak-kanakan Freddy sering membuat Gabriel kesal. Seperti yang terjadi sekarang. Bukan hanya satu dua orang yang Freddy jahili. Melainkan seluruh kota yang pasti akan membicarakan kecelakaan itu. “Hei, Gabe. Tidakkah seharusnya lenganku digendong? Maksudku, ada perban yang dililitkan dari lengan ke leher sehingga lenganku seperti digantung.” Freddy memperagakan penjelasannya. “Biasanya pasien yang lengannya patah diperban seperti itu, kan?” “Lakukan saja sendiri.” Sahut Gabriel acuh sambil menyiapkan suntikan. “Aku tidak bisa melakukannya sendiri.” Freddy duduk di tepi ranjang sambil mengamati lengannya. “Ayolah, Gabe. Bantu aku agar terlihat seperti pasien sungguhan.” “Akan kupatahkan lenganmu dulu agar kau terlihat seperti pasien sungguhan.” Gabriel mendekati Freddy lalu mendorong d**a telanjang kakaknya hingga ia rebah di atas ranjang. Tanpa peringatan, Gabriel memberikan suntikan di lengan Freddy yang tidak dibalut perban. “Apa yang kau lakukan?” “Aku tidak mau kehilangan pekerjaan gara-gara dirimu, kak. Untuk ukuran pasien yang baru saja mengalami kecelakaan, kau terlihat sangat segar. Jadi aku memberimu suntikan obat bius.” “Kau tidak perlu melakukan itu. Aku sangat pandai berakting.” Freddy hendak bangkit namun tubuhnya mulai terasa lemas. Ternyata obat yang diberikan Gabriel bekerja sangat cepat. “Mulai saja aktingmu. Aku akan mengijinkan teman-temanmu masuk.” Gabriel menghela nafas sambil menghamparkan selimut menutupi tubuh Freddy hingga ke perut. “Aku hanya berharap kecelakaan itu tidak diliput media. Kalau papa sampai mendengar ini dan tahu bahwa ini salah satu kenakalanmu, dia pasti akan membunuhmu.” Setelah itu Gabriel keluar dari ruang rawat Freddy. Di luar ada tiga orang yang sedang menunggu kabar mengenai Freddy. Dua orang merupakan petugas polisi dan satu orang lagi adalah wanita cantik yang terlihat cemas dan panik namun berusaha menyembunyikannya. “Bagaimana kondisi rekan saya, dok?” tanya salah satu polisi. “Ada retakan kecil di lengan kirinya dan persendian bahunya terkilir. Mungkin itu disebabkan karena posisi jatuhnya.” Kedua polisi itu saling berpandangan. “Apa dia akan cepat pulih, dok?” polisi yang tadi kembali bertanya. “Tuan Freddy hanya butuh kurang lebih dua minggu istirahat total. Setelah itu dia sudah bisa kembali bekerja tapi tetap tidak boleh melakukan pekerjaan berat sampai dua bulan mendatang.” Gabriel menunduk melihat jam tangannya. “Saya masih harus mengurus pasien yang lain. Anda sudah bisa menemuinya. Tuan Freddy baru saja sadar. Setelah pengaruh obat biusnya hilang, dia sudah boleh pulang.” “Sungguh? Komandan Freddy tidak perlu dirawat inap?” polisi yang satu lagi akhirnya buka suara. “Tidak perlu. Dia hanya harus melakukan check-up tiap minggu. Sebaiknya saya permisi sekarang.” Gabriel langsung pergi meninggalkan mereka. Dalam hati dia merutuki kakaknya karena berhasil membuat dirinya menjadi seorang pembohong. Agus menoleh menatap rekannya. “Briptu Adi, segera hubungi markas untuk memberitahu kondisi Komandan Freddy.” Lalu Agus menoleh pada Ratna garang. “Ayo ikut masuk! Kau harus melihat akibat perbuatanmu pada rekan kami. Setelah itu kau harus bersiap menerima tuntutan.” Ratna menelan ludahnya dengan panik, namun ia membalas tatapan garang Agus. “Aku tetap merasa tidak menabraknya. Kalau kalian menuntutku, aku akan menuntut balik.” Agus menyeringai sinis. “Kita lihat saja. Apa kau masih bisa mengelak dari hukuman setelah semua keterangan saksi dan pernyataan dokter dikumpulkan.” Kecemasan Ratna meningkat. Namun dia tetap menampilkan ekspresi dingin ketika melewati Agus dan lebih dulu masuk ke ruang rawat Freddy. Lelaki itu sedang berbaring lemah dengan bertelanjang d**a. Lengan dan bahunya sudah dibalut perban. Matanya tertutup rapat. Walaupun saat ini Ratna sangat membenci polisi satu ini, dia tetap tidak bisa menahan kekaguman ketika melihat perut dan d**a Freddy yang gagah. Ratna tidak mendekat. Hanya memandang Freddy dari ujung ranjang. “Freddy, apa kau tidur?” Agus yang memilih berdiri di samping Freddy menyapa. Perlahan Freddy mengangkat kelopak matanya. Tatapan Freddy yang biasanya tegas kini tampak layu. Seluruh tubuhnya mati rasa. Untung saja Gabriel tidak membius total dirinya. “Bagaimana perasaanmu?” “Buruk.” Jawab Freddy lemah. “Aku tidak bisa merasakan seluruh tubuhku.” “Itu karena kau masih dalam pengaruh obat bius.” Agus menoleh menatap Ratna sejenak lalu kembali menatap Freddy. “Aku akan segera mengajukan tuntutan terhadap wanita ini.” Freddy menoleh dengan lemah untuk menatap Ratna lalu pandangan mereka bertemu. Ego Ratna menolak untuk memohon agar dirinya tidak dituntut namun akal sehatnya memaksa untuk melakukan hal itu. Ternyata akal sehatnya yang menang. “Pak, saya mohon jangan tuntut saya. Anda yang paling tahu bahwa saya tidak berniat menabrak anda. Saya hanya berusaha menghindari anda.” Agus menggeram marah. “Apa itu pembelaan dirimu? Menghindari polisi yang memintamu untuk berhenti sudah merupakan suatu pelanggaran.” “Agus, tenanglah.” Sahut Freddy dengan suara lemah. “Ratna, jangan khawatir. Aku tidak akan menuntutmu.” Ucapan Freddy membuat Ratna bisa bernafas lega. “Tapi,” lanjut Freddy. “sebagai penegak hukum aku tidak bisa melakukannya. Siapapun yang bersalah harus tetap mendapat hukuman.” Ratna mendengus kesal pada Freddy. “Itu artinya kau tetap akan menuntutku, kan?” Freddy tersenyum lembut. “Aku hanya ingin memintamu untuk merawatku sampai aku bisa kembali bekerja.” Ratna melongo mendengar permintaan Freddy. Agus juga terkejut namun akhirnya dia terkekeh. “Kau yakin dengan permintaanmu itu? Wanita ini sudah nyaris membunuhmu.” Tanya Agus masih dengan senyum gelinya. “Aku yakin.” “Apa maksudmu?” tanya Ratna dengan mata melebar. “Kau pikir aku mau merawatmu?” “Kau sungguh tidak tahu terima kasih.” Desis Agus. “Komandan Freddy sudah membebaskanmu dari tuntutan hukum. Atau sebenarnya kau lebih suka mendekam di penjara?” Ratna menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. “Bukan begitu. Aku masih harus bekerja. Bagaimana caraku merawatnya?” “Kalau begitu, sampai aku sembuh nanti kau harus tinggal di rumahku. Dengan begitu kau masih tetap bisa bekerja.” Ratna kembali melongo sambil menatap Freddy. Entah dosa apa yang telah dilakukannya hingga ia terjebak dalam situasi seburuk ini. Ratna memejamkan mata sejenak. Bayangan pertemuan pertamanya dengan Freddy melintas. Saat itu Freddy mengancam akan menilangnya jika ia tidak memberikan nomor ponselnya pada lelaki itu. Sekarang polisi gila itu mengancam akan menuntutnya jika Ratna tidak mau merawatnya. Selanjutnya apa lagi? Ratna membuka matanya kembali lalu menatap Freddy tajam. “Dua minggu. Aku hanya mau merawatmu selama dua minggu karena menurut dokter kau hanya perlu dua minggu istirahat total.” Freddy sudah cukup senang dengan persetujuan Ratna. Dia memang hanya butuh refreshing selama dua minggu. “Tapi bagaimana kalau ternyata aku butuh waktu lebih lama untuk sembuh?” “Baiklah, silahkan tuntut aku.” Sahut Ratna lelah. “Aku tidak akan setega itu hanya karena kecelakaan kecil. Aku terima tawaranmu.” Ratna mencibir. Tentu saja dia akan terima, batin Ratna. “Kalau semua sudah deal, aku mau pulang sekarang. Aku lelah.” Jelas Ratna lalu membalikkan badan. “Kau mau kemana?” tanya Agus ketus. “Perjanjian itu berlaku mulai hari ini. Kau dengar apa yang dokter bilang, kan? Freddy akan pulang sebentar lagi.” Ratna berbalik manatap Agus dengan kemarahan yang tertahan. “Aku mau pulang, mengambil beberapa barang, lalu kembali ke sini untuk menemani Komandan Freddy. Puas?” bentak Ratna. Dia langsung berbalik menghambur keluar dan memastikan pintu menutup dengan suara keras. *** Ratna menatap kotak dengan label makanan dari restoran terkenal yang tergeletak di teras rumah kontrakannya. Ketika diangkat, kotak tersebut masih hangat. Ratna menoleh ke sekeliling rumahnya namun tidak ada orang lain disana. Ratna membuka kotak itu untuk mengintip isinya. Ada sebuah kertas catatan kecil dia atas mangkuk kayu tertutup yang Ratna tahu berisi ramen kesukaannya. Makanlah! Ratna menyeringai lebar melihat tulisan tangan yang begitu dihafalnya. Entah mengapa ada rasa hangat yang menjalari dadanya setiap melihat tulisan tangan itu. Dia bersenandung riang sambil membawa kotak itu. Diantara semua nasib buruk yang menimpanya, Ratna masih bisa bersyukur karena ada seseorang, entah dimana dan siapa, selalu melindunginya dalam diam. ----------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN