Tidak ada yang tidak mungkin untuk bisa dilakukan,
selagi rasa ingin mencoba itu masih ada,
pasti akan ada sebuah jalan untuk memudahkannya.
∞
"Na Jaemin."
Jaemin mengerjap pelan, menyesuaikan iris matanya dengan sebuah cahaya yang tak lagi asing untuknya. Jaemin tahu tempat ini, karena bukan pertama kalinya dia datang.
Seingatnya, ini adalah kali ketiga.
"Pibu?" Sukses sadar sepenuhnya, Jaemin bergumam pelan. Terakhir kali bertemu, cahaya itu memperkenalkan dirinya sebagai Pibu, bukan?
"Iya, ini aku."
"Kenapa lo bisa masuk ke mimpi gue, sih?!" tanyanya tak santai, masih dalam keadaan setengah kantuk, dan jujur saja Jaemin kesal karena tindakannya ini.
"Aku hanya perlu fokus pada targetku, berusaha menyelami isi alam bawah sadarnya, lalu setelah itu? Aku berhasil masuk."
"Gue enggak ngerti." Jaemin memposisikan dirinya untuk duduk, manik matanya yang masih setengah terbuka menatap lurus ke arah cahaya terang di depan sana. "Gue tebak, ini masih tengah malam, kan? Buat apa lo dateng ke mimpi gue sekarang? Kenapa datengnya enggak nanti agak subuhan aja?"
"Kenapa aku harus datang subuh kalau bisa sekarang?"
Pertanyaan yang menyebalkan.
Jaemin mendengkus. "Lo ngeganggu tidur gue, dan gue masih ngantuk."
"Kadang, sesekali membangunkan seseorang di tengah malam itu menyenangkan, Jaemin."
Bibir laki-laki itu bungkam secara tiba-tiba. Entah untuk alasan apa, Jaemin hanya merasa sesak sekarang. Kalimat yang dilontarkan cahaya itu membuatnya teringat dengan seseorang.
"Lo ... siapa lo sebenernya?" Seperti kehilangan seluruh saraf geraknya, Jaemin hanya bisa bergeming seraya menatap nanar cahaya putih di depan sana.
"Aku? Pibu."
"Bukan!" Sergah Jaemin cepat. "Maksud gue identitas asli, lo bisa kenal gue, terus kenal Stara yang jelas-jelas salah satu Rasi Bintang. Kalau lo bisa tau semua itu, berarti lo udah enggak asing lagi tentang Bintang ... jangan bilang ...." Jaemin sempat menahan napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "kalau lo juga ... Bintang?"
Terjadi hening selama beberapa detik ke depan, sebelum Pibu menjawab dengan nada suara yang berbeda. "Belum saatnya kamu tau siapa aku," jawabnya. "Waktu selalu punya caranya sendiri untuk mengungkap semua teka-teki yang bersarang di kepala kamu. Jadi, yang kamu bisa sekarang hanya menunggu."
Helaan napas berat keluar dari bibir Jaemin. Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa penasarannya terhadap Pibu begitu besar.
"Jaemin, kapan terakhir kali kamu bermimpi?"
Suara Pibu menyentaknya, mengembalikan seluruh kesadarannya.
"Enggak inget," jawab Jaemin jujur, hari terakhir dia bermimpi, Jaemin memang tidak mengingatnya.
"Baiklah, lupakan," ucap Pibu akhirnya. "Sekarang, aku akan menyampaikan suatu hal yang penting."
Ini hanya perasaan Jaemin saja, atau memang benar bahwa suasananya mendadak berubah serius?
"Ini." Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul sebuah kilasan sebuah gambar di hadapan Jaemin. Gambar itu menunjukkan sebuah tempat yang terasa tak asing untuk ditangkap oleh manik matanya, setelah berusaha mengingat cukup lama, Jaemin langsung tersentak.
"Rumah Panti Alana," ucap Jaemin begitu yakin, namun keyakinan itu kini tergantikan dengan kerutan panjang pada dahinya. "Tapi ... kenapa gue bisa tau tempat itu?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.
“Ah, Rumah Panti itu dulu deket sama rumah lama gue,” ujar Jaemin lagi pada dirinya sendiri, dia sudah mengingat tentang tempat itu, tapi kenapa rasanya masih ada yang kurang?
"Benar, itu Rumah Panti Alana dan Jisung ada di sana. Aku akan memberikan kilasan gambar ini kepadamu, dan setelahnya kamu harus memberikan ini kepada Renjun. Masuklah ke dalam mimpi Renjun, lalu kendalikan mimpinya ... buat seolah-olah kalau dia sedang bermimpi menggambar tempat ini, lalu minta Renjun untuk membuka portal dimensi menuju tempat ini, pada akhirnya kamu dan Stara bisa langsung pergi ke tempat itu untuk menemui Jisung."
Jaemin mengangguk paham. "Tapi, kenapa gue harus turutin semua perintah lo itu?"
"Itu urusan Stara. Jika kamu mau tau, tanyakan saja padanya. Sekarang kamu harus bangun, karena Stara sudah menunggumu terlalu lama. Semoga beruntung, Jaemin."
*
“Huh, akhirnya kamu bangun juga.”
Jaemin masih berusaha mengumpulkan kesadaran ketika tiba-tiba suara Stara menyapa indera pendengarannya dengan sebuah keluhan. Diliriknya gadis itu, yang kini berdiri di samping sofa, wajahnya menunjukkan ekspresi sebal, khawatir, takut ... apa pun itu yang pasti ekspresinya tidak ada yang bagus.
Jaemin jadi merasa deja vu, pada pertemuan pertama mereka waktu itu, Stara juga sempat menunjukkan ekspresi yang serupa.
“Ngapain lo di sini?” tanya Jaemin dengan suara bingung yang dibuat-buat, tentu saja dia sudah tahu tanpa harus bertanya pada Stara.
“Kamu enggak tau? Memang enggak ada yang kasih tau kamu dari mimpi?!”
“Enggak,” jawab Jaemin enteng, laki-laki itu bangkit dari sofa hendak menuju dapur sebelum manik matanya menangkap jam dinding yang menggantung. "Salah apa gue sampe harus dibangunin jam satu pagi,” keluhnya pelan kemudian melanjutkan langkahnya untuk mengambil minum.
Di tempatnya, Stara masih memperhatikan pergerakan Jaemin dalam diam. Ketika Jaemin menuang air, lalu meneguknya perlahan, hingga akhirnya laki-laki itu kembali duduk pada sofa semula.
“Jaem, kamu bohong, kan?” Tatapan gadis itu menyorot Jaemin penuh selidik.
“Jangan ngelihatin gue.” Jaemin melempar satu bantal sofa hingga mendarat mulus di wajah Stara. Sebelum gadis itu sempat melayangkan protes, Jaemin kembali bersuara. “Sebenarnya apa yang lo cari dari Park Jisung, sampai harus sejauh ini buat ketemu dia?”
“Itu ... aku ... aku─nanti juga, kan, kamu tau!”
“Jangan teriak-teriak, b**o! Lo mau Haechan sama Renjun bangun?!”
“Kamu juga teriak, loh!”
“Yaudah, enggak usah minta bantuan sama gue!”
Keduanya sama-sama berdecak, saling melirik sebelum akhirnya membuang muka. Stara sudah menduga, meminta Jaemin untuk membantunya merupakan suatu hal yang akan membuat repot saja. Karena entah sejak kapan, Stara dan Jaemin tidak pernah bisa akur jika sedang berdua saja, pasti akan ada pertengkaran yang terjadi.
Tapi, mengingat bahwa rencananya ini penting. Maka Stara terpaksa harus mengalah agar Jaemin mau membantunya.
“Jaemin,” panggil Stara dengan suara yang dibuat selucu mungkin.
Jaemin masih diam, menunggu apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh gadis itu.
Stara bangkit, pindah tempat hingga mendudukkan dirinya tepat di sebelah laki-laki itu. “Jaemin.” Kali ini, Stara menarik ujung kaus yang dikenakan oleh Jaemin. Membuat sudut-sudut bibir sang empu pemilik baju langsung berkedut.
“Bantuin Ara, ya?” Stara memiringkan kepalanya agar bisa lebih leluasa melihat wajah Jaemin. Sedangkan laki-laki berlagak acuh walaupun ekspresi wajahnya justru mengatakan yang sebaliknya.
“Jaemin?”
Jaemin menoleh dengan wajah sinis. “Apa manggil-manggil?”
“Saranghae.”
Stara tersenyum hingga kedua matanya menyipit, jarinya membentuk sebuah sign love yang pernah Jaemin lakukan padanya. Kini Stara yang melakukannya, dan tentu efeknya sangat luar biasa untuk Jaemin.
Wajah Jaemin langsung merah padam hanya karena perlakuan sederhana tersebut. Sekali lagi, kepalanya dengan sengaja mengulang kilasan bagaimana cara Stara mengatakan kalimat tadi dengan begitu manisnya.
Jaemin yang masih membatu di tempatnya tiba-tiba terkekeh kecil tanpa diminta, dia mengedarkan pandangannya─melihat apa pun yang ada di ruangan ini, kecuali Stara. Wajah malu namun bercampur percaya diri itu tidak bisa disembunyikan lagi.
Jaemin menatap Stara, tepat di matanya. “Coba sekali lagi,” pintanya dengan kekehan kecil.
Sesuai perintah Stara menurut, gadis itu tersenyum lagi, menunjukkan sign love dari jarinya kepada Jaemin. “Jaemin ... Saranghae.”
Ternyata efeknya masih sama, Jaemin langsung terkekeh sambil mengusap tengkuknya malu, sadar bahwa di dalam perutnya sedang merayakan pesta api dadakan di tengah malam, Jaemin langsung bangkit lalu menarik tangan Stara dengan lembut. “Jangan kasih kata itu buat orang lain, ya,” katanya, sebelum mengajak Stara untuk mulai menjalankan rencana.
Mereka berdua mengendap-ngendap dengan perlahan memasuki kamar Haechan yang digunakan oleh Renjun. Haechan memilih tidur di kamar orang tuanya, karena ibunya sedang pergi. Sehingga Renjun memilih untuk menggunakan kamar Haechan, awalnya Renjun sudah mengajak Jaemin untuk berbagi kamar tapi laki-laki itu menolak.
Stara? Jangan ditanya, bahkan mereka tidak pernah melihat Stara tertidur, kecuali pingsan.
“Gue harus gimana?” Jaemin berbisik pelan kepada Stara.
Stara sebenarnya juga bingung harus bagaimana, karena Jaemin memang belum mencapai kemampuannya melebihi seorang Dreamer. “Aku enggak ngerti karena aku bukan Bintang penunjuk jalan. Tapi, apa kamu enggak bisa mencoba dulu masuk ke mimpi Renjun?”
Jaemin terdiam sebentar, teringat oleh sebaris kalimat yang sempat didengarnya dari cahaya itu, Pibu.
Aku hanya perlu fokus pada targetku, berusaha menyelami isi alam bawah sadarnya, lalu setelah itu? Aku berhasil masuk.
“Gue rasa, gue bisa coba.”
Tatapan seriusnya kini mengarah pada Renjun yang sedang terlelap dengan damainya, sesuai kalimat yang dikatakan oleh Pibu, iris mata Jaemin menemukan sebuah titik samar dari alam bawah sadar Renjun, dan tentu saja itu mimpinya.
“Jaemin.” Baru saja Jaemin ingin mencoba masuk, suara Stara sudah lebih dulu membuat konsentrasinya buyar.
“Apa?!” Jaemin menggeram, kesal karena terganggu.
“Aku punya firasat kalau kamu bakal ikut tertidur, jadi lebih baik kamu duduk aja, deh. Aku takut enggak bisa nahan berat badan kamu.” Stara mengerucutkan bibirnya.
Tak mau ambil pusing, Jaemin langsung memposisikan dirinya duduk di satu kursi yang berada di dekat meja belajar. Kembali melakukan kegiatannya yang sempat tertunda, hingga akhirnya perkataan Stara terbukti benar, Jaemin ikut jatuh tertidur setelah masuk ke dalam mimpi Renjun.
Seperti ini rasanya masuk ke dalam mimpi seseorang?
Jaemin masih berdiam diri di pintu masuk apartemen yang terbuka, sudah bisa ditebak sepertinya ini apartemen Renjun di Cina.
Dia berusaha berpikir, bagaimana caranya membuat Renjun tetap tidak terjaga dalam mimpinya─membuat seolah-olah ini hanyalah mimpi, sehingga ketika terbangun Renjun tidak perlu memikirkan hal ini.
Memantapkan keyakinannya, Jaemin masuk ke dalam dengan penuh percaya diri. Dia sempat berdecak kagum dengan beberapa lukisan yang terpajang─bahkan ada juga yang masih tersusun rapi di sandaran dinding.Hingga ketika manik matanya menemukan sosok Renjun yang duduk membelakanginya, terlihat serius dengan kertas, cat air, dan teman-temannya yang lain.
"Renjun!" Di sinilah semua sandiwaranya dimulai.
Renjun menoleh, merasa tak asing dengan suara seseorang yang memanggilnya. Keningnya semakin berkerut ketika melihat kehadiran Jaemin yang datang tiba-tiba, lalu kini merangkul pundaknya bersahabat.
"Gambar yang gue pesen kemaren udah jadi belum?"
"Hah?" Renjun terlihat bingung. "Gambar yang mana? Emang lo pesen apa ke gue?"
"Gambar itu, kemaren gue udah bilang, kan. Gue juga ... udah tunjukin contohnya." Jaemin tersenyum tipis, tanpa sadar kemampuannya berkembang sendiri mengikuti alur. Karena nyatanya, kilasan gambar yang sudah Pibu berikan kepadanya, kini sudah Jaemin berikan ke dalam kepala Renjun.
Walaupun samar, kilasan gambar sebuah rumah sudah mulai terlihat di ingatan Renjun. "... Rumah Panti, ya?" tanyanya tak yakin.
Jaemin langsung mengangguk penuh semangat.
"Mau tunggu sebentar? Kayaknya gue lupa gambar itu, tapi bisa gue selesain dalam lima menit." Dari ekspresinya, Renjun terlihat tak enak hati.
Ingin sekali rasanya Jaemin tertawa, tapi niat itu dibuang jauh-jauh, hingga yang terbit di bibirnya hanyalah sebuah senyum tipis. "Gue tunggu."
Baru berselang dua menit setelah kepergian Jaemin ke dalam mimpi Renjun, Stara tiba-tiba merasakan sebuah firasat buruk. Bukan! Ini bukan tentang Bintang Pendamping ataupun tugas-tugasnya. Hanya saja, ada yang aneh dengan Bumi malam ini.
Semua firasat Stara langsung terjawab begitu hawa panas dan dingin langsung menyerbu tubuhnya tiba-tiba tanpa diduga, begitu pula dengan pantulan cahaya dari jendela yang menunjukkan hujan dan sengatan matahari yang datang bergantian, terus-menerus hanya selang beberapa detik.
Stara buru-buru menyibak gorden jendela, ini masih tengah malam, kan? Tapi dia justru dikejutkan dengan pergantian pagi-siang-sore-malam pada langit di atas sana, sama seperti hujan dan panas, pergantian itu terjadi selang beberapa detik secara bergantian dan berulang terus-menerus.
Kepala Stara sudah dipenuhi dengan berbagai macam kemungkinan, yang sebenernya terasa tak yakin. Karena yang bisa melakukan semua ini hanya sembilan tata surya, tapi bagaimana mereka bisa keluar dari rumah mereka secara bersama-sama sedangkan itu bisa berujung fatal untuk dunia?
“Sta─ra?” Stara langsung menoleh ke arah Renjun dan Jaemin, mereka terbangun karena sebuah alasan yang sama.
“Gu ... gue ke-kena ... pa.”
Stara tercekat, pergerakan tubuh mereka berdua yang ingin bangun jadi terhambat, pergerakan mereka seperti robot yang sebentar bergerak namun setelahnya berhenti lagi. Tidak salah lagi, pergerakan waktu juga kacau.
Sesuatu tertangkap indera penglihatan Stara, seperti sebuah badai angin yang jatuh dari langit─terlihat sangat cepat, dan sepertinya mendarat di sebuah dataran tinggi. Lupakan rencananya soal Jisung, karena sepertinya dugaan kuat Stara benar. Dengan diliputi rasa cemas dan khawatir karena dia tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya Stara hanya bisa bertanya di dalam hatinya.
Apa para Planet sedang tidak baik-baik saja?