Aku selalu mendapat bunga tidur di sepanjang malam,
lalu ketika terbangun pada pagi menjelang
aku bertanya,
apa semua yang hadir di sana akan menjadi kenyataan?
∞
“Lima menit lagi, Lee Jeno masuk ke segmen pertama!”
Manager Jaehyun mengangguk untuk memberi jawaban pada staff tadi, dia segera bergegas untuk menemui Jeno yang masih berada di ruang tunggu artis. Ketika pintu terbuka, hal yang pertama kali Jaehyun lihat adalah Jeno yang sedang terpejam di atas sofa.
Semalam dia tidak tidur lagi?
“Jen, bangun. Bentar lagi lo harus masuk ke segmen pertama.” Sedikit tidak tega sebenarnya, tapi Jaehyun harus tetap melakukan ini.
Kedua mata Jeno perlahan terbuka seiring dengan tangan Jaehyun yang berhenti mengguncang pelan tubuhnya, Jeno berusaha menyesuaikan manik matanya dengan cahaya sekitar. Ketika sudah sadar, dia meneliti seluruh ruangan dengan kerjapan cepat. Seperti seseorang yang terlihat bingung.
Lo ada syuting talk show hari ini, dan dalam waktu kurang dari lima menit lagi, lo bakal masuk ke segmen pertama.
Manager Jaehyun berinisiatif menjelaskan lebih dulu, Jeno langsung mengangguk singkat tanpa menjawab.
Dan soal Arin, berita makan siang lo sama dia udah menyebar luas ke media.
Kini dahi Jeno berkerut dalam. “Arin?”
Jaehyun menghela napas, untung saja tempat ini sepi. Jadi, tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka ... atau lebih tepatnya, tidak ada yang melihat kebingungan Jeno.
“Gadis yang selalu ada buat lo, atau bisa lo sebut teman.” Jaehyun memberitahu, lalu mulutnya terbuka lagi untuk menanyakan sesuatu yang lain. “Lo enggak tidur lagi semalam?” Namun sedetik kemudian, seolah tersadar oleh sesuatu Jaehyun langsung mengucap kata maaf tanpa suara.
Tidak mungkin Jeno melupakan Arin karena nyatanya laki-laki itu tidak tidur semalam, mungkin Jeno punya maksud lain dengan menyebutkan nama gadis itu. Tapi tetap saja, Manager Jaehyun sangat khawatir dengan kondisi laki-laki itu sekarang, kantung matanya benar-benar menggelap.
Jeno berdecak lalu berdiri menghadap cermin, membenarkan letak jas yang dia kenakan lalu menatap Jaehyun lewat pantulan kaca cermin. “Apa setelah ini ada jadwal s****n yang lain?”
Jaehyun mengangguk pelan. “Tapi gue bisa batalin semuanya kalau lo mau.”
Jeno mengangguk. “Gue mau lo anter gue buat ketemu Arin setelah ini selesai.”
Tidak bisa dipungkiri, walaupun umur Jeno lebih muda darinya, tapi laki-laki itu selalu bisa membuat orang lain merasa terintimidasi. Walaupun wajah Jeno terlihat ramah, tapi tidak dengan sikapnya, laki-laki itu sangat dingin terhadap siapa pun, bahkan kepada dirinya, yang jelas-jelas sudah menjadi Managernya selama bertahun-tahun.
Tapi di luar semua sikap Jeno kepadanya, Jaehyun sangat menyayangi Jeno layaknya seorang kakak yang menyayangi adiknya. Sejak kejadian dua tahun yang lalu, Jeno tidak memiliki siapa pun lagi selain dirinya.
Jeno berjalan menuju pintu, tapi sebelum dia benar-benar keluar dari ruang tunggu artis, sebuah kalimat sederhana sempat terucap dari bibirnya. “Thanks, karena lo selalu ada buat gue.”
Senyum miris terukir di bibir Jaehyun bersamaan dengan Jeno yang menghilang di balik pintu. Mungkin, semua orang yang melihat senyum Jeno lewat televisiakan merasa terkagum-kagum karena ketampanan luar biasa yang dianugerahkan Tuhan untuknya.
Tapi, adakah yang tahu bahwa semua senyum itu palsu?
Adakah seseorang yang tahu kalau Jeno selalu terjebak dengan ingatannya sendiri?
Jika ingatan itu tentang kebahagiaan, mungkin Jaehyun tidak perlu merasa sekhawatir ini. Tapi nyatanya, seorang Lee Jeno, aktor yang paling dikagumi dan sedang naik daun itu, ternyata menyimpan sebuah rahasia dan luka yang sangat menyakitkan dari masa lalu.
Selalu menjalani hari, namun ketika terbangun keesokan pagi, dia akan melupakan semua hal yang sudah dilaluinya di hari kemarin. Dan tak lupa dengan ingatan tentang masa lalunya juga menghilang. Hal yang bisa Jeno ingat hanya luka lama yang terjadi dua tahun lalu.
Ingatan tentang kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.
Di luar semua karir sukses yang sedang diraihnya dan juga kemampuan spesial yang dimilikinya untuk bisa membaca pikiran orang lain.
Jeno hanya seorang manusia biasa yang mengalami amnesia dan juga depresi karena kejadian dari masa lalunya.
*
Jilin, Cina.
Aroma teh hangat yang sepertinya baru saja terseduh mulai memasuki indera penciuman Renjun. Gerakan tangannya pada kuas langsung terhenti, dia memutar kursi dan menemukan Huang Reana—saudara kembarnya—sedang meletakkan teh kesukaannya di atas meja.
“Makasih, Rea.” Renjun tersenyum lembut pada gadis itu.
“Renjun ....” Kalimat Reana menggantung, dia terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
Renjun yang menyadari itu langsung menyela cepat, “Kalau lo datang ke sini cuma buat bahas si berengsek itu, gue enggak mau dengar apa pun. Gue memperbolehkan lo bertamu ke apartemen gue karena gue kangen sama lo, bukan karena alasan lain.”
“Rea tau, cuma ... kapan Renjun mau pulang ke rumah?”
Renjun tertegun, dia sangat tahu kalau Reana pasti merindukannya. Reana harus menderita sendirian di rumah itu, tapi Renjun tetap tidak bisa pulang, karena untuk sebuah alasan, Renjun sangat membenci rumah itu.
“Lo lebih suka gue jadi orang baik atau orang jahat?” Renjun bertanya pelan seraya tersenyum lemah. “Kalau dari dulu lo ngizinin gue buat jadi orang jahat, tanpa harus membayar orang lain, gue sendiri yang bakal coba bunuh Ayah.”
“Jun, tapi—”
“Stop, gue enggak mau dengar apa-apa lagi.” Renjun berbalik, mulai berkutat lagi dengan lukisan yang sempat dia tinggalkan.
Reana menghela napas, sekeras apa pun dia membujuk Renjun tetap tidak akan pernah mendengarkannya. Tatapan Reana mengedar, memperhatikan dengan detail setiap lukisan yang berjejer di ruangan khusus ini. “Ada lukisan baru?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan, lalu secara tak sengaja matanya terpaku pada lukisan yang masih bertengger indah di depan Renjun—masih belum selesai, tapi Reana sangat mengenal apa yang terlukis di sana.
“Pulau Jeju!” Reana memekik senang. Pasalnya, gadis Cina itu sangat mengagumi pulau yang berada di negara Korea tersebut.
Tanpa Reana sadari, Renjun tersenyum tipis di balik punggungnya. “Gue harus pergi ke Jeju buat menghadiri acara lelang besar di sana, lo mau ikut?”
“Sore ini? Dan lo belum berkemas sedikit pun?” Reana mengernyit, namun langsung tersenyum lebar setelah mengingat suatu hal yang sempat dia lupakan.
Renjun berbalik lagi. “Mau ikut?” ulangnya, yang dihadiahi anggukan cepat dari Reana.
Laki-laki itu berdiri, menyingkirkan kursi yang sempat didudukinya, disusul dengan barang-barang lain yang berada di sekitarnya. Renjun membuat ruang kosong di depan lukisannya sendiri. Dengan sebuah sentuhan kecil dari tangan ajaibnya, lukisan pulau Jeju yang baru saja selesai dia lukis, berubah menjadi sebuah portal besar.
Portal yang bisa langsung membawanya menuju pulau Jeju dalam hitungan detik.
Renjun menoleh pada Reana dengan senyum miring. “Dalam satu jam, kalau lo enggak kembali dengan dandanan yang pantas, portal bakal ketutup dan udah pasti, lo bakal gue tinggal.”
Secepat kilat, Reana langsung berbalik dan ke luar dari apartemen Renjun, dia menuju ke tempat parkir karena alat make up-nya dia simpan dimobil. Reana tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan, karena Renjun sangat jarang mengajaknya pergi melewati portal spesial.
Melihat kepergiaan Reana yang terburu-buru, Renjun hanya bisa terkekeh kecil. Sesuai dengan ucapannya tadi, portal ini memang akan membawanya menuju Jeju tanpa harus naik kendaraan, sebuah kemampuan spesial yang tidak pernah Renjun duga sebelumnya.
Entah dari mana kemampuan ini berasal, tapi Renjun bersyukur memilikinya.
~~~
“Lo itu manusia atau reinkarnasi dari Doraemon?”
Sebuah pertanyaan tak punya arti meluncur dari mulut Haechan, setelah mendengarkan penjelasan singkat Stara tentang maksud dari pembuka portal. Jaemin tidak mengatakan apa pun sedari tadi, karena dia terlalu sibuk memperhatikan sepasang saudara kembar asing yang berada di ruangan yang sama dengan mereka sekarang.
“Renjun, Bintang kamu apa?” Stara bertanya dengan mata berbinar.
“Aries.”
Jaemin berdecak di tempatnya, ketika melihat bagaimana bola mata Stara semakin bersinar tiap kali Renjun tersenyum. Dasar! Setiap melihat laki-laki tampan, pasti Stara akan bereaksi berlebihan.
Haechan mengangguk pada Stara. “Dia salah satunya.”
“Lo kenapa bisa ada di sini? Maksud gue, muka lo itu muka orang Cina, dan kelihatannya lo orang berada, jadi lo enggak mungkin nyasar di sini, kan?” Jaemin melontarkan pertanyaan dengan nada kesal, entah karena alasan apa, Jaemin jadi tidak suka melihat laki-laki bernama Renjun yang duduk di depannya ini.
“Gue pelukis, gue ada di Jeju karena harus menghadiri acara pelelangan buat lukisan gue,” jelas Renjun singkat.
“Stara.” Jaemin beralih pada gadis itu, Stara yang sedari tadi sibuk memperhatikan senyum menawan milik Renjun langsung terkesiap kaget.
“Hah? Apa, Jaem?”
Bola mata Jaemin memicing kesal. “Dasar gatel,” gumamnya pelan. Namun kembali pada niat awalnya memanggil Stara, dia justru bertanya, “dia bener pembuka portal yang lo cari?”
Stara mengangguk mantap. “Ganteng, kan?” tanyanya berubah topik.
Sialan.
Ingin sekali Jaemin memaki, karena gadis itu berani mengatakan ada orang yang lebih tampan di depannya langsung, padahal Jaemin lebih tampan ke mana-mana.
“Kalau gitu, coba suruh dia buktiin.”
Berita terbaru hari ini!
Jaemin langsung menoleh pada televisi, ada seorang reporter pembawa berita di sana dengan latar belakang sebuah aula besar yang hancur.
Aula terbesar di Shanghai yang sedang mengadakan acara sumbang amal meledak pagi ini, akibat serangan bom dari buronan Korea Selatan bernama Park Jisung, dan kabar duka lainnya datang dari anak tunggal keluarga Zhong.
Kabarnya, Zhong Chenle yang menjadi tamu di acara tersebut berada di dalam aula saat pengeboman berlangsung dan sampai sekarang dirinya belum ditemukan. Sedangkan Park Jisung sudah dievakuasi untuk dibawa ke sel tahanan Cina.
Jaemin terpaku di tempatnya, dia melihat bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya yang tampak tidak peduli dengan berita tersebut, mereka justru saling tertawa karena jokes murahan yang diberikan Haechan.
Sedangkan Jaemin mendadak pusing karena sadar bahwa nama Park Jisung sudah tidak asing lagi di telinganya, dan sekarang ditambah dengan sebuah nama baru lainnya.
Jaemin mengerjap cepat, menatap televisi dan orang-orang di depannya secara bergantian. Dengan kesadaran penuh, Jaemin bergumam dalam diamnya.
“Apa gue bermimpi lagi?”