13 - Resque Mission

987 Kata
Aku berlari, mengikuti aliran arus yang tidak terbaca, menembus gelapnya dunia tanpa tahu arah. Demi sebuah takdir yang tampak tak nyata, di luar itu semua, sekali lagi aku bertanya, apa semua ini akan berakhir bahagia? ∞   “Kemampuan pemimpimu, sudah berkembang lebih cepat dari yang aku bayangkan.” Manik mata Jaemin menyipit untuk melihat satu titik terang dari cahaya putih di depan sana. Tidak ada siluet siapa pun, lantas siapa si pemilik suara yang tadi berbicara kepadanya? Apa Jaemin sedang berhalusinasi? Jaemin menatap sekeliling, tersadar bahwa sekarang dia berada di suatu ruangan gelap tanpa penerangan apa pun, kecuali cahaya tersebut. “Jaemin.” Suara itu terdengar lagi, kini memanggilnya. “Siapa?!” Jaemin bersiaga. Kedua matanya semakin menyipit tatkala menerawang ke ujung sana, dia sangat yakin kalau suara tersebut berasal dari cahaya itu, tapi siapa seseorang tersebut? “Aku benar ternyata, kamu bahkan sudah bisa masuk ke titik terdalam di alam bawah sadarmu.” Jaemin tercekat. “Sekarang ini gue bermimpi lagi?” “Bermimpi, lalu mengendalikan mimpi. Kemampuan mutlak yang dimiliki oleh seorang penunjuk jalan, semua kemampuan membutuhkan waktu untuk bisa dikendalikan. Tapi, jika kamu sudah bisa menguasainya, kamu dapat melihat dan mengendalikan apa yang akan terjadi pada hari esok, tanpa harus bermimpi lagi.” Jaemin tidak mengerti, tapi untuk apa dia diberitahukan hal itu? “Kamu harus kembali, Jaemin. Kalau kamu terlambat, Zhong Chenle akan benar-benar terbunuh hari ini.” Jaemin tersentak di tempatnya, dia menahan napas tanpa sadar karena telah diingatkan kembali tentang mimpi yang baru saja dia dapatkan sebelum ini. “JAEMIN!” “JAEMIN BANGUN!” Itu suara Stara.   “NA JAEMIN!” Byur ... Jaemin terlonjak kaget dari tidurnya, laki-laki itu langsung terduduk cepat begitu hawa dingin menghampirinya. Tadi, Jaemin baru saja bermimpi dan sekarang dia terbangun dengan keadaan basah kuyup. “Masih hidup ternyata.” Suara Haechan terdengar, membuat semua teka-teki di kepala Jaemin terpecah belah. Kedua mata Jaemin memicing sinis ke arah Haechan, di tangan laki-laki itu terdapat sebuah ember yang sudah bisa ia pastikan menjadi tempat penampung air yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. “KENAPA LO NYIRAM GUE?!” Wajah Jaemin merah padam, percampuran antara malu dan marah. Haechan berdecih. “Harusnya lo bersyukur! Gue rela buang-buang air cuma buat ngebangunin lo doang, ini air suci diambil langsung dari pegunungan murni!” “Bodo.” Jaemin beralih fokus pada Stara, karena percuma bicara dengan Haechan, yang ada emosi Jaemin malah semakin naik. “Kenapa gue disiram?!” Tidak ada bentakan, hanya ada penekanan nada bicara saja. Karena kalau dibentak, takutnya Stara pingsan lagi. “Itu ... ka-kamu ... tadi kamu ....” Jaemin menggeram kesal mendengar kalimat terpatah Stara, adakah yang bersedia menjadikan rambutnya sebagai korban? Karena Jaemin ingin sekali menjambak seseorang sekarang. “Lo tadi sempat enggak bernapas,” beritahu Haechan. “Stara nungguin lo tidur dari tadi, dia udah duduk di sana selama dua jam cuma buat ngelihatin lo tidur.” Kali ini Jaemin memperhatikan Stara, yang sedang terduduk di lantai tepat di samping sofa tempatnya tertidur tadi. Benarkah? “Enggak, Jaem! Echan bohong! Aku enggak lihatin kamu tidur, kok!” Stara membantah cepat, seluruh wajahnya sudah merah padam saat ini. “Kata Stara, kalau Jaemin lagi tidur dia kelihatan gant─” “ECHAN!” Stara berteriak sebelum menutup seluruh wajahnya menggunakan tangan. Berusaha menyembunyikan seluruh wajahnya dari dua laki-laki di depannya. Sudut bibir Jaemin berkedut, dia mengulum senyumnya diam-diam. Hanya hal sepele, tapi kenapa debaran jantungnya menggila sekarang? “Chan, ibu lo mana? Kok, perasaan dia enggak pulang-pulang?” Jaemin bertanya bingung. Sekaligus pengalihan topik karena tidak mau Haechan mengganggu Stara lebih lanjut. “Tadi waktu lo tidur dia udah pulang sebenernya, tapi Stara udah bantuin gue hapus ingatannya dan ngerubah ingatan kalau lo sama Stara itu temen lama gue, jadi kalian berdua dibolehin nginep di sini dan ibu gue ngungsi ke rumah nenek.” Jaemin geleng-geleng kepala. “Anak durhaka.” Haechan nyengir. “Terus alesan lo nyiram gue apa?”  “Udah gue bilang, lo sempat enggak bernapas.” Haechan meletakkan ember ke lantai. “Tadi gue lagi di belakang, tiba-tiba Stara neriakin nama lo berkali-kali. Gue kaget, dong, terus gue samperin. Kata dia napas lo yang awalnya normal, lama-lama jadi memburu gitu, terus tiba-tiba lo enggak napas. Takut lo kenapa-kenapa, makanya gue bawa air buat nyiram sekaligus ngebangunin lo—ingat, ya! Lo harus bayar air ini, rugi banget gue buang buang air seember buat ngebangunin lo, doang.” Ah, iya, Jaemin sempat menahan napas ketika suara itu menyebut nama Zhong Chenle. Jaemin terdiam lagi, dia bahkan mengabaikan kalimat Haechan untuknya. Kepalanya sibuk mengulang rentetan kejadian di dalam mimpinya. Hingga saat cahaya itu mengatakan bahwa jika dia terlambat seseorang akan terbunuh hari ini, Jaemin kembali tercekat. Manik matanya menatap Stara dengan tatapan yang sulit diartikan. “Gue dapat mimpi lagi.” Suasana mendadak hening. Baik Stara maupun Haechan sedang memperhatikan Jaemin dengan serius. Ditatap seperti itu, Jaemin langsung menelan salivanya dengan susah payah. “Park Jisung, dia muncul lagi ... dan dia bakal membunuh seseorang hari ini.” “Udah gue duga,” ujar Haechan, “sama kayak apa yang gue lihat, hidup dia berantakan. Semenjak kehilangan kedua orang tuanya, dia diperkenalkan dengan kejamnya dunia kejahatan ... oleh seseorang bernama Lucas. Dia tumbuh dalam lingkungan gelap tanpa orang tua sejak saat itu ... tanpa kasih sayang dan tanpa perhatian. Hidup dia benar-benar enggak punya arah yang jelas.” Jaemin semakin tercekat, baru saja dia ingin kembali bicara, pertanyaan Stara sudah lebih dulu terdengar. “Lucas?” Lontaran nama bernada pertanyaan itu dikatakan oleh Stara dengan suara yang bergetar. Jaemin dan Haechan baru sadar jika kedua tangan Stara terkepal kuat, kedua matanya juga mendadak berair memancarkan emosi yang sangat kentara. Perasaan itu kembali, perasaan familiar yang tidak Stara pahami. Namun di luar itu, perasaan tidak karuan tiap kali nama Park Jisung disebut lebih mendominasi, namun kali ini dengan tambahan cerita tentang masa lalunya, Stara mendadak marah dan sedih di saat yang bersamaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN