Chapter 9 : Ingin Memiliki Anak

1462 Kata
    Alysa melayangkan bokongnya diatas sofa. Baru saja ia tiba dirumah Elda, setelah tadi mencari makan siang diluar, jadi sekalian ia mampir kerumah Ibunya. Ia mencomot segenggam pilus kacang lantas memakannya secara bertahap. Pandangannya lurus menghadap sang Ibu yang tengah rajin merajut syal. “Anak tiri kesayangan Ibu kemana?” tanyanya.     “Sekolah dong.” jawab Elda, tanpa repot menghentikan aktivitasnya dan mendongak untuk menatap lawan bicara.     “Lhoh, ngapain disekolahin? Kalo gitu ya sama aja! Ibu masih tetap kesepian, sendirian! Gunanya Morena disini itu biar Ibu ada temannya.” Alysa bersungut-sungut marah.     “Dia butuh sekolah, Nak. Kamu aja dulu di sekolahin, masa adikmu nggak.”     “Dia bukan adik aku, Bu! Dan jangan sama-samain kedudukan aku sama dia! Beda jabatan! Beda tingkat! Dia anak adopsi, aku anak kandung.”     Entah kenapa setiap membahas tentang Morena, emosi Alysa akan melutup-letup. Perasaannya jadi gegana.     “Sudahlah, kalian itu sama. Ibu juga udah masukin Rena ke daftar Kartu Keluarga kita.”     “Bodo amat!”     Setelah mengatakan itu, Alysa beranjak dari duduknya. Tanpa permisi ia pergi begitu saja. Memasangkan helm motor sambil bersungut-sungut, “Mending gue ke rumah Risma aja, daripada disini amarah gue kebakar terus!” lantas menyalakan motor dan meninggalkan pekarangan rumah.     Dua belas menit menempuh perjalalan, kini motor Alysa sudah terparkir di pekarangan rumah Risma. Tanpa perlu mengetuk pintu dan mengucap salam lebih dulu, ia masuk begitu saja ke rumah megah itu. Tiba di ruang keluarga, nampaklah sosok yang dicari-carinya. Risma, sahabat kuliahnya dulu kini tengah asik duduk di lantai sambil bermain dengan anaknya yang masih berusia dua tahun.     “Haduhh... Nggak siang, nggak malem yang namanya Jakarta selalu macet!” ujar Alysa, sembari mengambil duduk di sebelah Risma, menselonjorkan kedua kakinya tanpa malu.     Risma menoleh. “Masih ingat sama sahabat, lo? Mentang-mentang udah kawin, sekarang udah jarang main!” sindirnya.     Namanya Risma Ariesta, kedudukannya setara dengan Nunung, alias sama-sama sahabat. Mereka bertiga bersahabat sejak awal Ospek. Dulu, waktu jaman-jaman kuliah, Alysa, Nunung dan juga Risma itu adalah mahasiswi yang paling sering melanggar peraturan kampus. Yang jarang masuk kelas juga, karena mereka lebih mementingkan nonton konser daripada masuk kelas, tapi sekalinya masuk kelas disana hanya tidur. Serta jarang mengumpulkan tugas. Mentang-mentang Seni, ketiganya selalu meremehkan mata kuliah.     Risma ini sudah menikah tiga tahun yang lalu. Dan dia sudah vakum dari dunia Punk juga, jadi sekarang dia mantan anak Punk.     “Kawin-kawin, lo kira gue ayam apa!” Alysa menyahut bersungut-sungut.     “Mirip.” balas Risma si Bumil seraya mengangkat Krisna—anaknya, ke pangkuan.     Alysa tidak menyahuti lagi. Ia memandang aktivitas Risma yang tengah mengelus-elus rambut Krisna penuh sayang. Lalu pandangannya beralih pada perut buncit Risma. “Udah berapa Bulan sih, lo?”     “Lima. Kenapa emang?”     Kepala Alysa menggeleng. Busyeett... Suami Risma jago juga ya bikin bini melendung setiap tahun, pikirnya.     “Krisna baru dua tahun udah mau nambah lagi. Nggak repot lo?” tanyanya, seraya menggeser duduk menjadi lebih dekat dengan Risma agar bisa bermain bersama Krisna. Ia menoel-noel pipi halus Krisna dan sesekali mencium paksa pipi itu.     “Banyak anak banyak rezeki, Nyet! Nggak repot-repot amat sih, malah seneng. Jadi Orangtua itu seneng tau!”     “Banyak anak banyak utang, kali! Seneng gimana maksud lo?”     Bola mata Risma memutar. “Ya seneng aja gitu. Emang lo nggak pengin?”     Pengin sih... Tapi, pikir-pikir dulu deh kalau jadi Orangtuanya bareng sama Retno, bukan Kaka Slank. Aduh... Kaka Slank lagi, Kaka Slank lagi. Sepertinya pikiran Alysa harus di kuras dulu, agar nama Kaka Slank tidak terlalu bertebaran di dalamnya.     “Nggak ah, pasti repot. Apalagi waktu hamilnya, males banget gue bawa badan dua, bisa-bisa gue ketinggalan tronton kalo mau nonton konser.” kilahnya. Padahal dalam hati ia ingin sekali merasakan bagaimana menjadi seorang Ibu.     Kepala Risma geleng-geleng sambil mengelus perut. “Pikiran lo konser terus, kalo nggak konser ya game!” cetusnya, namun beberapa detik kemudian matanya terbelalak kala pikirannya teringat sesuatu, “Eh, bulan lalu katanya ada konser Souljah di Bogor. Lo nonton?”     “Pasti! Di barisan pertama pula!”     “Lo sama Nunung?”     “Iyalah... Siapa lagi emangnya temen Punk gue yang cewek? Cuma dia! Lo kan udah nggak.”     “Sebenernya gue ikut. Nunung juga ngajak gue, tapi dia mintanya ndayak, nggak mau naik mobil pribadi. Jadi gue nggak jadi ikut deh... Konsernya seru nggak? Souljah nyanyi lagu yang mana aja?” cerocos Risma.     Namun tidak di tanggapi apa-apa oleh Alysa. Wanita pemilik rambut pendek itu bengong saja memandang kedepan tanpa berkedip. Pikirannya tengah melayang-layang membayangkan ia benar-benar memiliki anak bersama Retno.     Tangan Risma sengaja mendorong bahu Alysa, membuat sang empu tersadar dari alam khayalan lantas bergidik ngeri setelah sadar bahwa yang ia bayangkan adalah hal yang sangat menakutkan.     “Lo kenapa?”     Pertanyaan Risma hanya dibalas gelengan saja. “Jam berapa ini?”         “Lima.” “Gue balik dulu deh. Bye....” ***     Setibanya di halaman rumah, Alysa melihat mobil Retno terparkir, ia buru-buru masuk  dan mandi disana. Setelah sudah rapi barulah keluar dari kamar menuju dapur. Dilihatnya Retno sudah duduk di kursi meja makan dengan aktivitas mengaduk-aduk salad sayur. Alysa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tangan Retno mengaduk salad dengan pelan dan klemar-klemer. Dalam hati ia mengucap istighfar beberapa kali agar tidak marah pada Tuhan karena telah memberikannya suami sejenis Retno.     Mendudukkan b****g di kursi yang berhadapan dengan Retno, matanya sama sekali tidak lepas memandang suaminya. Melihat wajah Retno, Alysa jadi ingat pembicaraan waktu bersama Risma, yang membicarakan tentang anak. Rasa ingin punya anak pun kembali memenuhi keinginannya.     Jujur saja, Alysa memang benar-benar ingin punya anak. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi Ibu. Rasanya hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anak, seperti apa yang Ibunya pernah ceritakan. Tapi masalahnya, dengan cara apa ia akan memiliki anak? Harus ena-ena lebih dulu bersama Retno? Itu bukan ide bagus. Enak di Retno, mabok di Alysa. Tapi kan... Alysa menggeleng kepala lantas duduk dengan menegakkan tubuh. “Mana makanan gue?!” tanyanya.     Barulah Retno mendongak dengan tangan berhenti mengaduk-aduk salad. Menatap Alysa sebentar lantas beranjak dari duduknya, untuk mengambil makanan yang sudah ia simpan di lemari makanan. “Ini,” katanya, meletakkan ayam bakar lengkap dengan sambal dan sayurannya seperti kol, timun dan kacang panjang.     “Berapa jam lo masak beginian?” tanya Alysa seraya menarik piring berisi ayam bakar agar bisa lebih dekat lagi dengannya.     Retno menggeleng. “Itu beli. Aku nggak sempat masak.”     Jawaban Retno hanya di tanggapi anggukan samar saja oleh Alysa. Lantas keduanya menyantap makan malam dalam diam. Sibuk dengan makanan masing-masing tanpa ada sepatah obrolan.     Sampai akhirnya, ketika makan malam sudah usai. Waktunya Retno untuk mencuci piring. Biasanya Alysa langsung pergi jika sudah selesai makan. Namun kali ini ia masih duduk setia dikursinya. Menatap punggung Retno yang sesekali gerak sana gerak sini karena sedang mencuci piring. Sambil kembali pikirannya mengenang percakapan kala itu bersama Risma.     “Lhoh, kamu masih disini?” tanya Retno ketika ia berbalik badan dan mendapati sosok Alysa masih duduk disana. Heran saja, karena biasanya usai makan malam Alysa akan selalu lebih dulu standby di depan televisi untuk menonton sinetron menye-menye itu.     Sebelah alis Alysa terangkat, memandang Retno sinis. “Kenapa? Masalah buat lo?”     “Nggak masalah. Tapi kan... Sinetron kesukaan kamu pasti udah mulai. Tapi kalo kamu nggak mau nonton yaudah, tivinya aku pake buat nonton berita, ya.” kata Retno lantas kakinya melangkah pergi sebelum akhirnya Alysa berteriak.     “Retno! Gue ada mau ngomong sama lo!”     Otomatis langkah Retno terhenti dan berbalik. “Ada apa?”     Duduk!” Retno pun duduk di kursi yang berhadapan tepat dengan Alysa.     “Jadi gini, gue mau ngomong.....,” Alysa menghela napas dalam-dalam lantas di hembuskan pelan, “Gue mau ngomong.....,” rasa gerogi mulai muncul, keringat dingin sudah terlihat didahi sisi kanan. Sekali lagi Alysa menarik nafas dalam dan di hembuskan cepat.     “Gue mau ngomong..., gue... Gue pengen punya anak!” ucapnya dalam sekali tarikan.     Tubuh Retno terlonjak kaget. Matanya melotot tidak karuan bagai orang kesetanan. “A-a-anak?” tanyanya tidak percaya.     Dengan percaya dirinya, Alysa mengangguk. “Iya, anak. Emang kenapa? Lo nggak mau?” suaranya meninggi seperti biasa.     Sontak saja Retno menggeleng keras. Tidak! Ia tidak mau memiliki anak dengan Alysa. Ia masih ingin hidup sehat sentosa, belum mau jadi orang pemilik penyakit stroke. Bahkan bisa gila, jika memang benar-benar ia dan Alysa akan memiliki anak.     “Gue tanya lagi, lo nggak mau?” tanya Alysa, suaranya kini lirih dan penuh penekanan.     Retno balas dengan gelengan kepala. Masih sama sepert pertama, gelengannya sangat keras seolah ia memang benar-benar tidak akan pernah mau memiliki anak bersama Alysa.     “Sekali lagi gue tanya, lo beneran nggak mau?” mata Alysa menyorotkan rasa kebencian yang mendalam pada Retno.     Kepala Retno menggeleng lagi.     “Terakhir gue tanya! LO BENERAN NGGAK MAU?”     “Aku nggak mau kalo punya anaknya sama kamu.” jawab Retno, tanpa gelengan kepala. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN