Tubuh Alysa berguling kesana dan kemari. Tidurnya sangat tidak nyaman karena di ganggu oleh sebuah suara ketukan pintu. Berkali-kali menutupi telinganya menggunakan bantal namun masih saja suara ketukan itu mengganggu tidurnya. Alhasil Alysa terpaksa bangun. Ia menggaruk-garuk rambut pendeknya sambil beranjak membukakan pintu kamar. “Apaan sih...?” tanyanya pada seseorang didepan. Entah siapa, karena matanya masih terlebur dalam sebuah mimpi.
“Ak-aku, aku mau ambil dasi.” rupanya suara Retno. Lelaki itu sudah mengenakan pakaian kerjanya namun tanpa dasi.
Mata Alysa terbuka, ia memutar bola mata jengah kala melihat wajah Retno ada dihadapannya. “Makanya, kalo boyongan itu jangan setengah-setengah! Sekalian noh, lemari butut lo pindahin ke kamar sebelah! Nanti gue ambil lemari sendiri dirumah!” suara Alysa terdengar sewot. Ia melangkah masuk kekamar, mengobrak-abrik isi lemari dengan situasi tubuh setengah sadar. “Dasi lo simpan dimana?” tanyanya lantang.
“Le-le-lemari paling atas.” sahut Retno, sambil memonyongkan kepalanya masuk ke dalam kamar.
Sekitar satu menit mencari-cari keberadaan dasi milik Retno, akhirnya ketemu juga. Alysa menyerahkan semua dasi yang telah ia temukan tadi. “Ada lagi yang mau lo ambil?” tanyanya.
Dibalas gelengan kepala oleh Retno, lantas lelaki itu pergi dari hadapan istrinya.
“Eh, Retno lo masak kan?” tanya Alysa tiba-tiba.
Membuat Retno mau tidak mau harus berbalik badan. Kepalanya tergeleng lemah. “Nggak.”
“Terus gue makan apa?”
“Me-memangnya kamu mau ma-makan?”
“Yaiyalah! Buatin gih, gue mau mandi dulu.”
***
Alysa melangkahkan kakinya menuju dapur sambil tangannya sibuk mengacak-acak rambut agar cepat kering. Sesekali ia bersiul, bibirnya sengaja dimoncong-moncongkan mirip seperti ikan cucut kekurangan makan.
“Masak apa No?” tanyanya seraya duduk dikursi meja makan.
Retno berbalik badan sambil membawa piring berisi telor dadar buatannya. Dia meletakkan piring itu dihadapan Alysa, tanpa mau mulutnya terbuka untuk menjawab.
Kedua alis Alysa terangkat memoandang masakan buatan Retno. Rupanya Retno bisa masak juga, pikirnya. “Lo udah makan?”
“Sudah, tadi makan roti.” jawab Retno, menundukkan kepala. Jujur saja, ia tidak suka memandang wajah Alysa. Biarpun Alysa cukup manis untuk dipandang, tetap saja baginya Alysa adalah sebuah garam, yang rasanya asin dan tidak enak. Apalagi kelakuannya, membuat Retno muak saja.
“Ooh...” kepala Alysa melirik ke Magicom yang rupanya mati, “Lo nggak masak nasi, No?” tanyanya.
Retno balas menggeleng.
“Kenapa?”
“Ak-aku, aku nggak doyan nasi.” jawabnya sambil garuk-garuk tengkuk.
Daridulu sampai sekarang seorang Retno Dewantoro memanglah tidak suka nasi. Baginya nasi adalah cacing yang tidak boleh dimakan dan menjijikkan. Entahlah, pandangan darimana bahwa nasi adalah cacing, yang jelas Retno tidak doyan nasi sama sekali. Dan sebagai gantinya, ia setiap hari mengisi perutnya dengan roti atau sekedar lauknya saja. Mangkanya badan dia lempeng dan tidak bertenaga seperti bayi kekurangan gizi.
Seketika itu pula Alysa menepuk jidat. Dia tahu betul bahwa Retno memang anti sekali dengan yang namanya nasi. Dulu waktu SMA, Retno selalu menjadi bahan olokan karena tidak menyukai nasi. “Seenggaknya lo masakin gue nasi dong, Retno Dewantoro!” marah Alysa dia mencak-mencak tidak karuan.
Dan hanya ditanggapi jawaban singkat oleh Retno, “Nggak ada beras juga,” katanya.
“Ya belilah! Malah curhat nggak punya beras segala. Terus, sekarang gue makan pake apa? Masa cuma telor dadar kecap doang? Kan nggak macem! Lo gimana sih, No?! Sekarang lo itu udah punya istri, jadi jangan mentingin diri sendiri doang! Gue prioritas lo sekarang.” cerocos Alysa. Dengan terpaksa ia menyendokkan satu iris telur dan memasukkannya ke dalam mulut. Cukup enak rasanya, namun akan lebih enak jika ada nasinya, jadi tidak terlalu manis rasanya.
“Alysa, aku-aku udah telat. Ak-aku harus berangkat kerja se-sekarang.” ujar Retno. Ia kelimpungan kala jam sudah menunjukkan pukul tujuh, sedangkan jam masuk di kantornya adalah pukul tujuh lebih lima menit.
“Buatin gue teh manis dulu!” ketus Alysa.
“Ta-tapi, aku udah telat Lysa.”
“Ya makanya cepetan buatin gue teh manis!” Membantah pun tidak akan bisa membuatnya bisa berangkat kerja saat ini juga. Alhasil Retno membuatkan teh manis untuk Alysa. Dia berdiri didepan kompor gas yang tengah menyala memasak air. Pulang kerja nanti sepertinya Retno harus mampir dulu ke toko perabotan, dia harus membeli termos agar setiap Alysa menyuruhnya untuk membuatkan teh manis bisa langsung menuangkan air, tidak seperti sekarang ini yang harus masak air dulu. Repot dan memakan waktu lama.
Lama menit berlalu, teh manis telah siap di hidangkan. “Aku be-berangkat ke-kerja dulu.” pamitnya.
“Yaudah sana, kerja yang rajin biar hidup gue terjamin sama lo. Eh iya, hari ini gue mau ke rumah Ibu, ambil motor. Pulang sore kayaknya dan jangan lupa! Gue pulang dimeja makan harus ada makanan!”
“I-iya.” setelah itu Retno ngacir pergi. Ia tidak tahan lagi untuk segera memuntahkan gejolak kemarahannya.
Sedang Alysa, usai menghabiskan telur dadar dan teh manisnya, ia bersiap-siap untuk ke rumah Ibunya. Dengan pakaian seperti biasa, serba hitam pastinya, ia keluar dari kamar. Bersenandung lagunya Slank yang berjudul Terlalu Manis. Dia duduk dikursi teras, untuk menunggu ojol yang sudah ia pesan datang.
***
Tiba dirumah Ibunya, suara yang pertama Alysa dengar adalah sebuah tawa. Tawa seorang perempuan, tetapi bukan milik Ibunya. Sontak saja kaki Alysa berhenti melangkah, terdiam ditempat sambil mengernyit bingung. Siapakah itu? Kembali tawa itu terdengar. Alysa semakin kepo. Lantas ia berlarian mencari Sumber tawa itu yang ternyata ada diruang keluarga.
“Lhoh?” pekik Alysa, ketika melihat seorang gadis remaja tengah duduk dilantai dengan Elda yang duduk diatas sofa, tengah menyisiri rambut gadis remaja itu. Keduanya menoleh bersamaan kearah Alysa yang terbingung-bingung.
Senyum sumringah menghiasi wajah Elsa. “Kamu kesini? Sama siapa? Retno mana?”
Namun Alysa hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia mengambil duduk dihadapan sang Ibu. “Ibu beneran jadi ngadopsi anak yang di Panti?” tanyanya dengan mata melirik gadis remaja itu yang kini sedang asik main ponsel.
“Iya. Habisnya Ibu nggak ada teman dirumah. Kamu kan udah nikah, ikut suami....”
Alysa menghembuskan napas. Dia tidak ingin memiliki adik tiri. Karena hal itu akan membuat dirinya kehilangan sebuah kasih sayang Orangtua. Biarpun sudah menikah, dia masih tetap butuh kasih sayang Orangtuanya. “Tapi kan Lysa bisa kesini setiap hari! Lagian ya, ngapain sih ngurus anak orang!” lagi-lagi mata tajamnya melirik pada gadis remaja itu.
“Lhoh, kok kamu gitu? Bukannya dulu kamu pengin banget punya adik? Yaudah ini Ibu bawain adik, namanya Rena. Kepanjangannya Morena Madinah!” tegas Elda lantas mengelus anak tirinya dengan sayang. “Yakan sayang?” katanya.
Apa-apaan ini? Kenapa nama belakangnya dibawa-bawa ke nama si adik tiri? Alysa hendak saja naik pitam. Dengan segera ia menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskan pelan.
Morena mengangguk. “iya, Bunda. Makasih ya, Bunda. Aku seneng.... Banget bisa di adopsi sama Bunda. Semoga Bunda bisa jadi Orangtuaku hingga dunia dan akhirat ya?” katanya sangat antusias. Lalu bola matanya teralih pada Alysa, “Dan semoga Kak Lysa bisa jadi Kakak yang baik buat aku. Jadi panutan buat aku.” lanjutnya.
“Panutan gundulmu!” balas Alysa sewot.
“Hush! Jaga omonganmu didepan adikmu! Ibu nggak mau anak tiri Ibu tingkahnya ngikut kamu, nanti malah jadi laki!” ujar Elda.
“Iiihhh.... Ibu..! Lysa nggak mau punya adik tiri...! Aku nggak mau Ibu punya anak lagi! Cukup aku, Bu! Cukup aku yang nanti dapat semua warisan Ibu dan Ayah! Bukan si goyang Morena ini!” teriak Alysa gusar.
Salah satu faktor yang membuat Alysa tidak mau memiliki adik adalah karena ia tidak mau nanti warisan Orangtuanya dibagi menjadi dua. Dia inginnya semua milik Ibu dan Ayah hanya untuknya. Dan pastinya, Alysa tidak mau memiliki adik karena ia tidak ingin Ibu dan Ayahnya membagi kasih sayang mereka menjadi dua.
“Morena Kak... Nggak pake goyang. Goyang morena mah miliknya Syahreza!” komentar Morena.
“Syahrini sayang... Si pemilik jambul katulismarwa.” sahut Elda.
“Katulistiwa, Ibu!” bentak Alysa pada Ibunya.
“Lhoh? Udah ganti nama memangnya?” tanya Elda, menatap bego pada anak kandungnya.
“Daridulu juga namanya memang katulistiwa kali, Bun.” akhirnya yang menyahut si Morena.
Segala panggil Bunda! Bikin Alysa tambah gerah hati saja!
“Ohiya, hari ini kamu mau makan apa, Sayang?” tanya Elda pada Morena, seraya menguncir rambut gadis itu yang barusan habis di basmi kutu-kutunya.
“Emmm.... Kalo capcay gimana, Bun? Aku lagi pengin itu, kayaknya enak. Di Panti nggak ada yang gituan, Bun. Paling tahu sama tempe.” jawab Morena.
“Oke sip! Nanti Bunda buatkan.” lantas pandangannya beralih pada Alysa, “Kamu kesini sendiri, Nak?”
Alysa hanya mengangguk, tanpa repot-repot mengangkat kepala untuk menatap Ibunya. Lebih baik ia main game Criminal Case daripada harus menatap adegan menyakitkan di depannya. Jujur saja, Alysa cemburu melihat kedekatan Ibunya dan si Morena ini.
“Kamu sama Retno beneran nggak akan honeymoon?”
“Nggak! Honeymoon nanti aja, kalo Slank ngadain konser di Bali,” jawabnya.
“Kamu ini, Slank-Slank, kalo nggak Slank ya Tipe-X, Souljah, Reggae, Atas Nama, Endank Soekarno! Sekali-kali kamu harus cicipin nonton SNSD atau nggak ya BlackPink.” cerocos Elda.
“Bunda kok hafal banget nama-nama band Punk Rock?”
“Eh, goyang Morena! Asal lo tahu ya, dulu Ibu gue mantan anak Punk! Nggak kayak lo, mantan anak Panti!”
“Lysa! Ibu sekarang bukan anak Punk ya, Ibu anak Kipoper!” bentak Elda.
“Siapa bilang? Ibu itu anaknya Almarhum Abdullah dan Almarhummah Aenun!” balas Alysa.
Kepala Elda geleng-geleng. Beliau pusing seketika. Memang, jika berbicara dengan Alysa haruslah memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. “Sudah-sudah, Ibu lagi nggak mau debat sama kamu. Sekarang Ibu mau tanya, kapan kamu Kasih cucu buat Ibu dan Ayah?”
Bola mata Alysa hampir saja terlepas dari sarangnya. Ia menatap tidak suka pada Ibunya. Pertanyaan macam apa itu? Ena-ena saja belum, sudah ditagih cucu. Dikiranya gampang apa, bikin anak. Bikin anak itu prosesnya panjang dan lama.
“Iya Kak, kapan kasih aku ponakan?” timpal Morena, matanya mengerling. Sepertinya gadis itu sengaja ingin membuat panas suasana hati Alysa.
“Nanti!” ketus Alysa. Dia gugup setengah mati.
Lagian ya, Alysa mana mau ena-ena sama Retno? Lebih baik ia harus tobat jadi anak Punk daripada disuruh ena-ena dan punya anak bersama Retno. Tidur saja mereka pisah ranjang. Menatap wajah Retno saja sudah membuat perut Alysa mual dan ingin muntah, apalagi disuruh memberinya nafkah batin. Tidak!
“Ya nantinya kapan?” tanya Elda mendesak.
“Ya nanti kalo—,”
“Jangan bilang kalian belum melakukan nafkah batin? Kamu belum ena-ena kan sama Retno?” sergah Elda, mulai curiga.
“Iya! Ibu... Aku itu nggak mau gituan sama Retno...!” wajah Alysa pucat pasi.
“Astagfirullah... Kamu gimana sih, Nak? Bisa masuk neraka kamu kalo kayak gitu!”
“Bun-Bun, ena-ena itu apa sih?” tanya Morena tiba-tiba.
“Ena-ena ya hubungan intim, bego!” ketus Alysa.
“Alysa!” bentak Elda.