Hari pertama kerja di kantor, para rekan di divisinya memberikan ucapan selamat dan beberapa diantara mereka juga tidak lupa pula mendo'akan Retno dan sang Istri agar cepat diberi momongan. Retno hanya senyum malu saja dan mengamini dalam hati. Bobo-boro dapat momongan, dapat istri seperti Alysa saja sudah membuat kepala Retno hampir korslet. Apalagi ditambah anak nanti? Tidak! Bisa-bisa Retno kehilangan akal dan rambutnya.
Kini ia telah selesai meeting bersama dengan ketua perusahaan dan beberapa manajer divisi lain. Retno keluar dari ruang meeting bersama dengan Aulia atau biasa dipanggil Aul—sekertarisnya si pemilik wajah rupawan dengan hati malaikat. Dia baik sekali.
“Asoy.. Pengantin baru baunya Mawar banget...”
“Njir! Retno jalannya ngangkang!”
“Maklumlah dia udah nggak perjaka lagi...”
“Makan-makan dong No... Sebagai gantinya karena lo nggak ngundang kita-kita ke acara pernikahan lo.”
Semua siulan-siulan itu terdengar kala kaki Retno hendak melewati kubikel para anak buahnya. Mereka menatap Retno dengan senyuman menggoda, membuat Retno mau tidak mau harus terkekeh geli bersama Aul yang ada di sebelahnya.
“Gimana No? Makan-makan kan?” tanya Romeo salah satu staf divisi keuangan.
Retno terkekeh. “Iya nanti kita makan siang bersama.”putusnya.
“Dimana? Jangan di kantin kantorlah... Sesekali diluar, kalo bisa sih di restoran Jepang hehehe...” celetuk Anisah, si janda rasa ting-ting. Dibilang seperti itu karena Anisah ini ditinggal mati oleh suaminya waktu mereka baru saja mengucapkan Ijab Qabul. Jadilah julukan janda rasa ting-ting, alias janda tapi perawan. Dia pecinta Jepang sekali. Apapun yang berbau Jepang pasti akan disukai, macamnya seperti komik, film kartun dari Jepang serta lain sebagainya.
“Oke deh, kita ke restoran Jepang. Tapi...—,”
“Tapi pake mobil gue?” sela Anisah. Retno mengangguk dengan senyum malu. “Iya-iya... Nanti pake mobil gue deh.” kata Anisah.
Lantas Retno berpamitan, ia masuk ke ruangannya. Sebelum masuk ia berbicara dulu pada Aul bahwa sekertarisnya itu juga harus ikut makan siang bersama untuk merayakan hari kebahagiaannya. Yah, walautidak terlalu bahagia sebenarnya.
***
“Lysa pulang dulu. Ibu baik-baik di rumah, ya? Kalo anak tiri ini nyusahin, buang aja!” ujar Alysa kejam, matanya menyorot tajam pada Morena yang saat ini berdiri disebelah Ibunya. Mereka tengah berada didepan halaman rumah. Gadis itu nampaknya menerima saja dengan perkataan-perkataan sadis dan ganas dari Kakak tirinya.
“Iya, Nak. Kamu sehat-sehat ya ngurus suami. Nanti malam jangan lupa, minta nafkah batin sama Retno.” tutur Elda, mengelus rambut pendek anaknya penuh kasih sayang.
Bola mata Alysa memutar dengan. Nafkah batin apaan! Saling tatap dengan Retno saja perut sudah mules apalagi harus.... Ah sudahlah. Sulit juga untuk dikatakan. Tapi yang jelas Alysa tidak mau. Tidak mau di sentuh atau bersentuhan dengan Retno. “Iya... Iyaa.. Yaudah, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum.” terakhir Alysa mencium punggung tangan sang Ibu dan menjambak tanpa rasa iba pada adik tirinya lantas ia pergi bersama motor matic kesayangannya. Yang kini sudah diberi nama yaitu, Mosa alias Motor Alysa.
Sampai di rumah, tujuan pertama Alysa adalah masuk ke kamar dan melayangkan tubuhnyakeatas tempat tidur dengan posisi tengkurap. Ia merogoh saku jins, menemukan ponsel disana dan langsung lanjut bermain Criminal Case. Lumayanlah, tadi dia sempat menunggu energi beberapa menit sekarang energinya sudah penuh, 110.
Sedang asik bermain CC level 30 tiba-tiba ada yang menelfonnya. Alysa berdecak, namun setelah menyadari nama siapa yang tertera di layar ponsel ia segera mengangkatnya.
“Hallo? Kenapa, Nung?”
“....”
“Apa? Nanti malem ada konser Souljah di Bogor? Jam berapa, jam berapa?” Alysa menyahut suara dari seberang sana dengan raut antusias. Bahkan ia sampai mengganti posisi menjadi duduk bersila, saking senengnya ia sampai menggigit ujung bantal guling dengan mata berseri-seri.
“....”
“Ooh.. Berarti sekarang gue harus berangkat dong, biar kita dapet depan panggung?”
“....”
“Oke-oke. Lo tunggu gue di lampu merah deket tempat karaoke AsikAsikJos, ya? Ini gue sekarang siap-siap OTW kesono.”
“....”
“Siip! See you...”
Setelah mematikan panggilannya, Alysa beranjak dari tempat tidur. Ia buru-buru mengganti celana jins hitamnya menjadi celana jins hitam yang bermodel sobek-sobek. Biasa Alysa menggunakan itu, alasannya karena jins model begitu gampang untuk naik ke truk atau mobil-mobil lain yang tingginya tidak kira-kira.
Setelah semua sudah selesai, barulah Alysa pergi menggunakan motor maticnya. Bahkan ia lupa untuk mengunci pintu rumah, menutup pun tidak. Tapi untungnya angin kencang langsung datang, membuat pintu itu tertutup dengan dorongan angin.
Alysa tergesa-gesa mengendarai motor. Ia harus segera ke lampu merah jalan dekat karaoke. Disana pasti teman satu partnernya tengah menunggu. Namanya Nunung, dia sama-sama anak Punk seperti Alysa. Mereka kuliah di kampus yang sama, jurusan sama bahkan cita-cita juga sama. Cita-cita Alysa dan Nunung adalah, mereka ingin menjadi istrinya Kaka Slank. Entah istri yang ke berapa.
Lima menit kemudian motor Alysa berhenti di pinggir jalan. Ia masuk ke sebuah rumah yang didepannya ada tulisan plang 'Penitipan Motor'. Setelah itu ia berlarian menuju lampu merah. Matanya langsung menemukan sosok Nunung si pemilik tubuh lebar dan anak Punk lain yang memang niatnya akan berangkat ke Bogor bersama.
Alysa menyalami mereka semua dengan gaya ala-ala sok soulmate.
“Woy ada tronton nih, ayo langsung-langsung... Lampu masih merah coy!” teriak salah seorang anak lelaki berusia remaja dari kalangan mereka.
Semuanya sontak mengikuti. Alysa berlari kesetanan untuk mengejar tronton yang akan ia naiki untuk menuju Bogor atau entahlah... Sampai Bogor atau tidak. Karena biasanya mereka para sopir akan berhenti sejenak untuk istirahat.
Nunung sudah lebih dulu naik ke tronton. Walaupun badannya kelebaran, dia salah satu anak Punk cewek yang kalau sudah dapat tumpangan larinya bisa secepat Ceking si pemain serial Ronaldowati. Sedang Alysa masih sedang berusaha naik ke atas tronton dengan bantuan beberapa anak lain. Badan saja Alysa kecil, tapi bobotnya bookkk... Melebihi satu kuintal mungkin.
Tepat Alysa berhasil naik ke tronton, tronton pun berjalan karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Alyaa bisa bernapas lega. Hampir saja ia ketinggalan seperti waktu dulu.
“Gimana?” tanya Nunung, wanita itu menatap serius pada Alysa. Dengan kedua tangan masing-masing berpegangan bahu anak lain agar kejadian tidak di inginkan tidak terjadi.
“Gimana apanya?” balas Alysa.
“Merid... Merid...? Gimana? Enak nggak?” ada nada jahil ketika Nunung mengatakan hal itu, apalagi kedua alisnya, segala pakai naik turun.
Tubuh Alysa seketika lemas. Tidak disana tidak disini, kenapa semua menanyakan tentang hal pernikahannya? Membuat mood Alysa down saja. “B aja,” jawabnya ketus.
“Ck! Gue nggak tanya! Gue tanyanya itu nikah enak apa nggak...?”
“Nggak!”
“Kenapa?”
Gimana mau enak, laki gue aja si kutu buku keluaran tahun jaman purba! Ingin sekali Alysa menjawab seperti itu dengan intonasi suara yang meninggi. Namun ia masih cukup waras untuk tidak bersikap memalukan diri sendiri di depan para anak-anak Punk lain. Lantas Alysa lebih memilih menjawab dengan bisikan, “Kepo!”
Membuat Nunung mulai jengah. Tapi beberapa detik kemudian ia bertanya kembali. “Eh, lo kenapa nggak pake resepsi-resepsi gitu sih? Party apa gitu, sekalian ngundang Slank kan mantep!”
Boro-boro resepsi dan ngundang Slank, IjabQabul yang durasinya hanya beberapa menit saja sudah membuat Alysa malunya setengah mati. Untungnya Retno cukup lancar kala mengucapkan IjabQabul. Yah, walaupun setelahnya dia berbuat memalukan. Gimana tidak memalukan coba? Dia memasang cincin ke jari Alysa, tapi cincinnya malah jatuh. Segala hilang juga, namun akhirnya di ganti cincin milik Elda.
Alysa menggaruk-garuk rambut kepala penuh dramatis. “Resepsinya nyusul! Udah deh, nggak usah tanya-tanya lagi!” ketusnya.
***
Seperti yang Retno janjikan, ia akan mengajak anak-anak divisinya makan siang bersama di restoran Jepang, rekomendasi dari Anisah. Kini keempat laki-laki dantiga perempuan, termasuk dengan Aul itu sudah duduk di kursi masing-masing, menunggu hidangan sampai lantas memakannya.
“Eh No, gue mau tanya deh. Kenapa lo nggak minta cuti nikah ke Bos? Kalo minta kan lo bisa libur semingg. Bisa buat honeymoon segala.” tanya Romeo.
Kepala Retno mendongak, menatap Romeo. “Kita nggak ada honeymoon. Lagian cuma Ijab Qobul aja, biar sah.” jawabnya.
“Nggak resepsi?”
“Nggak,”
“Kenapa?”
Istriku nggak mau, Rom. Rasanya ingin menjawab jujur, tapi dia malu. Jadilah berbohong, “Resepsinya nyusul.”
“Undang kita, ya?”
“Oke,”
Pelayan datang membawakan makanan yang mereka pesan. Retno menarik mangkuk ramen pesanannya dengan jus jeruk. Dia sebetulnya tidak suka makanan aneh seperti ramen, shusi atau lainnya. Retno lebih suka salad dan semacamnya.
Usai menghabiskan makan siang, semuanya kembali lagi ke kantor. Melanjutkan pekerjaan, menekuni komputer sampai akhirnya jam pulang tiba.
“Aku pulang dulu, Aul.” pamit Retno, ketika keluar dari ruangannya dan mendapati Aulia tengah beres-beres meja.
Aulia tampak mengangguk, “Silakan, Pak Retno.”
Retno melanjutkan langkahnya, mengucap pamit pada rekan lain yang tengah bersiap-siap pulang. Retno ini tipikal orang yang ramah. Siapa pun pasti akan ia sapa jika bertemu. Siapa pun juga bukan berarti Ayam dan Kambing pun Retno sapa.
Lift terbuka, Retno tercengang. Ia tampak ragu untuk masuk. Jelas saja ragu, karena yang ada di dalam lift sekarang adalah Kevin Suseno, ketua perusahaan ini. Gugup-gugup, Retno membungkuk untuk memberi rasa hormat pada Kevin lantas ia paksakan diri sendiri untuk masuk. Ia berdiri berdampingan dengan Kevin dalam sebuah suasana sunyi.
Kevin Suseno, lelaki yang selalu di kagumi oleh para wanita. Dari segi materi maupun fisik. Dia terbilang masih muda untuk masuk kedalam kategori ketua perusahaan. Masih tiga puluh tiga tahun sudah memimpin perusahaan segede Masjib Istiqlal coba? Kalau kata para wanita sih, Kevin ini Suamiable sekali. Dia juga masih sendiri.
“Saya dengar-dengar, kamu habis nikah ya, No?” suara Kevin terdengar. Begitu kaku.
“I-i-iya, Pak.” jawab Retno bersamaan dengan kepala segera di menunduk.
“Selamat ya,” Kevin mengulurkan tangan kanannya yang membuat Retno lebih teecengang lagi. Alhasil Retno hanya bisa pasrah dan membalas uluran tangan itu. “Terimakasih, Pak.” katanya.
Setelah itu pintu lift terbuka dan Retno buru-buru keluar dan masuk ke mobil. Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Sesekali Retno melirik arlojinya yang tergulung di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul lima sore lebih.
Tiba di rumah Retno masuk ke kamar. Membersihkan tubuh cepat-cepat lalu beralih kedapur. Entahlah dimana keberadaan Alysa, yang penting sekarang ia masak dulu sebelum Nini Punk itu menongolkan wajahnya dan marah-marah karena Retno belum masak.
Karena tidak sempat belanja, jadi kali ini Retno hanya membuatkan Alysa mie instan lagi. Retno meletakkan semangkuk mie di meja makan lantas ia ngacir masuk ke kamar untuk segera sholatMaghrib.
***
Ternyata Alysa semalam tidak pulang. Retno tidak mau ambil pusing untuk masalah itu. Terserah kemana perginya Alysa, yang penting tidak mengganggu kehidupannya.
Karena Alysa tidak ada di rumah dan entah dimana keberadaannya, pagi ini Retno tidak usah repot-repot membuatkan sarapan lagi seperti hari kemarin. Setelah menghabiskan segelas s**u, Retno dengan segala penampilan serba rapinya itu keluar. Saat pintu telah Retno buka, matanya melotot tidak percaya.
Ia melihat sosok Alysa tengah tertidur di lantai dengan posisi telentang tanpa malu. Bahkan mulut wanita itu mengaga lebar, melantunkan suara ngorok bersamaan dengan air terjun buatan yang mengalir. Alysa lebih mirip paus terdampar kali ini. Retno bergidik ngeri. Bolehkah ia protes pada Tuhan, marah pada Tuhan karena telah memberinya istri yang tidak tahu malu? Sungguh, semua ini diluar bayang-bayangnya. Impian ingin memiliki istri cantik, nurut dan sayang dengan orangtua itu sudahlah musnah.
Dengan ogah, Retno berjongkok. Ia meletakkan tas kerjanya di lantai, mengantongi kunci motor, entah kunci motor siapa yang kini terlantar begitu saja. Lantas Retno menggendong Alysa masuk ke kamar milik wanita itu. Pelan-pelan Retno meletakkan Alysa diatas tempat tidur, menyelimutinya penuh hati-hati. Tanpa sengaja ia menyentuh dagu Alysa, ia tersentak. Dagunya sangat panas. Retno pandangi wajah Alysa yang pucat. Tanpa ragu tangannya terulur menyentuh dahi wanita itu. Panas, itulah yang Retno rasakan.
“Kamu demam, Alysa.” katanya, bermonolog.
Retno berdiri diam memandangi tubuh Alysa. Ia bingung, tindakan apa yang harus dilakukannya saat ini. Ini sudah pukul setengah delapan. Kantor pasti sudah pada masuk. Ia mendesah resah lalu keluar dari kamar Alysa. Melangkah lebar menuju dapur sambil tangannya sibuk menulis pesan Aul, memberitahu bahwa ia tidak bisa berangkat.
Tiba di dapur, Retno buru-buru memasak air untuk bahan mengompres Alysa. Setelah itu ia masuk lagi, mengompresi dahi Alysa. Retno melakukannya dengan kasar, menekan keras dahi Alysa namun sang empu sama sekali tidak terusik. Bergerak atau bahkan membuka mata pun tidak. Julukan Kebo untuk Alysa mungkin pantas.
Sambil menunggu Alysa bangun, Retno masuk ke dapur lagi. Kali ini ia akan membuatkan bubur instan alakadarnya. Terserah enak atau tidak, setelah berhasil terhidang, Retno kembali lagi masuk kamar Alysa, sambil membawa parasetamol juga untuk membantu menurunkan suhu tubuh wanita Kebo itu.
Rupanya si Kebo sudah bangun. Retno mengerutkan dahi kala melihat Alysa celingak-celinguk seperti orang linglung. “Ka-ka-kamu, kamu tadi tidur d-di luar. Terus ak-aku bawa kesini. Kamu demam. Ini, makan buburnya, terus minum obatnya.” jelas Retno yang entah kenapa jika berbicara dengan Alysa selalu saja menjadi gugup dan gagap.
Kontan saja mata Alysa melotor. Ketika mulutnya hendak melontarkan kemarahan, tiba-tiba rasa pening melandanya. Akhirnya ia tidak jadi marah dan malah memijit dahi sendiri yang ternyata ada handuk kecilnya. Siapa yang melakukannya? Kepala Alysa menoleh pada Retno yang tertunduk takut. Alysa menghela napas. Ini bukanlah waktu yang pas untuk marah. Lagian juga, tenggorokannya kini sudah tidak bisa lagi untuk mengeluarkan suara akibat keasyikan koar-koar di acara konser semalam.
Detik berikutnya Alysa mengganti posisi tidurnya menjadi setengah duduk. Mengambil mangkok di nakas lantas memakan bubur itu.
Selama Alysa sakit, Retno dengan segala kebaikannya rela lahir batin menjadi kacung Alysa. Retno meninggalkan pekerjaannya selama dua hari, hanya untuk mengurus Alysa agar cepat sembuh. Sebenarnya Retno tidak ingin Alysa sembuh, karena jika wanita itu sembuh dari sakitnya, pasti akan semena-mena lagi seperti biasa. Namun Tuhan begitu baik dengan Alysa, sehingga hanya dua hari saja Alysa sakit.
“Lhoh, lo mau berangkat kerja?” tanya Alysa, ketika masuk ke dapur dan mendapati Retno Sudan rapi menggunakan pakaian kerjanya, dia sedang menyantap roti isi selai.
Retno hanya mengangguk.
“Siapa yang nyuruh lo kerja? Gue kan belum sembuh total, nih dahi gue masih panas! Badan gue juga masih panas!”
Sayangnya Retno tidak peduli. Paling hanya akal-akalan Alysa saja. Ia mengambil tas kerjanya di atas meja lantas melangkah pergi.
“Heh mau kemana lo? Retno! Retno....! RETNO...! dasar kutu lo! Asem!” Alysa memaki-maki tidak jelas sambil mengacak-acak rambut.