Angin menghembus begitu kencang, menimbulkan dedaunan yang awalnya diam menjadi bergoyang. Hawa dingin menyeruak masuk ke dalam seluruh tubuh Alysa. Perawan tua itu kini hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jins hitam panjang. Alysa tidak peduli tubuhnya dingin mengigil. Dia tidak peduli, sekalipun dirinya sakit.
Diam termenung, duduk didepan warung kopi dekat lapangan basket selama berjam-jam. Itulah yang Alysa lakukan. Dari mulai jam sembilan dia datang ke lapangan, sampai saat ini sudah memasuki malam, tepatnya pukul tujuh. Dia sama sekali belum memiliki niatan untuk pulang, apalagi memikirkan mandi. Bahkan dia lupa atas kewajiban membersihkan tubuhnya. Selama itu pula, Alysa sudah menghabiskan lima gelas kopi ABCD di warung milik orang Tegal itu. Pemiliknya bernama Mas Nur, seorang lelaki paruh baya, duda, memiliki tiga orang anak, asli orang Tegal dan merantau di Jakarta bekerja sebagai penjual kopi dekat lapangan basket.
Warung bernamakan Waroeng Mas Nur itu sudah menjadi langganan untuk tempat hutang bagi seorang Alysa. Bisa dihitung hutangnya, mungkin ada lima ratus ribuan. Itupun selama satu bulan dan belum lagi hari ini.
Hari ini adalah hari tersial untuk Mas Nur, karena Alysa duduk berjam-jam di warungnya tidak luput dari hutang kopi. Kedatangan Alysa ke warungnya, seperti bagai bencana tanpa bisa di cegah.
Sambil menopang kepala menggunakan tangan kanan, bola mata Alysa melirik Mas Nur yang duduk di sebelahnya, sedang bermain ponsel. Walaupun sudah berumur, Mas Nur ini sangat kekinian. Merk ponselnya tidak kalah dengan anak bujang masa kini. Bahkan beliau memiliki akun f*******: dan i********:, untuk mempromosikan warung kopinya. Tidak sampai disitu saja, Mas Nur juga memiliki followers banyak. Ada juga para janda-janda yang sering DM akun Instagramnya. Dan semua itu membuat Alysa merasa ngeri dan ngilu secara bersamaan pada Mas Nur. Alysa menggeleng-gelengkan kepala ketika Mas Nur tersenyum pada layar ponsel. Dengan setengah kesal, mulutnya memanggil lelaki tua bergaya kekinian itu.“Mas Nur!” nada suaranya terdengar ketus.
Sontak Mas Nur mengalihkan pandangan dari ponsel ke Alysa. Mengerutkan dahi memandang Alysa.“Kenapa? Kamu mau pulang, pulang saja sana. Belum mandi juga kan kamu.” jawabnya enteng. Lantas kembali fokus pada layar ponsel.
Tingkat kekesalan Alysa menjadi lebih tinggi dua kali lipat. Dia mendengus kencang sambil menggesek-gesekkan alas kakinya diatas pasir. Tanggapan Mas Nur yang acuh membuat pikirannya malah lebih berkecamuk. Padahal baru saja dia hendak curhat pada Mas Nur tentang perjodohannya dengan Retno lelaki cupu anak komplek sebelah itu. Namun respon Mas Nur malah acuh tak acuh.
“Mas Nur, saya mau curhat ini!” ketusnya, memandang Mas Nur penuh kekesalan tingkat Dewa.
“Yo wes tinggal curhat. Saya dengarkan sambil balas pesan-pesan dari fans.” balas Mas Nur dengan songongnya. Wajah sudah songong, kelakuan juga songong.
Sebelum akhirnya mengungkapkan kegundahan hatinya kepada orang yang tidak tepat untuk diajak curhat, Alysa lebih dulu menghela nafas. “Saya mau di jodohin sama Retno!” ungkapnya dengan cepat tanpa koma.
“Bagus dong. Retno kan mapan. Punya pekerjaan, punya rumah sendiri dan mobil. Katanya juga dia lagi cari calon istri, soalnya kan umurnya sudah tiga puluhan” cerocos Mas Nur, tanpa repot menoleh pada Alysa.
Mulut Alysa dibuat melongo mendengar jawaban enteng dari Mas Nur. Memang sih, ada benarnya juga. Retno itu mapan. Punya pekerjaan yang tidak perlu diragukan lagi gajinya, punya mobil dan hebatnya lagi sudah punya rumah sendiri. Tapi yang membuat Alysa sangat tidak sudi menikah dengan Retno adalah karena penampilan Retno itu sangatlah culun. Tidak pantas sekali jika di sandingkan dengannya yang malah berbanding balik dari penampilan wanita pada umumnya.
Membayangkan itu membuat bulu kuduk Alysa sontak meremang. Duduk berdampingan dengan Retno di hadapan sang penghulu. Si Retno mengucapkan IjabQabul yang dituntun oleh penghulu. Tanpa sadar kepala Alysa tergeleng tiga kali. Dia segera menghilangkan pikiran mengerikan itu dan beralih fokus pada lawan bicaranya saat ini.
“Tapi Mas Nur... Retno itu cupu! Saya nggak mau nikah sama orang yang Kuper, alias kurang pergaulan. Saya maunya sama Kaka vokalis Slank. Dia ganteng, tattonya macho! Nggak kayak Retno, klemar-klemer tiap hari pake kacamata!”
Gantian kepala Mas Nur Yang geleng-geleng. Masih dengan bermain ponsel, beliau membalas.“Memangnya Kaka-Kaka itu mau sama kamu? Retno saja belum tentu mau sama kamu!”
Curhat kepada Mas Nur memang benar-benar kesalahan terbesar bagi Alysa. Tangannya meraih cangkir berisi kopi lantas menyeruputnya hinga tandas pada tetes terakhir. Ketika hendak meletakkan kembali cangkir dimeja, bola matanya tanpa sengaja melihat ponsel menyala kedip-kedip. Sebenarnya sudah sejak satu jam lalu ponselnya kedip-kedip tanda panggilan masuk, hanya saja Alysa tidal mau mengangkatnya. Karena dia tahu, jika bukan Ibunya yang menelepon, pasti Ayahnya.
Tapi daripada kembali merespon jawaban Mas Nur yang semakin kesini semakin membuatnya darah tinggi, Alysa lebih memilih mengabaikan Mas Nur dan beralih pada ponsel yang menayangkan nama Ibunya disana. Dengan berat hati, akhirnya Alysa mengangkat panggilan itu.
“Alys—”
“Iya, Alysa pulang sekarang.” potong Alysa sebelum akhirnya Elda menyebutkan berbagai ancaman padanya jika tidak segera pulang.
Setelah berkata tidak sopan, tanpa salam penutup sekalipun dia langsung mematikan panggilannya dengan sang Ibu. “Saya pulang dulu Mas Nur. Kopinya di hitung saja, nanti kalau sudah kerja saya lunasi semua!” ucapnya pada Mas Nur. Lantas segera berlari ke lapangan tanpa perlu menunggu jawaban dari pemilik warung.
Tiba di lapangan basket yang memiliki penerangan tinggi, Alysa memelankan larinya. Di melangkah malas menuju tengah lapangan untuk mengambil motor yang saat ini telah dijadikan pembatas untuk permainan bulu tangkis oleh Amar dan Boy. Dua remaja yang baru duduk di bangku SMA.
“Gue mau balik.” ucap Alysa pada Amar dan Boy sambil duduk di motor dan mulai menyalakan mesin motor.
“Baru jam setengah delapan kali, Kak! Masih sore ini...” celetuk Boy.
Sebenarnya namanya bukan Boy, melainkan Aminuddin. Tapi remaja berambut pirang itu lebih suka dipanggil Boy daripada nama aslinya. “Bonyok udah nunggu.” balas Alysa lalu melajukan motornya setelah tadi menepuk pundak Amar.
Tiba di rumah dan baru saja membuka pintu, pandangan pertama yang Alysa lihat adalah kedua orangtuanya sedang duduk di ruang tamu. Keduanya memasang wajah garang. Kedua tangan masing-masing terlipat di d**a. Satrio—Ayah Alysa berdiri dan diikuti oleh Elda di belakangnya. Alysa dibuat tercengang melihat kedua orangtuanya yang sepertinya marah besar.
“A-Ayah, Ibu...” sapa Alysa canggung.
“Darimana saja kamu seharian? Telepon nggak diangkat. Sudah makan, kamu?” bukan suara kemarahan atau sangar yang keluar dari mulut Satrio. Melainkan nada suara lembut penuh kekhawatiran. Aneh. Menurut Alysa ini aneh.
“Hehehe be-belum, Yah. Alysa di lapangan basket komplek sebelah kok.”
“Nggak nonton konser kan?”
Satrio akan menjadi protektif pada anak semata wayangnya jika sudah berbicara tentang konser. Entah apapun jenis konsernya, beliau sangat tidak sudi jika anaknya nonton-nonton hal tidak berfaedah seperti nonton konser. Hal itu membuat Alysa sulit untuk menonton konser jika ada jadwal. Dia akan kabur-kaburan dari rumah jika Ibu dan Ayahnya sama sekali tidak mengizinkannya nonton.
“Nggak kok.” jawab Alysa.
"Yasudah, kita makan malam sama-sama.”
“Loh, Ayah dan Ibu belum makan?”
Elda meraih tangan suaminya lantas menjawab pertanyaan anaknya. “Ya belum! Kita kan nunggu kamu pulang!” ketusnya. Lantas menggandeng Satrio untuk menuju meja makan.
Makan malam pun akhirnya di laksanakan dengan suasana hening tanpa suara manusia. Hanya ada piring dan sendok yang saling beradu. Setelah dirasa perutnya sudah cukup terisi, Alysa meraih gelas berisi air putih. Dia minum hingga tidak tersisa lantas beranjak dari kursi meja makan. Niatnya akan langsung mandi lalu tidur.
Namun dia tunda karena tiba-tiba suara Ayahnya terdengar. “Lysa, mau kemana kamu? Duduk dulu! Ada yang mau Ayah bicarakan dengan kamu.” dari nada suaranya saja sudah tidak bisa lagi untuk ditolak permintaannya.
Akhirnya Alysa duduk kembali. Menatap Ayah dan Ibu yang duduk di hadapannya secara bergantian. Dia tahu betul hal apa yang akan kedua orangtuanya bicarakan. Kalau bukan dia disuruh cari kerja, paling juga masalah baru yang tak lain adalah perjodohan. Aaah, semua ini gara-gara Ibunya. Tidak ada angin tidak ada badai tiba-tiba main jodoh-jodohan anak sendiri dengan gampangnya.
“Lysa, kamu kan sudah dewasa dan bukan remaja apalagi anak kecil. Rubahlah sedikit kelakuanmu. Jangan pakai baju-baju yang gambarnya nggak jelas kayak gitu. Jangan juga pakai celana sobek-sobek, itu nggak keren, Nak. Apalagi nonton konser Punk. Bukan anak perempuan sekali. Nanti, kalau sudah punya suami, masa mau nonton konser Punk? Nggak bagus, Sayang. Perempuan itu harus anggun dan menjaga penampilan.” ceramah Satrio. Beliau menatap lekat penuh sayang pada anaknya.
Dari semua rentetan kata-kata yang keluar dari mulut Ayahnya, Alysa sama sekali tidak bisa mencerna satupun. Sebenarnya apa maksud dari kata-kata panjang itu? Karena tidak tahu harus apa, Alysa hanya diam mendengarkan tausiyah malam sebelum tidur. Biarlah mulut Ayahnya ngoceh, yang penting beliau tidak marah-marah. Karena jika sekali marah, wajah beliau akan merah semua seperti kepiting rebus.
“Umurmu kan sudah nggak muda lagi. Kasarnya sudah tualah. Apa kamu nggak ada gambaran untuk berumahtangga?” lanjut Satrio penuh hati-hati dalam setiap ucapannya. Takut-takut jika anaknya merasa tersinggung dan nangis karena di singgung Ayah sendiri.
Ternyata ini arti dari semua ucapannya? Alysa menghela napas berat lantas menggeleng. “Belum punya calon!” ketusnya sambil garuk-garuk rambut kepala.
Elda angkat bicara. “Nah, tadi pagi kan Ibu sudah bilang. Kamu nikah saja sama Retno. Dia map—”
“Biar Ayah saja yang menjelaskan.” sela Satrio pada istrinya.
Setelah melihat Elda tutup mulut, Satrio kembali fokus menceramahi anaknya. “Tadi sore Ayah dan Ibu main ke rumah Tante Dewi, Bundanya Retno. Dan—,”
“Dan membicarakan tentang perjodohan? Ayah, Alysa nggak mau nikah kalau nggak sama Kaka Slank! Lysa nggak mau sama Retno cupu itu! Dia jelek, Ayah!” bantah Alysa dengan posisi berdiri dan di akhiri gebrakan meja. Sungguh, dia tidak habis pikir pada kedua orangtuanya sendiri.
Hari gini masih sibuk jodoh-jodohin anaknya. Berasa anaknya sudah tidak laku lagi? Alysa menatap kesal pada kedua orangtuanya. Terutama pada Satrio yang membalas tatapannya dengan pelototan penuh amarah, namun kali ini Alysa tidak takut. Sedang Elda yang biasanya melerai sekarang malah ikut melotot, berpihak pada suami.
“Duduk!” teriak Satrio.
Alysa terpaksa duduk kembali dikursi. Dia mengalihkan pandangan kearah lain. Semakin lama Ayahnya melototkan mata, semakin pula tingkat keberaniannya melemah.
“Ayah, Ibu dan Mamanya Retno sudah setuju kalau kalian menikah!” putus Satrio.
“Tapi Ay—”
“Tidak ada tapi-tapian. Lysa, Retno itu lelaki baik. Dia pasti bisa menuntun kamu kejalan yang benar. Menjadi Imam yang baik untuk kamu. Ayah setuju kamu menikah sama Retno juga karena dia memang orang yang bisa dipercaya. Kami Sayang sama kamu, Lysa.” jelas Satrio.
Tubuh Alysa melemas. Biasanya jika perempuan lain yang berada dalam masalah seperti ini, maka dia akan menangis sesenggukan menerima nasib perjodohan yang tidak diinginkan. Namun ini Alysa. Manusia setengah perempuan, setengah laki-laki. Pantang menyerah dan pantang mengeluarkan air mata. Tubuh Alysa semakin melemas, namun matanya tidak mengeluarkan air mata. Entah terbuat dari apa matanya, kenapa tidak pernah menangis. Mungkin didalam matanya sedang berada dalam musim panas jadi tidak ada air.
“Kamu mau kan nikah sama Retno? Ini permintaan Ayah dan Ibu. Apa kamu akan menolak?” suara Satrio terdengar sendu.
Hati pun mulai berbisik-bisik. Sekarang permasalahannya bukanlah tentang nikah dengan siapa atau siapa, melainkan tentang kebahagiaan orangtua. Jelas Alysa ingin sekali membahagiakan keduanya. Sekalipun dengan cara yang akan membuatnya tersiksa. Dan demi kebahagiaan Ibu dan Ayah, kini Alysa pun memutuskan. “Iya, Lysa mau nikah sama Retno!” dengan agak ogah dan tidak memandang kedua orangtuanya.
“Alhamdulillah...” Elda dan Satrio bersamaan mengucap syukur, lantas keduanya beranjak dari kursi dan memeluk Alysa berlebihan.
“Kayak menang lotre aja!” cibir Alysa sambil memegangi tangan kanan Ayah dan Ibu yang malah memeluk lehernya.
“Ini lebih dari lotre, Nak. Besok kamu temui Retno di kafe Nyoklat dekat kantornya Retno, kantor DN Properti.” ucap Elda penuh ceria.
“APA?!”
***
Kafe Nyoklat. Alysa yang biasanya ngopi di warung Mas Nur dengan tempat alakadarnya, sekarang dia harus duduk manis menikmati aneka rasa kopi dan makanan enak tapi mahal. Ini bukan Alysa sekali. Tapi demi kebahagiaan Orangtua, apapun Alysa lakukan selama dirinya bisa. Apapun, termasuk perjodohan ini.
Sambil menunggu Retno datang, Alysa memainkan ponsel. Berusaha menyibukkan diri pada ponsel walau sebenarnya dia hanya main game COC disana. Biarlah, daripada memandang orang lain disekitarnya yang sibuk berduaan bersama pacar, lebih baik dia pacaran sama game dan sesekali menyeruput minuman tanpa harus mengindahkan pandangan kearah lain.
Bosan hanya main game itu-itu saja dan suasana kafe semakin ramai karena kini sudah memasuki jam istirahat para pekerja di berbagai belahan perusahaan, akhirnya Alysa menyudahi bermain COC. Dia mendongak dan saat itu juga matanya melotot berjingkrak kaget sambil berucap. “Astaghfirullah Retno! Lo kalau datang ngomong dong! Kayak Jelangkung aja!”
Tanggapan Retno hanya mengangguk kecil.
Alysa diam memandang penampilan orang di hadapannya. Dari atas sampai d**a saja Retno sudah terlihat sangat rapi, mengenakan pakaian kerja yang sangat formal baginya. Rambut disisir rapi dengan cukuran cepak, kacamata bertengger diatas hidung, kemeja biru Dongker melekat kebesaran pada tubuh cungkring dan yang pasti leher laki-laki itu mengenakan dasi.
Sedang penampilan Alysa? Serba hitam. Untung sajaa tadi dia sempat lupa memoles lipstik hitamnya. Lama memandang Retno penuh lekat tanpa berkedip, akhirnya Alysa tersadar. Dia menggelengkan sedikit kepalanya sambil mengerjap lebay seolah di hadapannya adalah mimpi buruk.
“Kamu Alysa kan?”
Bahkan suara Retno penuh kesopanan dan kelembutan bagai kain sutera, namun begitu menyakitkan bagi Alysa. Menyakitkan karena bisa-bisanya Retno melupakannya. Padahal mereka dulu bersekolah di SMA yang sama, walau tidak seangkatan.
“Iya, gue Alysa Madinah. Bisa dibilang gue ini calon istri lo!” ketus Alysa. Dia dengan kepercayaan dirinya mengucapkan calon istri.
“Ka-kamu..—,”
“Nggak usah PD lo! Gue terpaksa menerima perjodohan mendadak ini. Demi kebahagiaan Orangtua.”
“Tap-tapi—,”
“Tapi apa? Lo keberatan nikah sama gue? Katanya lagi nyari jodoh, yaudah kebetulan juga nyokap dan bokap gue ngebet pengin anaknya cepat-cepat nikah jadi mending kita nikah! Jangan bilang kalau lo nggak mau?” semua ucapan yang terlontar dari mulut Alysa untuk Retno sama sekali tidak bernada lembut. Semuanya kasar dan penuh tekanan.
Dalam hati Retno mencibir semua ucapan Alysa. Memang, siapa yang sudi memiliki istri model laki-laki seperti Alysa sih? Hanya orang-orang terpaksa saja yang mau. Dan karena dia juga terpaksa, jadilah kini kepala Retno terangguk. Dia bersedia menikah dengan Alysa. Demi Bundanya. Sama seperti Alysa, dia juga menerima perjodohan ini demi Orangtua.
“Tapi gue nggak mau pernikahan kita ada pesta-pestanya. Gue mau cuman Ijab Qobul aja di Masjid sebelah!”
Tidak ada jawaban lagi selain mengangguk. Retno mengangguk. Apapun kemauan Alysa, dia angguki saja. Yang penting positif.
“Nah, sip! Kita jalani sama-sama. Nanti kalau orangtua kita sudah pada mati, baru nanti gue mengajukan gugatan ke pengadilan. Kita cerai. Beres kan?” ucap Alysa enteng tanpa disaring dulu perkataannya.
Dan respon Retno sangatlah berlebihan. Lelaki berusia tiga puluh tahunan itu tersedak ludah sendiri dan akhirnya terbatuk-batuk. Alysa yang memang sedang dalam mood baik segera memberikan minumannya pada Retno yang langsung diminum oleh lelaki itu.