Pernikahan diadakan pada Minggu depan. Dan sesuai keinginan mempelai wanita, penikahan mereka tidak mengadakan pesta. Hanya akan ada resepsi satu saja yaitu Ijab Qobullalu setelah itu resmi. Tidak ada pula rias-riasan, karena Alysa jelas tidak mau wajahnya dirias. Sekalipun dirias yang pasti kepalanya akan dipakai konde, itu akan menyulitkan periasnya. Karena rambut Alysa terlalu pendek, jadilah nanti bagian memberi tampilan Makeup pada wajah Alysa saat akan Ijab Qabul adalah Elda sendiri. Beliau lebih tahu keinginan anaknya.
Biarpun tidak mengadakan adat-adat seperti adat Betawi pada umumnya, pengantin juga harus dipingit. Mereka tidak boleh bertemu selama hari H tiba. Namun, siapa pula yang mau bertemu dengan Retno? Wajah cupu itu. Alysa tertawa dalam hati ketika Ibu dan Ayahnya memberitahu jika ia tidak boleh bertemu dulu dengan Retno.
Alysa berbalik badan dan melangkah masuk kedalam rumah. Baru saja Retno dan calon mertua berkunjung kerumahnya untuk menanyakan tanggal nikah. Setelah mobil Retno sudah keluar dari pekarangan rumah, Elda dan Satrio melangkah menyusul anaknya masuk rumah. Mencari-cari keberadaan Alysa yang ternyata sedang duduk asik dikursi meja makan sambil menikmati Brownies pemberian dari Bundanya Retno barusan.
Satrio dan Elda duduk dihadapan anaknya. “Masih ingat kan apa yang Ayah bilang tadi?” tanya Satrio.
Sontak Alysa menghentikan makannya dan mendongak. Dia dibuat keselek melihat wajah berseri-seri kedua Orangtuanya. Sebegitu bahagianya kah mereka? Padahal baru tanya tanggal nikah. Apalagi jika sudah masuk hari H?
“Apa?” tanya Alysa, setelah tadi dia berhasil menghilangkan rasa seratnya akibat keselek gumpalan Brownies.
“Jangan ketemuan dulu sama Retno! Mengerti?”
Lagi-lagi diingatkan. Padahal tadi sudah. Alysa hanya bisa menghela napas sambil mengangguk malas. Dia beranjak dari kursi, tangannya mengambil kotak Brownies lantas pergi tanpa pamit meninggalkan keduanya.
Tiba dikamar, Alysa mengambil duduk dilantai yang dihadapannya sudah ada layar televisi, sudah menyala sejak sebelum Retno berkunjung kerumahnya. Alysa diam memandang layar televisi sambil tangannya tidak henti menyuapkan Brownies pemberian dari calonIbu mertua. Aaah, calon mertua. Rasanya canggung sekali untuk menyebutkan pangkat itu. Apalagi calon suami. Geli sendiri jika harus mengatakan itu.
Dalam diam, Alysa terus memikirkan nasibnya. Sebentar lagi, atau tepatnya seminggu yang akan datang statusnya telah berganti menjadi seorang istri dari Retno. Alysa masih saja tidak menyangka bahwa takdirnya akan semengenaska ini. Menikah dengan Retno, bahkan lebih dari mengenaskan, melainkan kutukan. Dulu saja dia benci sekali pada Retno karena laki-laki cupu yang kebetulan memiliki IQ tinggi itu seorang anggota OSIS sewaktu SMA. Alysa jelas sangat benci pada anak OSIS. Baginya, mereka itu sok tahu. Sok berpenguasa disekolah. Padahal pangkatnya masih sama yaitu sama-sama murid.
Lama terdiam dengan pikiran berkecamuk membuat matanya tiba-tiba mengabur dan mulut pun tidak bisa di cegah lagi untuk tidak menguap. Rasa kantuk masuk begitu saja. Hingga brownies ditangan kanan yang tinggal sesuap lagi terjatuh bersamaan dengan matanya mulai terpejam. Padahal ini masih pukul sembilan malam. Bukan Alysa sekali jika jam segini sudah tidur. Tapi mungkin kali ini dia lelah. Lelah meratapi nasib yang semakin kesini malah semakin jelek saja.
***
“YA ALLAH... ANAK PERAWAN JAM DELAPAN MASIH TIDUR TERKAPAR DI KAMAR? ALYSA, BANGUN!”
Teriak Elda, ketika beliau masuk kekamar Alysa dan matanya langsung disambut dengan pandangan menjijikkan. Anak gadisnya yang beliau sayang dan cintai itu jam delapan pagi seperti ini masih tertidur. Masih mending tidurnya diatas kasur. Ini dilantai. Dan lagi, yang membuat Elda semakin marah adalah ketika mendapati beberapa Brownies berceceran diatas lantai.
Sedang pemilik kamar malah asik menikmati mimpinya. Suara Elda yang cempreng tidak ada duanya itu bahkan tidak membuat seluruh tubuh Alysa bergerak. Benar-benar sama sekali tidak merasa terusik. Kepala Elda menggeleng sambil mengelus d**a. Mengelus dadanya agar tetap sabar dan ikhlas karena harus memiliki anak titisan Dewa kejorokan. Beliau mulai membungkukkan tubuh, memunguti Brownies-brownies dilantai lantas mengumpulkannya diwadah serupa. Sesekali beliau mencolek pipi anaknya agar terbangun dan ketika Elda dengan jahilnya menjepit hidung Alysa, sontak siempunya gelagapan dan segera bangun.
Alysa mendengus sebal melihat keberadaan Ibunya dikamar. Dia beranjak masuk kekamar mandi. Pagi ini ia sedang tidak mau ribut dengan Ibunya, jadi lebih baik segera membersihkan wajah dan mulut lantas turun kelantai dasar untuk menyantap sarapan.
Enak sekali hidupnya!
“Punya anak satu kok repotnya melebihi piara Anakonda! Lysa... Lysa... Mbok ya kamu ngertiin Ibu. Ibumu sudah tua, sudah bau lemah. Harusnya semakin sini kamu semakin sayang sama Orangtua, bukan malah semakin merepotkan!” Elda bermonolog sambil tangannya sibuk merapikan tempat tidur Alysa yang memang dari dulu selalu berantakan. Padahal semalam Alysa tidak tidur di kasur dan hanya untuk rebahan sejenak, tapi tempat itu bahkan sudah seperti kapal pecah.
Didalam kamar mandi, Alysa mendengar jelas ucapan Ibunya. Tangan kanannya semakin kencang menggosok area gigi, kala suasana hatinya semakin panas. Masih pagi begini tapi Ibunya sudah memulai acara sindirannya. Dasar!
Setelah dirasa sudah cukup, seraya mengelap wajah menggunakan handuk kecil, Alysa keluar dari kamar mandi. Dia menemukan Ibunya tengah memasukkan bantal guling kedalam sarung bantal baru yang jelas bergambar tengkorak.
"Itu, bawa keranjang pakaian kotormu ke bawah. Cuci juga sekalian! Dirumah ada mesin cuci tapi masih saja nyuruh Ibu! Kamu pikir Ibumu Babu?" ucap Elda. Beliau memandang sinis terhadap anaknya. Sesekali, Alysa memang harus dikasari.
"Nggak, ah! Lysa lapar, mau sarapan dulu. Lagian, kapan sih Lysa nyuruh Ibu untuk nyuci? Ibu sendiri yang mau kan?"
Lantas dia mulai melangkah keluar dari kamar. Handuk kecil masih terlipat di lehernya. Dan ketika tiba dimeja makan, membuka tudung saji ia tidak menemukan satu jenis pun makanan. Kemana saja Ibunya waktu pagi tadi? Sampai-sampai anaknya tidak diberi makan. Alysa mendengus sebal. Ini kali pertama ia tidak mendapat jatah sarapan. Semakin kesini Ibunya ternyata malah semakin kejam.
“Tahu nggak ada makanan, harusnya masak, Putriku. Kamu harus bisa masak. Sebentar lagi mau jadi istri orang, masa masak nggak bisa. Mau dikasih makan apa nanti Retno?” Elda berjalan santai menghampiri anaknya yang berdiri didepan meja makan sambil memegangi tudung saji penuh kekesalan.
“Rumput!” ketus Alysa.
“Hussh! Kamu pikir Retno Kambing?”
“Mirip!”
“Sudah! Lebih baik sekarang kamu belajar menjadi istri. Kamu itu calon ibu rumah tangga. Harus bisa masak, nyuci, bersih-bersih dan melayani suami! Mumpung masih ada waktu satu minggu, gunakanlah waktu itu untuk belajar masak, nyuci dan bersih-bersih.”
Bola mata Alysa memutar jengah. Anak Punk disuruh masak dan nyuci? Apa kata dunia? Alysa ogah melakukan perintah Ibunya satu ini. Dia tidak bisa nyuci apalagi masak. Biarkan saja nanti Retno yang melakukan itu semua. Retno kan cupu, pasti dia jago tentang masalah rumah.
“Alysa, mau kemana? Tadi Ibu bilang apa? Hari ini kamu harus belajar masak dan besok belajar nyuci! Nyucinya tidak pakai mesin!”
Sontak Alysa menghentikan langkahnya, berbalik badan kemudian menjawab. “Dan besoknya lagi belajar bersih-bersih? Alysa nggak mau, Bu!” kakinya dia hendak-hentakkan seperti anak kecil.
Sebenarnya sifatnya yang seperti ini, sangat tidak pantas dengan wajahnya. Anak Punk, pecinta warna hitam, wajah sangar. Tapi suka merajuk seperti saat anak kecil. Membuat Elda hanya bisa geleng-geleng kepala lantas menghampiri anaknya. Beliau menyeret lengan Alysa sampai didepan kompor gas. “Coba kamu masak air. Buatkan Ibu s**u, biar nanti kalau disuruh bikin kopi sama Retno kamu nggak salah. Cepet!” tegasnya sambil menghempaskan lengan anaknya lantas pergi begitu saja.
Sedang Alysa misuh-misuh tidak jelas didepan kompor gas yang belum menyala. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Tahapan-tahapan cara membuat s**u saja ia tidak tahu yang pertama apa. Jadilah setelah beberapa menit termangu seperti orang gagu, dia mulai meletakkan panci kecil diatas kompor lantas menuangkan air secukupnya disana.
Sembari menunggu, Alysa mulai gelagapan mencari kotak s**u Angklung yang biasa Ibunya minum. Dari semua yang ia lakukan sangatlah berlebihan, padahal ia hanya disuruh membuat s**u saja. Namun tingkahnya seperti orang sedang memasak telur tapi kegosongan.
Alysa tidak tahu bagaimana cara mengetahui air yang sudah matang dan belum. Jadi ia memperkirakan saja. Setelah air itu mendidih hingga busanya memunjuk keatas sampai tumpah-tumpah, barulah dia anggap air itu sudah matang.
Kini s**u Angklung buatannya sudah siap disajikan. Sekarang tinggal mencari Ibunya. Dimana beliau? Alysa melangkahkan kakinya ke ruangan keluarga dan dia menemukan sang Ibu tengah menata aneka ragam pernak-pernik kecil dilemari kaca. Melihat sosok Ibunya membuat darah Alysa malah naik. Secara tidak sadar ia memaki dalam hati. Entahlah. Sejak semalam dia sangat sensitif pada Ibunya sendiri.
“Ini susunya! Lysa mau main!” ketusnya seraya meletakkan gelas dimeja lantas beralih mengambil kunci yang terletak diatas lemari.
Namun gerakannya terhenti karena tiba-tiba saja Elda menampik tangannya dengan keras sehingga menimbulkan suara dan rasa sakit yang begitu nikmat. Alysa melotot memandang Ibunya. ”Ibu apa-apaan sih?! Anak sendiri dianiaya!” ketusnya sambil elus-elus tangan penuh dramatis.
Elda semakin geram pada anaknya. Beliau menarik lengan Alysa menuju dapur. Menghadapkan tubuh Alysa pada kompor gas kembali. “Sekarang, coba kamu masak! Itu cari bahan yang ada di kulkas! Seadanya yang penting jadi makanan dan enak dimakan! Istri itu harus pinter masak!” tukas Elda lantas duduk bersidakep dikursi meja makan. “Ayo kerjakan!” katanya ketika melihat Alysa malah diam ditempat, tidak melakukan perintahnya.
Tarik napas lantas menghebuskannya perlahan sambil memejamkan mata. Setelah emosinya dirasa sudah mereda, barulah Alysa melangkahkan kaki malas-malas menuju kulkas. Dia mencari bahan apa saja yang penting bisa dia masak. Persetan untuk enak atau tidaknya, dia tidak peduli. Dan setelah kedua tangannya sudah membawa beberapa bahan berupa Buncis dan tempe barulah ia menutup pintu kulkas.
“Buncis dan Tempe, enak itu kalau dicampur. Dikasih kecap terus ongseng, Nak.” komentar Elda.
Bola mata Alysa sontak memutar jengah. Dia mulai memotong buncis menjadi kecil-kecil lantas setelah selesai beralih pada tempe. Entah ia akan membuat apa, yang jelas kedua bahan itu akan ia campur bersama dengan kecap.
Sekitar kurang lebih 30 menit, barulah masakan Alysa bisa dihidangkan. Senyumnya tersungging begitu indah, melihat apa yang ia kerjakan berbuah manis. Untuk menambahkan tingkat keindahan di masakannya, Alysa memotong bawang merah dan bawang putih keatas masakan. Entah itu benar atau salah, sekali lagi dia tidak peduli. Setelah semua sudah rapi, ia berbalik badan dan matanya terbelalak kaget melihat Ibunya tengah tertidur dikursi. Kepala beliau ditumpukan diatas kedua tangan. Sangat lelap. Pantas saja selama ia masak, suara cempreng Ibunya tidak terdengar.
“Bu, ini masakan Lysa sudah jadi.” ujarnya sembari berusaha membangunkan Ibunya dengan menggoyang-goyangkan punggung beliau sedikit keras. Namanya juga Alysa, cewek Punk Rock jadi dia tidak tahu apa itu kelembutan.
Tubuh Elda menggeliat. Beliau mengucek mata beberapa kali kala melihat masakan menggiurkan didepannya. Benarkah ini yang dimasak anaknya? Beliau tidak percaya. Sekali lagi mengucek mata lalu melirik anaknya yang terduduk di sebelah. “Ini masakan kamu, Nak?”
Dibalas anggukan mantap dan percaya diri dari anaknya. “Ini namanya Ongseng Buntemcap ala Alysa Madinah Binti Satrio Makkah!”
Elda terkekeh, lantas menyendokkan sesuap Ongseng Buntemcap buatan anaknya kedalam mulut. Dan saat masakan itu telah sampai pada tenggorokan, rasa panas mulai terasa. Beliau beranjak dari duduknya, mengambil air minum dan meminumnya cepat-cepat.
“Kamu mericanya kebanyakan, Nak! Ini lagi, ada bawang merah yang belum digoreng, bikin rasanya getir!” tukas Elda. Beliau memperlihatkan irisan bawang merah pada anaknya yang kini malah memandang bengong padanya. “Kamu tidak lulus seleksi masak! Sekarang, nyuci! Harus bersih dan wangi!” lanjutnya, tidak main-main.
"Tap-tapi, Bu—,”
“Tidak ada tapi-tapian!” Elda menarik tangan Alysa menuju kamar.
Dan kejadian itu berlanjut sampai hari keenam sebelum hari H tiba. Setiap pagi Elda rutin menggedor pintu anaknya, menyuruhnya untuk membuat sarapan, sekedar roti panggang atau Sandwich. Dan ketika jam dinding menunjukkan pukul sembilan, itu artinya Alysa harus menyapu lantai, lanjut belanja ditukang sayur keliling lantas memasak untuk makan siang. Dua jam istirahat, pukul tiganya adalah untuk menyapu halaman belakang lalu lanjut lagi memasak untuk makan malam.
Seperti saat ini, dia sedang menumis kacang panjang yang dicampur irisan tahu. Alysa merasa bahwa dirinya kini tengah di manfaatkan oleh Elda. Napas Alysa terhembus pelan kala emosinya sedikit memuncak ketika pikiran itu masuk begitu saja. Dia geram. Bisa-bisanya Elda mencari kesempatan dalam kesempitan, bahkan itu pada anaknya sendiri.
Usai menyajikan masakannya kepiring saji dan semua lauk makan malam sudah selesai, Alysa berlarian menaiki anak tangga untuk segera menuju kamarnya. Sungguh, ia rindu dengan ponsel yang sudah beberapa jam ia letakkan dinakas tanpa tersentuh sedikit pun karena ia sendiri sibuk menjadi kacung Ibunya.
Mata Alysa terbelalak kaget usai membaca pesan dari Sia—sahabat karib sekaligus partner ketika ada konser. Baru saja Sia memberitahu pada Alysa lewat pesan, bahwa besok ada konser Slank di Jogjakarta. Tentu saja Alysa kaget. Itu adalah konser yang ia tunggu-tunggu sekali, selama beberapa bulan belakangan. Tentu tidak akan Alysa sia-siakan kesempatan ini. Dia harus datang, bagaimanapun caranya. Rasa rindu pada Kaka Slank sudah tidak bisa ia bendung lagi. Sungguh rindu. Sangat rindu. Benar-benar rindu.
Cepat-cepat Alysa membalas pesan dari Sia, bahwa ia akan ikut nonton. Masalah tiket, jelas Alysa sudah mempercayakan hal itu pada Tono, tukang jualan tiket-tiket konser langganannya. Selain murah, juga bisa hutang dulu. Dan kendaraan, Alysa tidak peduli kendaraan apa yang akan ia naiki nanti bersama Sia untuk menuju Jogja. Biasa jika ada konser mendadak dan kebetulan tidak ada kendaraan ia dan Sia akan numpang dimobil manapun. Kegiatan seperti ini biasa disebut Ndayak. Dia tinggal menunggu dilampu merah, memilih mobil manapun yang akan ia naiki, yang jelas sih bukan mobil pribadi. Biasa ia akan menggunakan mobil yang untuk mengangkut motor atau biasa anak-anak Punk menyebutnya Renjer. Bisa juga menggunakan mobil Pickup.
Alysa merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sambil terus membalas pesan dari Sia yang kini menanyakan kapan dan jam berapa berangkatnya. Dan Alysa menjawab malam ini juga, jam tujuh.
Saking sibuknya membalas pesan dari Sia, Tono dan teman-temannya yang lain untuk ikut nonton, Alysa sampai tidak mendengar gedoran pintu dan teriakan dari Ibunya yang meneriaki untuk segera sholat Maghrib, karena jam sudah memasuki setengah tujuh.
Selesai membalas semua pesan temannya, Alysa segera mandi. Dia harus cepat bergegas, karena teman-temannya juga katanya sedang OTW. Mereka akan ketemuan dilampu merah jalan raya depan komplek perumahannya Alysa. Dan karena mandinya Alysa hanya tiga gayung cukup, kini dia sudah selesai membersihkan tubuh walau tidak bisa dibilang bersih.
Pakain serba hitam sudah melekat ditubuhnya. Dia mematut dirinya didepan cermin sambil menyisir rambut pendeknya.
“Lysa... ayo makan malam, Nak.” teriak Elda bersamaan dengan ketukan pintu yang bagi Alysa sangat berisik.
“Iya Bu.. kalian makan dulu. Lysa lagi ngaji, mau sekalian sholat Isya.” sahutnya bohong. Padahal sedang memoleskan lipstik hitam dibibir.
Sedang yang dibohongi kini tersenyum simpul sambil membayangkan anak semata wayangnya mengenakan mukena putih, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan suara indah. Sungguh Solehah, baginya. Dengan senyum yang masih mengembang di bibir, Elda melangkah pergi dari kamar Alysa, tidak mau mengganggu anaknya yang sedang belajar jadi istri baik sekaligus istri Solehah.
Alysa meraih ponsel diatas nakas lantas keluar dari kamar. Ia melangah mengendap-endap sambil celingukan siapa tahu ada yang lihat dia mau kabur. Tapi ternyata sepi, mungkin kedua Orangtuanya sedang makan malam. Kesempatan itu ia gunakan untuk segera keluar dari rumah. Ia melangkah cepat dijalanan komplek menuju jalan raya, sesekali menengok kebelakang, kalau-kalau ada yang menguntitnya.
Baru saja Alysa hendak menolehkan kembali kepalanya kedepan, ia tidak sengaja menubruk sesuatu. Membuat keningnya menjadi pusing karena yang ia tubruk sepertinya pohon. Dengan kepala masih tertunduk, tangan mengelus kening Alysa memaki. "Sial! Siapa pula yang naro pohon dijalanan! Sue lu!" lantas mengangkat kepala dan terkejut setengah mati.
“Retno!?” pekiknya.
Retno mengangguk dengan kerutan dahi yang dalam.
“Ngapain lo jalan kaki? Habis darimana?” tanyanya yang sebenarnya tidak perlu ia pertanyakan.
“Tadi berangkat pakai motor tapi motornya mogok jadi aku tinggal dibengkel. Ini habis beli nasi goreng.” jawabnya memperlihatkan plastik hitam bawaannya.
“Aduh Retno.. terus kenapa lo lewat sinisih?! Lo kan bukan anak komplek sini!” tanya Alysa lagi, dia semakin gusar melihat keberadaan Retno disaat ia hendak kabur.
“Lewat sini kan lebih dekat. Kamu mau kemana?”
“Bukan urusan lo!” ketus Alysa.
“Ooh, yaudah ak—,”
“Tadi lo lihat anak-anak Punk dilampu merah depan nggak?” sela Alysa dengan pertanyaan.
“Lihat. Kamu mau nonton konser?” dibalas anggukan oleh Alysa.
“Tapi kan kata Ayah kamu nggak boleh nonton konser. Kamu itu peremp—,”
“Siapa yang suruh lo panggil bapak gue dengan sebutan Ayah? Kita belum nikah ya, jadi belum resmi menjadi keluarga. Bisa aja Orangtua gue nanti berubah pikiran untuk nggak jadi nikahin gue sama lo!” cerocos Alysa diakhiri pelototan mata.
Retno jadi ngeri sendiri melihat pelototan itu. Dia memejamkan mata beberapa detik lantas kembali menatap Alysa. Dia berusaha sekuat mungkin untuk berkata. “Be-besok, besok kan kita mau nik-nikah, Lysa.”
Baru saja menetralkan kembali matanya agar tidak melotot, kini bola matanya malah melotot bahkan hampir jatuh. Alysa menepuk dahi sendiri. Dia lupa akan hari itu. Hari yang sangat ingin ia hindari. Demi apapun, ia ingin sekali gantung diri sekarang juga, daripada besok harus duduk berdampingan dengan Retno dihadapan para saksi dan tentunya penghulu.
Keduanya terdiam dengan pikiran berkecamuk masing-masing. Retno menundukkan kepala takut. Sedang Alysa mengetuk-ketuk dahinya seperti orang gila mendadak. Dan ketika sebuah ide melintas dibenaknya, Alysa mengangkat kepala menatap Retno penuh riang. ”Gimana kalo akad nikahnya pindah jam aja? Yang harusnya jam sepuluh jadi jam lima sore? Malam ini gue ke Jogja dulu buat nonton Slank?” suaranya begitu antusias.
Langsung saja Retno membantah dengan gelengan kepala. Dia tahu sekali bahwa Alysa saat ini tengah berusaha melarikan diri dari pernikahan. Sedang ia sendiri, tidak mau pernikahan yang sangat diingin-inginkan Bundanya musnah. “Bisa jadi kamu terlambat. Lebih baik sekarang kamu pulang, ayo aku antar.” tangannya menarik pergelangan tangan Alysa penuh kelembutan. Retno akan mengantar Alysa pulang, dia tidak peduli jika nantinya ia dapat marah dari calon mertuanya karena sudah berani saling bertemu dengan calon istri.
Baru satu kali Retno melangkahkan kaki, Alysa dengan sekuat tenaga khas laki-lakinya menghempaskan tangan sendiri dari genggaman lembut Retno. Matanya menatap Retno yang juga menatapnya. Keduanya saling tatap. “Gue mau nonton Slank!” tukasnya.
“Nggak, Alysa. Besok kita akan nik—,”
“Nikah-nikah! Itu aja yang lo pikirin!” Alysa membuang pandangannya kearah lain. Dia benci jika Retno membicarakan tentang pernikahan. “Pokoknya gue harus ke Jogja! Gue mau ketemu sama Kaka Slank! Sekalian mau izin kalo gue mau nikah sama lo!” sekali lagi ia berteriak di depan Retno.
“Nggak boleh, Alysa.”
“Boleh!”
“Nggak!”
“Boleh!!”
“Nggak boleh, Alysa!!”
“Lo berani bentak gue?”
Retno tidak menjawab, dia membuang plastik bawaannya ke sembarang arah lantas menarik paksa kedua tangan Alysa sehingga keduanya saling tarik menarik ditengah jalanan komplek yang untungnya sedang sepi. Kegiatan itu berlanjut selama lima menit dan Alysa pasrah. Dia kalah, membiarkan dirinya di tarik oleh Retno untuk kembali balik kerumah.
Gatot! Semua gagal total! Dan itu gara-gara Retno serta pernikahan sialan itu! Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan Kaka Slank, serta para anak-anak Slank. Padahal dia rindu sekali.