Chapter 13

1651 Kata
Jika kalian pikir, hidup Liliana terlalu istimewa dengan segala popularitas yang di miliki, juga harta yang mengiringi dirinya. Tapi kenyataannya, tidak sama sekali! Itu semua tidak benar, bahkan jika bisa memilih Lili tidak ingin hidup seperti ini! Sangat memuakkan untuknya. Lili ingin hidup macam orang-orang lain saja. Yang selalu bahagia tanpa beban pikulan, sama sekali tidak cocok untuk anak seusia Lili. Tapi mau bagaimana lagi, Lili sadar ia tidak dapat memilih jalan takdirnya sendiri, tuhan sudah menetapkan semuanya. Oleh karena itu Lili lebih baik berjalan sesuai apa yang dia inginkan, tidak perduli itu buruk atau tidaknya, Lili akan tetap melakukannya, membuat hidupnya berkesan dengan adanya sedikit kebahagiaan, hanya itu. Memang kenyataan, sejak Lili duduk di bangku akhir kelas 6 sekolah dasar, dia sudah memikul beban. Walaupun Lili sadar tidak hanya Lili yang menerima beban berat di dunia ini. Tapi Lili bukanlah orang yang cocok untuk mendapatkannya, Lili terlalu lemah dan dia tidak bisa jika hanya pasrah. Dulu Lili pernah bahagia, sangat, terutama masa kecilnya. Fisik bagus? Ada. Kasih sayang? Ada. Uang? Ada. Teman? Juga Ada. Hanya saja Lili harus mengetahui jika segala sesuatu yang sempurna itu bersifat fana, dan dalam sekejap dapat berputar tanpa tau aturan akan berhenti di mana sana. Dan saat berada di bawah seolah semua nampak seperti kedipan mata, antara mimpi maupun nyata. Bingung ..., pasti! Sebab Lili merasakan hal tersebut. Haha ..., Tapi sekarang sih, Lili sudah benar-benar lupa dengan segala kebahagiaan yang pernah ia lalui. Sebab yang ia rasakan hanya kesakitan. Kelakuannya di sekolah yang menurutnya membahagiakan sejujurnya juga tidak dapat menutup segala kesakitan yang ada. Ah, sudahlah. Memang kalau takdir sudah berjalan Lili bisa apa, haha ... Di permainkan takdir memang tidak enak. Lili berjalan memasuki rumah minimalis yang terletak di salah satu komplek perumahan elite di kota. Rumah bercat putih abu itu nampak suram di mata Lili, padahal kalau orang lain yang melihat rumah ini sangat sejuk nan asri. Sudah terpatri suram di otak Lili, ya mau bagaimana lagi. Mobil grab yang Lili tumpangi juga sudah lenyap, menghilang di telan jarak. Lili sejujurnya memiliki mobil, punya! Malah-malah mobil Lili salah satu mobil sport keluaran terbaik tahun lalu. Akan tetapi Lili sangat malas mengendarai mobil sendiri, dia tak suka, ia lebih prefer kalau di bonceng atau di sopirkan, secara gratis tentunya haha. Memanfaatkan kebaikan orang-orang sudah menajdi ke biasaan bagi Lili, so jangan jaget. Lili membuka pintu besar nan tinggi ber cat putih itu lebar-lebar, dan setelah benar terbuka dia segera melangkah masuk tanpa perlu repot-repot menutup pintu kembali. Biarkan saja pintu terbuka, agar hawa-hawa panas di rumah dapat terganti dengan hawa positif dari luar. "No Lili udah pulang?" Lili yang hendak menaiki anak tangga pertama pun sontak mengurungkan niat, dan lebih memilih menoleh ke arah samping mencari orang yang baru saja bersuara. Ingin sekali Lili membalas 'emang lo liat gue tidur,' "Iya," tapi nyatanya Lili hanya mengiyakan dengan malas. "Tadi bibi sudah masakkan makanan kesukaan non. Kalau udah selesai Non bisa berangkat," ucap wanita paruh baya dengan daster merah dan rambut di gelung khas orang jawa. "Kemana?" Lili mengerutkan dahi bingung, dia sendiri tak merasa ada janji kemana-mana. "Apa Non lupa hari ini hari apa?" Bukannya menjawab wanita paruh baya dengan nama panggilan Iyem itu malah balik bertanya. Tapi karena pertanyaan itu, Lili pun tersadar akan sesuatu, yakni maksud dari ucapan Bi Iyem sedari tadi. "Hm, okay." Lili hanya menjawabnya malas, lalu melanjutkan langkah untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Seiring kaki Lili yang menaiki tangga satu persatu, Lili juga makin menambah kekuatan kepalan dua tangannya itu. Tiba di lantai dua, dan ketika Lili bergerak menuju kamar, Lili melihat lift yang terbuka menampakkan sosok wanita berambut se bahu duduk di kursi roda, di belakangnya juga nampak seorang wanita berumur yang menjaganya. Wanita itu adalah Mama Lili, sakit lumpuh yang di derita Mama Lili beberapa tahun terakhir membuat wanita itu harus di urus oleh seorang suster. Rumah ini juga sampai di design dan renovasi untuk menambahkan lift agar Mama Lili dapat dengan mudah naik turun lantai satu dan dua. Harusnya Lili menyambut namanya yang sudah mulai di dorong oleh sang suster keluar dari lift. Tapi kenyataannya Lili lagi-lagi bersikap seperti ini, gadis itu melengos seolah tidak melihat apa-apa di sana. Dan langsung saja menambah kecepatan langkahnya untuk menghampiri pintu kamar. Suster yang melihat sikap anak majikannya seperti itu hanya diam saja dengan mengerjab-erjabkan mata beberapa kali. Lalu melirik wanita yang juga tidak bergerak di mana telah dia urus beberapa tahun ini sekilas. Wanita cantik meski sama sekali tak dapat bergerak dan berbicara itu pasti merasakan sesuatu akibat sikap anaknya. Hanya saja dia tidak dapat berbuat apa-apa. "Nggak papa ya bu, kita lanjut ke kamar ya," ucap suster berjilbab putih itu dengan senyuman lebar. Tau memang tak akan mendapat sahutan dari sang majikan, suster itu pun melanjutkan mendorong kursi roda perlahan. Di sisi lain, siapa sangka jika Lili yang sudah berada di kamar masih saja berdiri tepat di depan pintu, seraya mendengarkan suara decitan ban kursi roda yang berputar. Haha, Lili selalu seperti ini, dia hanya akan mendengarnya dari balik pintu, syukur-syukur hari ini Lili masih sempat menatap sosok mamanya, karena biasanya Lili sama sekali tidak ingin menatap orang itu. Setelah suara kursi roda terdengar makin jauh dan semakin jauh saja hingga sama sekali tidak terdengar, Lili baru berjalan meninggalkan pintu dan berbaring terlentang di atas ranjang ber spray abu-abu itu. Yang sebelumnya sempat melempar tasnya jauh-jauh ke arah sofa. Tatapan Lili lurus ke atas, tepatnya ke arah plafon putih itu. Tiba-tiba dia malah menghela nafas panjang. "Waw ..., Sialan." tak ada angin tak ada hujan, Lili mengeluarkan u*****n begitu saja. Tak ada yang tau u*****n itu di tujukan kepada siapa, yang jelas saat ini Lili kembali mengepalkan kedua tangannya erat-erat. SHIT ... Sepertinya Lili harus segera mandi, agar tubuhnya segar dan melupakan semua hal yang mengesalkan untuknya itu. Lili benar-benar bangkit berdiri, menanggalkan semua pakaiannya di sana, karena merasa pakaian itu sudah terlalu kotor dia juga membawa pakaian menuju ke tempat pakaian kotor. Kebiasaan Lili, dia jarang mau melepas pakai di dalam kamar mandi, menurutnya itu terlalu repot, dia tidak suka pakaian kotornya basah. Di kamar ini sebenarnya Lili juga memiliki walk in closed. Sesi mandi Lili sama seperti wanita kebanyakan, yakni luamaaaa ... Tapi sebenarnya kalau Lili tidak melulu lama, hanya saat merasa lelah atau suntup dia akan mandi setengah sampai satu jam lamanya. Dan setelah selesai Lili keluar dari kamar mandi, rupanya telat saat keluar, Lili mendengar suara dering yang berasal dari ponselnya di dalam tas. Tanpa pikir panjang gadis itu berjalan menghampiri lokasi ponselnya _masih menggunaan bathrobe dan handuk yang membungkus rambut basahnya. Lili sontak berdecak, ketika matanya melihat ke arah layar ponsel yang dia pegang. Walaupun si penelepon hanya nampak jajaran nomor-nomor saja sebab tidak Lili save. Tapi Lili sudah tau betul siapa gerangan orang itu, Lili sudah sangat hafal luar kepala. Dengan ogah-ogahan, karena tidak ada pilihan lain, Lili tetap menggeser tombol hijau untuk mengangkatnya. Sambungan telefon terhubung, dan langsung terdengar suara sapaan suara berat khas laki-laki dari sebrang sana. "Halo," "Hm," Lili hanya bergumam sebagai balasan. "Lili, maaf ya hari ini papa nggak bisa ikut karena __" "Meeting kayak tahun-tahun sebelumnya?" Lili tersenyum miring lebar, dia juga tidak merasa bersalah telah menyela ucapan orang yang mengaku sebagai papa Lili itu. "Lili!" Sontak orang di sebrang sana menyentak, mungkin tidak terima dengan lontaran kata-kata anak perempuannya itu. "Cih, Klasik." Lili sudah tidak mengeluarkan smirk lagi dan wajahnya berubah begitu datar. Malas, sangat malas, pria tua bangka yang sebenarnya tidak lagi Lili akui sebagai papanya itu selalu seperti ini setiap tahunnya. Bahkan sebelum mengangkat tadi, Lili juga sudah berfikir kalau pria itu akan berucap seperti ini lagi. "Lili berani kamu sama papa __" Papa apanya? "Udahlah, saya mau berangkat." Secara tidak sopan Lili terus saja memotong ucapan pria paruh baya nan tua bangka itu. "Lili. Tapi papa serius nggak bisa ikut karena lagi meeting di luar kota." "Ya ya, terserah. Mungkin kalo kematian saya terjadi, anda juga nggak ada niatan dateng." Haha, sudah sangat ketebak. Mungkin benar orang di sebrang sana itu selalu mencukupi kebutuhan finansial nya, tapi tetap saja untuk ukuran seperti itu, dia pasti tetap tidak akan perduli. "Lili jaga ucapan kamu! Papa itu kerja juga buat kamu, buat mama kamu!" "Emang! Saya nggak nyangkal kok." tapi juga yang lain. Lanjut Lili di dalan hati, malah melontarkannya. "Saya tutup." Sudah cukup, Lili tidak ma mendengar apapun lalu, yang ada dia malah akan makin berdebat hebat tanpa ujung. "Tunggu ..., Em, nanti sore biar papa minta Tono transfer uang bulanan kamu lagi." Saat Lili hampir menyentuh tombol akhiri panggilan, suara itu masih terdengar. Jadi Lili hanya menggumam sebagai jawaban. "Hm," Tut ... Sambungan telefon pun benar-benar terputus dengan Lili yang mengakhiri. Tiba-tiba Lili mengangkat tangannya yang masih memegang ponsel tinggi-tinggi. Berniat membanting ponsel sultan itu ke lantai. Tapi dia malah terdiam dengan tangan menggantung di udara. Rupanya Lili berubah pikiran, dia tidak lagi ingin membanting ponsel. Entah apa yang Lili pikirkan, tapi dia langsung bergerak menuju walk in closet dengan terburu-buru. Mengambil sebuah celana begitu pendek berbaha jeans, juga kaos crop top kebesaran yang akan menampakkan perutnya. Lili langsung saja memakai pakaian itu, hingga penampilan Lili nampak terlalu terbuka, bahkan kalau tangannya terangkat, kaos crop top itu akan menyikap dan menampakkan b*a yang Lili pakai, dan Lili tidak perduli. Karena tujuan utama Lili setelah ini adalah tempat penuh dosa yang setidaknya bisa menghilangkan semua pikiran-pikiran buruk dalam otaknya itu. Yakni Club, Lili akan clubing. Ia bahkan melupakan niatannya itu pergi ke tempat yang dia bahas dengan papanya tadi. Dan Lili memilih clubing. Mengeringkan rambut, memakai riasan tebal satu persatu Lili lakukan sebagai rutinitas sebelum clubing. Dan ... Selesai, Lili mengaca sejenak, menambah sosok dirinya yang sangat seksoy di cermin rias sana. Rambutnya di cepol tinggi hingga menampakkan leher jenjang nan mulusnya itu, oh jangan lupakan kaosnya dia tarik ke samping sampai satu bahunya nampak terbuka dan hanya menyisakan tali spaghetti dari b*a yang di pakai. Perfect ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN