Oh, Jadi Begitu?

1275 Kata
"Jaga apinya jangan sampe padam!" Ucap Papa sambil membawa arang lagi ke depanku. Uh, mimpi apa aku semalam ya, berubah jadi tukang bakar ikan gini! Papa kembali ngobrol dengan teman-temannya. "Itu anak sulungmu, bukan?" tanya teman Papa sambil melihat ke arahku. Yaelah, Om! Kalau mau nanya sama orangnya saja! Kan aku ada di depanmu! "Bukan. Anak sulungku laki-laki. Dia lagi kuliah baru tingkat 2 di Jogja." "Oalah, sama kayak putraku dong! Di Jogja juga!" Obrolan para bapak nih, mulai pamer para juniornya. Mending aku fokus ke ikan aja deh, takut gosong kan berabe! "Geo mana, Put?" Waduh, pujaan hati nyamperin lagi! Fokus, Put! Fokus! Duh, tapi itu tampangnya minta ditatap gitu ya? Cobaan berat emang! "Put! Ditanya kok malah merem melek gitu sih?" tanya Pak Heri lagi. "Hoiya, lagi menghayati jadi tukang bakar ikan, Pak. Hehe," jawabku asal. Nih orang gak tahu ya? Aku merem tuh lagi doa biar kuat iman. Dan melek dikit biar bisa lihat tampangnya yang aduhai itu! "Saya nanya, Geo mana?" "Oh, itu lagi bobo, Pak. Tadi maen bentar sama Anggi. Disuapin bareng sama Mama. Jadi ya mungkin kenyang. Makanya ngantuk dan bobo deh!" "Makasih, ya?" jawab Pak Heri sambil mengacak rambutku. Duh, inem kesengsem, Pak! Teriakku dalam hati. "Sama-sama, Pak." Pak Heri gabung lagi sama teman-teman Papa. Sekarang dia nampak ikutan nimbrung kayaknya. Cuma ketawanya rada jaim. Apa orang ganteng suka gitu ya? Ketawa aja pake ditahan! Ntar meledak dari belakang kan berabe! Eh gak ding! Kalau buat Pak Heri aku rela nampung. Maksudnya nampung cintanya, bukan kentutnya! "Put, ikannya udah matang?" tanya Mama sambil membawa piring besar berisi oseng kangkung. Aromanya bikin perutku meronta-ronta. "Udah, Ma! Tinggal satu lagi!" "Ya udah, yang matang angkutin je gazebo ya? Biar yang belum matang nanti buat kamu aja." "Oke, Bos!" Hm, beruntung yang terakhir ini aku sisakan yang paling besar. Kenapa? Karena hal ini sudah kuprediksi. Aku kebagian sisa. Tapi ya, pinter-pinter aja, sisa juga yang paling gede kan? Mwehehe. Aku bangkit dan membawa ikan bakar ke gazebo. "Wah, ini Putri ya?" "Eh, iya, Om!" Aku menyalami teman-teman Papa dengan hormat. Ah, Pak Heri juga gak kelewat. Kesempatan tidak datang dua kali kan? "Cantik ya? Kamu Jang, udah punya gadis aja!" "Iya, dong!" "Mau jodohin sama adekku gak?" "Dia masih bau cikur! SMA aja belum selesai!" "Oalah, bongsor ya ternyata?" "Haha, iya, mirip aku dia mah." "Makasih ya, Put?" Aku mengangguk dan tersenyum, "sama-sama, Om!" "Sini makan bareng!" "Ah, enggak, Om! Saya di belakang aja!" ucapku lalu bangkit dan kembali ke tempat pembakaran. Eh, sejak kapan Pak Heri jongkok di situ? Perasaan tadi masih di gazebo ya? Apa aku terlalu asyik ngobrol ya? Dia bolak-balik ikan yang sedang kubakar. "Biar saya saja, Pak!" "Gak apa-apa! Lagi pula saya mau makan di sini saja." "Kenapa, Pak?" "Biar kedengaran barangkali Geo sudah bangun." "Padahal kalo Pak Heri mau gabung ke sana, gak apa-apa, Pak! Nanti kalo Geo bangun saya kasih tahu!" "Enggak ah. Di sini aja! Itung-itung kasih hadiah buat kamu. Kan udah bantuin bakar ikan. Jadi saya kasih hadiah makan bareng saya di sini." 'Njir! Pak tolong! Jangan bikin hatiku melayang dong! Kalo jatoh kan 'ntar berabe juga! "Lho, gak gabung sama temannya, Pak?" tanyaku dengan basa-basi. Padahal hati mah sudah nari india sejak tadi. "Memang menurut kamu saya setua Papa kamu?" "Ya kali aja Pak Heri ini dikutuk jadi awet muda gitu. Padahal udah jadi bapak-bapak!" "Kamu ini! Kalau bicara suka asal. Saya bukan bapak-bapak!" ucap Pak Heri lalu mengambil ikan yang sepertinya sudah mulai matang. Duh, Pak! Itu jatahku ngomong-ngomong! Jangan diambil dong! "Bapak kan udah punya anak. Ya sudah jadi bapak-bapak lah!" jawabku. Tapi mata mengikuti ikan yang dia ambil. Hati tak rela jika ikan itu dibawa, sumpah! Pak Heri menahan tawa, "kamu mau ikan ini?" "Kalau boleh, Pak, hehe." "Ck, perut saya tidak muat kalau makan ikan sebesar ini." "Ah, iya, Pak. Saya penasaran. Kenapa Pak Heri gak mau dipanggil bapak-bapak? Malu ya, Pak? Kayak orang-orang tuh, suka pengen dibilang masih muda. Padahal kan udah tua. Udah keriputan pula!" "Emang saya belum jadi bapak, kok!" "Lho, Geo kan anak Pak Heri?" "Bukan. Itu adik saya!" "Wow!" Gila! Udah setuir itu masih punya adek bayi? Hellow! Emaknya melahirkan anak itu bagaimana coba? "Kamu kok kaget sih?" "Ah, enggak kok. Cuma kagum aja, kok setua Pak Heri masih punya adik kecil seumuran Geo?" "Ya, kamu benar. Banyak orang yang bilang seperti itu. Bahkan ada yang mengira Geo anak saya." "Termasuk saya, lho, Pak?" "Iya, kelihatan kok. Wajah kamu kecewa kan pas mengira saya udah punya anak?" "Si-siapa bilang? Lagi pula, saya tidak mungkin serius dengan perasaan saya, Pak. Mana mungkin saya menikah dengan pria seumuran Papa." "Ahaha, kamu juga mengira saya setua itu?" "Iya." "Geo itu anak dari ibu tiri saya. Jadi ayah saya menikah dengan wanita yang masih sangat muda." "Oh, jadi ayahnya Pak Heri ini poligami ya?" "Tidak. Ibu saya sudah meninggal." Wajah ganteng Pak Heri berubah sendu. Duh, kalau bukan ke guru, pengen peluk biar dia gak sedih. "Maaf, Pak. Saya bikin Pak Heri jadi sedih." "Gak, kok. Saya cuma kangen saja sama ibu saya." Aku hanya mengangguk. Gak berani tanya lagi. Nanti Sang Pujaan hati tambah melow, yekan? "Lho, Nak Heri makan di sini ya? Sebentar ya, saya ambilkan oseng sama sambalnya!" Mama menghampiri kami yang terpisah dari kumpulan di gazebo. "Jangan repot-repot Tante, lagi pula saya kurang suka pedas," jawab Pak Heri. "Buat aku aja, Ma!" "Kamu suka pedas?" tanya Pak Heri. "Iya, makan tanpa sambal itu kayak sayur tanpa air, Pak. Seret gak enak!" "Dia mah jagonya, Nak Heri! Udah sering kena diare juga masih bandel makan cabe!" jawab Mama lalu masuk lagi ke dapur. "Jangan dong, Put! Nanti kalau kena maag baru tahu rasa!" ujar Pak Heri. Duh, kok aku malah tersipu ya? Pak Heri perhatian sama aku! "Kamu blushing lagi!" canda Pak Heri sambil menahan tawa. "E-enggak kok, siapa bilang?" "Pipi kamu memerah!" "Oh mana?" Aku meraba pipiku dengan panik. Duh Gusti, kenapa pipiku gampang merona begini ya? "Haha, awas! Tangan kamu bau amis tuh!" Aku melongo. Weh, apa maksudnya? "Pak Heri ngerjain saya, ya?" "Haha, enggak. Emang bener kok." Mama datang dengan dua piring kecil di tangannya. Sambal dan osengan. "Makasih, Tante!" "Iya, sama-sama! Ayo dimakan!" Mama masuk lagi. Lihat sambal, mataku langsung ijo nih. Hm, lezat. "Kamu makan kayak orang kesurupan gitu. Lembut sedikit kek, masa di depan orang yang kamu sukai aja kamu gak jaim sih?" "Saya laper, Pak. Lagi pula buat apa saya jaim? Kalau lapar ya hantam saja." "Ya kan setidaknya biasanya anak perempuan yang makan di depan gebetan tuh rada jaim, kan?" "Bapak bukan gebetan saya!" tapi incaran saya, lanjutku dalam hati. "Jangan bohong kamu, mata kamu memuja begitu. Apalagi kalau di kelas, sampe ileran tuh kamu lihatin saya!" ucap Pak Heri. Busyet dah nih orang! Kalau bicara suka sama fakta ya ternyata! "Pak, bisa tidak jangan meledek saya begitu? Nanti ketahuan Papa kan malu!" "Haha, kenapa malu? Di kelas aja kamu bilang suka sama saya tanpa rasa malu kan?" "Gak ah, Pak Heri ketuaan buat saya." "Kamu yakin?" "Kan Pak Heri teman Papa. Jadi ya pantasnya jadi Papa saya, ya kan?" Dan itu sedikit mengecewakan. "Siapa bilang saya teman Papa kamu?" "Lho, Pak Heri ikut reuni ini berarti teman Papa kan? Ya yang namanya teman seangkatan pasti seumuran lah, Pak!" "Enggak kok. Saya kesini itu mewakili ayah saya. Beliau gak bisa datang. Tapi salah satu teman Papa kamu ingin bertemu saya di sini. Katanya sih mau join dengan bisnis saya. Jadi ya, saya datang sama Geo." Aku melongo mendengar penjelasannya. Oh, jadi begitu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN