Pagi sekali aku sudah bangun. Ya, tepat jam 04.00. Dini hari bukan? Sudah kubilang kan, kalau aku tuh ya, meski anak perempuan satu-satunya juga tidak dimanja. Malahan kerjaan aku bejibun tiap hari. Bangun pagi buat bersihin rumah.
Menyapu halaman, mengepel, atau kalau mood Mama lagi buruk, sekalian juga disuruh lap kaca. Asem kan? Mama tuh kalau lagi kesel sama Papa, sasarannya pasti sama aku. Kenapa? Karena Kak Ilham gak ada. Dan masa iya ngomel ke si mungil Anggi. Dan akhirnya akulah pelampiasannya. Hadeuh, nasib-nasib!
Tapi gak deng, aku gak pernah ambil pusing. Toh ini juga nanti ada manfaatnya yekan? Nanti kalau aku sudah nikah kelak, aku sudah biasa mengerjakan hal yang kayak gini. Dan aku memilih untuk menikmatinya. Ya, misalnya kayak pagi ini. Ngepel lantai rumah sambil dengerin musik. Eits, tapi buat sendiri aja ya, pake earphone gitu, jadi bebas buat jingkrak-jingkrak tanpa kena omel Tuan Ratu.
Kiri-kanan
Kiri-kanan
Yihhaaa....!
Aku ngepel dengan suka cita. Suara merdu milik Maroon Five menemaniku saat ini.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan keras.
"Aduh, apaan sih? Eh, Mama?"
Segera aku copot earphone yang menempel di telinga.
"Kamu tuh, ya? Dipanggil gak nyahut-nyahut, malah joged gak jelas!"
"Maaf, deh. Ada apa, Ma?"
"Ini, jaket punya siapa?" Kata Mama sambil menyodorkan jaket mungil yang sangat lucu. Merah bata. Ada gambar spider-man di depannya.
"Punya Anggi bukan?"
"Bukanlah, kalau punya Anggi Mama tahu."
Keningku berkerut tajam. Ini jaket anak bayi. Kalau bukan punya si Anggi berarti punya siapa ya?
"Tapi ini kayak baru deh, Ma. Tuh baunya juga bau baju baru yang belum di cuci deh!"
"Iya, makanya! Mama juga gak tahu punya siapa."
"Papa sudah pulang belum, Ma? Tanya Papa deh, kali aja Papa yang beliin buat Anggi."
"Belum. Pulang dari masjid langsung berangkat lagi. Katanya sih mau beli pakan ikan gitu. Toko apaan coba, jam segini udah buka?"
"Ya mana aku tahu, Ma! Ah, aku ingat sekarang! Jangan-jangan jaket punyanya anak Pak Heri, Ma! Ya, kayaknya bener deh, Ma!"
"Oh, Si Geo itu? Masa sih? Ini kan ukuran Anggi. Agak gede soalnya. Tapi bisa jadi sih," jawab Mama sambil melihat-lihat jaket itu.
"Ya udah, kamu anterin sana! Sekalian beliin popok buat Anggi, udah habis!"
"Pagi buta gini? Duh, tapi kan aku belum mandi, Ma! Mandi dulu bentar ya?" rengekku. Serius lho ini, masih jam 05.30. Masa ketemu idola masih pake baju bau iler gini?
"Ck, cuma nganterin doang kan? Ya gak usah pake mandi kali. Ah, atau kamu bawa aja ke sekolah, ya? Tapi beli popok tetep ya?"
"Hari ini gak ada jadwal Pak Heri, Ma. Jadi gak mungkin ketemu."
"Ya tapi kan itu jadwal kelasmu. Siapa tahu kelas lain ada ya kan?"
Mama maksa ih! Aku kan pengen tahu rumah Pak Heri, hihi.
"Gak ada, Ma. Jadwal Pak Heri itu hari Selasa di kelasku. Hari Rabu di kelas XI, Jum'at di kelas X. Gitu..."
Mama diam sambil menatapku curiga. Wah, kenapa lagi ini?
"Kamu kok hafal betul jadwal Pak Heri?"
"Y-ya... iyalah, Ma. Tentu saja!"
"Jangan bilang kalau kamu naksir dia!"
Dih, Mama kalo nuduh kok suka beneran sih?
"Siapa bilang, Ma? Enggak kok, biasa aja. Wajar kali, aku tahu jadwalnya. Kan suka ada tugas gitu, terus suruh nemuin Pak Heri di ruangannya pas dia ada jadwal."
"Ck, Mama gak percaya sama kamu! Tumbenan kamu hafal jadwal guru, hm? Biasanya malah jadwal pelajaran aja kamu lupa."
"Ya kan aku udah berubah, Ma!"
"Inget ya, belajar yang bener! Jangan dulu pacaran! Apalagi berani suka sama guru sendiri, jangan mimpi kamu!" Ucap Mama sambil memukul lenganku.
"Aduh, sakit, Ma! Iya, iya. Aku juga belajar yang bener kok. Tanya aja sama Lisa, aku gak pernah pacaran kok, Ma."
"Yakin kamu gak suka sama Pak Heri?"
"Yakin," gak suka, tapi cinta, Mama.
"Beneran?"
"Ish, Mama! Iya, beneran kok," iya, ngebet aku tuh, Ma!
"Ya udah, sekarang kamu anterin jaket ini sekalian beli popok ya?"
"Mandi dulu, ya?"
"Gak usah!"
"Tapi kan malu!"
"Hayo! Kamu beneran suka ya?"
"Ck, iya deh! Aku gak mandi! Mana uangnya?"
"Nih, ukuran L ya?"
"Ongkos jalannya mana?"
"Ck, kamu tuh ya? Udah gede juga!"
"Ya kan siapa tahu ada Mang-mang tukang kupat tahu gitu, kan suka pengen jajan, Ma!"
"Ya udah cepet sono!"
Dengan sedikit menggerutu, aku keluar rumah dan mengambil sepedaku. Duh, moga aja yang buka pintu bukan Pak Heri! Mamanya gitu, atau ayahnya gitu. Pengen sih ketemu. Tapi kan malu ya, masih bau ketek gini juga. Namanya juga orang habis ngepel ya kan?
Aku mengayuh sepedaku sambil bersiul ringan. Earphone masih setia di telingaku.
Ah, mending beli popok dulu gitu ya? Biar gak terlalu malu, jadi nanti kubilang sekalian lewat habis beli popok. Yes, ide brilian, Put!
Rumah Pak Heri lumayan agak jauh. Masih satu kecamatan, hanya beda kelurahan saja. Jadi aku butuh sekitar 15 menit untuk sampai. Saat menemukan toko, aku berhenti dan meminggirkan sepedaku.
Tokonya cukup besar. Lengkap kayaknya! Tapi letak toko ini di tengah sawah. Pagi ini berasa segarnya, di depan toko disediakan kursi panjang. Cukup nyaman buat nangkring atau sekedar istirahat pas jogging. Kalau siang? Aku yakin, jika duduk di depan toko itu jaminannya kulit jadi gosong deh.
"Makasih, Mbak!" Ucapku setelah menerima popok yang kubeli.
"Wah, kamu kakak yang baik ya?"
Waduh, siapa itu?
Alamak! Ini apa?! Ya ampun! Tolong seseorang, siapa saja, cubit pipiku sekarang juga! Apa aku bermimpi? Bertemu Pak Heri dengan baju kaos ketatnya yang sangat pas di tubuhnya yang errr.... gak bisa ngomong deh! Aku belum 17 tahun! Baru bulan depan genap 17 tahun.
"Aw! Pak sakit, ih!"
Pak Heri mencubit lenganku. Ia terkikik geli.
"Kenapa? Tadi kamu yang bilang mau dicubit seseorang kan?"
Anjay! Mulutku berkhianat lagi! Padahal itu rahasia hati!
"Benarkah?"
Pak Heri mengangguk lalu membayar barang yang ia beli. Kelihatannya ia beli air mineral.
"Kamu ngapain beli popok jauh-jauh kemari?"
"Oh, itu. Sekalian mau ke rumah Pak Heri, kok," jawabku.
"Ke rumah saya? Mau apa? Ah, kamu kangen sama saya ya?"
"Ih, enggak, kok. Pak udah dong, jangan ngejek saya terus!"
"Haha, ya udah, mau apa kamu?"
Pak Heri duduk di bangku panjang itu. Lalu tangannya menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.
Tentu saja dengan sukacita aku menghampirinya.
"Ini Pak, saya mau ngembaliin jaket Geo yang ketinggalan!" jawabku sambil menyerahkan kantong berisi jaket.
"Ah, ini? Saya lupa! Ini sebenarnya buat Anggi!"
Aku melongo. "Ha?"
"Jangan kaget gitu kali! Kamu juga jangan GR! Bukan saya yang ngasih jaket buat adik kamu!"
"Lha, terus siapa, Pak?"
"Ini dari ayah saya. Kemarin kan gak bisa datang. Jadi beliau titip ini buat adik kamu."
"Oh, iya. Makasih ya, Pak!"
"Kamu udah sarapan?"
"Kebetulan belum, Pak!"
"Saya cuma nawarin saja! Gak mau traktir, lagi gak bawa uang! Kalau mau beli, saya pesankan sekalian!"
Dih, ganteng-ganteng kok pelit?
"Kupat ya, Pak?"
"Iya, kamu suka?"
"Saya mah penyuka semua makanan, Pak. Yang penting halal dan enak."
"Kelihatan kok."
"Dari apanya?"
"Kelihatan kamu gampang ngantuk di kelas. Mungkin kebanyakan makan di kantin. Ya kan?"
"Eh, gak separah itu juga kali, Pak!"
"Haha, ya udah kita sarapan dulu!"
Pak Heri menoleh ke Mang Penjual kupat yang sedang sibuk meladeni pelanggannya.
"Mang, bikin 2 ya?"
"Siap!"
"Kok Pak Heri gak bilang ini buat Anggi?"
"Kan saya bilang tadi. Saya lupa."
"Oh."
"Kenapa? Kamu gak nyesel ya nganterin ini ke saya? Kalau nyesel, nanti pahalanya hilang lho!"
"Enggak, kok, Pak. Saya malah seneng!"
Yaelah, nih mulut kok jujur amat sih?
"Pasti dong! Kan ketemu saya. Ya kan?"
"Ih, Pak Heri GR!" jawabku sambil menunduk malu. Saat ini kupat lebih bersahabat untuk dilihat ketimbang wajah Pak Heri yang menertawaiku. Malu!
"Haha, makan sana! Keburu siang! Mau sekolah kan?"
"Iya," jawabku.
Lalu kami larut dengan kupat masing-masing. Duh, sarapan ditemani idola emang beda ya? Kayak gak kenyang-kenyang gitu! Bawaannya pengen nambah lagi, biar bisa lama-lama duduk bareng! Ahay!
"Mas, di sini rupanya? Cepet banget sih larinya?"
Aku mendongak. Wow! Ada cewek cakep! Lah, main nemplok aja tuh! Dih, woy! Ini gebetan gue!
"Kamu aja larinya yang lambat, kayak siput!"
"Ih, Mas bisa aja, deh! Mang bikin satu lagi ya?"
Yah, kok jadi bertiga sih? Ambyar sudah romantisme sarapan berdua!
"Siap, Neng!"
Dih, mang kupat tahu aja kalo sama cewek bahenol mah, pake kedip segala! Ya ampun, apa kabar dengan Pak Heri? Dia juga kayaknya suka sama cewek ini? Mana putih lagi! Asetnya juga besar! Beda jauh sama aku.
Mataku menatap dadaku yang masih rata. Kalah telak emang!
"Siapa ini, Mas?"
Pak Heri menoleh ke arahku, "oh, ini. Muridku di SMA. Namanya Putri."
"Kok bisa barengan?"
"Gak sengaja. Tadi Putri mau nganterin jaket yang kemarin aku kasih buat adiknya. Aku lupa ngasih tahu. Jadi dia kira ini punya Geo."
Aku ada di sini woy! Ajak ngomong napa?
"Oh, jaket ini? Hallo Put? Kenalin aku Sarah, temannya Pak Heri."
Oh, namanya Sarah. Kok cantik banget sih? Mana bisa aku menang dari cewek secantik dia?
"Put!" sikut Pak Heri menyenggolku yang malah bengong. Terlalu kaget lihat saingan pertamaku. Duh, ada berapa Sarah lagi ya, yang nemplok ke Pak Heri?
"Ah, oh iya, kenalkan saya Putri. Senang bisa bertemu dengan Mbak Sarah!"
"Hehe, kamu lucu! Jaket itu buat adik kamu. Kemarin aku beliin. Heri memang payah memilih barang!"
"Apa?" Aku melirik Pak Heri menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kenapa dia? Ketahuan bohong ya? Katanya dari ayahnya? Dih!
"Iya, ayah saya nyuruh saya beli. Ya udah, saya suruh Sarah yang beliin."
Sarah menatap heran ke Pak Heri. Ini mereka kenapa ya? Kok kode-kodean gitu?
"Ka-kalau gitu, saya pulang dulu, Pak! Juga Mbak! Makasih jaketnya!" Ucapku dengan nada lesu. Aku ini paling gak bisa menyembunyikan rasa kesal atau kecewa. Yah, seperti rasa kesal karena sainganku secantik Mbak Sarah ini.
"Kamu kenapa, Put? Kok kayak lemes gitu?" tanya Mbak Sarah.
Aku cemburu sama sampeyan!
"Ah, enggak apa-apa, kok! Saya pamit ya, Pak!"
Aku hendak mengambil sepedaku lagi.
"Eh, salim dulu dong, Put! Masa sama guru kayak gitu? Gak sopan lho!" ucap Mbak Sarah. Duh, hati mah sudah nyut-nyutan dari tadi. Melihat Pak Heri dan Mbak Sarah duduk berdampingan gitu. Serasi sekali. Cantik dan ganteng.
Meski dengan muka sedikit masam, aku mencium punggung Pak Heri.
"Belajar yang rajin, ya?" ucap Pak Heri sambil menahan tawa. Dia mungkin tahu kalau aku lagi cemburu. Punya pribadi terbuka kayak gini kadang menyebalkan! Gak bisa pura-pura tersenyum, asem!
Mama... tolong! Apa mereka bukan teman biasa ya?
Duh, jadi inget pesan Mama, suka sama guru sendiri? Jangan mimpi!