Sebelah alis pria itu meninggi menatap Sakura. Ia hampir saja berteriak, berpikir Raska yang menyambut kedatangannya.
“Kau … siapa?”
Sakura tersadar dari lamunan sesaatnya. Ia terkejut menemukan pria tak dikenal tepat saat ia membuka pintu.
Sakura mulai sedikit gugup. Ia bingung, jawaban apa yang harus ia berikan.
“A- aku ….”
Belum sempat selesai bicara, perhatian Sakura tertuju pada mobil Raska yang memasuki halaman. Pria di depannya yang tak lain adalah Morgan, pun ikut menoleh.
Dahi Raska mengernyit melihat mobil Morgan. Perhatiannya pun mengarah ke pintu utama dan benar saja, ia melihat Morgan yang melihat ke arahnya.
Raska segera turun dari mobil menyusul Morgan dan Sakura di depan pintu. Ia pun disambut Morgan dengan tatapan menyelidik, lupa tujuan utamanya datang ke rumah Raska.
“Dari mana kau? Selain itu, siapa dia?” tanya Morgan sambil menunjuk Sakura.
Raska melirik Sakura sekilas kemudian menjawab, “Bukan urusanmu. Apa yang kau lakukan di sini.”
“b*****t! Aku tanya baik-baik sialan!”
Raska hanya mendengus dan mengambil langkah melewati Morgan. Ada barang yang tertinggal membuatnya kembali ke rumah setelah mengantar Sora.
“Hei! Jangan asal pergi, b******n!” teriak Morgan lalu menarik bahu Raska. “urusan kita semalam belum selesai! Seperti yang kukatakan, aku akan membunuhmu karena kau sudah bermain-main denganku!”
Sakura begitu terkejut mendengarnya, mendengar pria yang tak dikenalnya berteriak akan membunuh Raska.
Sakura seketika menutup mulut dengan kedua tangan saat Morgan menarik kerah kemeja Raska dan seakan bersiap menghabisinya, terlihat dari ekspresinya yang seperti amat sangat marah.
“Kau … aku akan–”
“Tidak! Berhenti!” Sakura berteriak sekuat tenaga menghentikan Morgan. Dan teriakannya itu berhasil membuat Morgan menoleh padanya dengan sebelah alis meninggi.
“Kumohon, jangan membunuhnya. Jangan bunuh dia!” teriak Sakura kembali. Ia tak peduli jika target pembunuhan Morgan adalah dirinya, yang penting Raska bisa selamat karena Sora masih sangat membutuhkannya.
Sebelah alis Raska pun meninggi, ekspresinya sama seperti ekspresi Morgan saat ini. Tak ingin Sakura semakin salah paham, ia melepas cengkraman tangan Morgan pada kerah kemejanya.
“Jangan meladeninya,” kata Raska kemudian mengambil langkah masuk ke dalam rumah. Ia tahu Morgan hanya emosi sesaat, tak akan mungkin benar-benar mau menghabisinya.
“Hei! Jangan mengabaikanku, sialan! Setidaknya beritahu aku siapa wanita ini! Apa dia p*****r yang menggantikan p*****r-p*****r semalam?!”
Ulu hati Sakura seperti dicubit, terasa ngilu mendengar kata p*****r bahkan p*****r-p*****r yang artinya lebih dari satu. Ia lalu menoleh pada Raska yang menghentikan langkah dua langkah di belakangnya setelah Morgan berteriak.
“p*****r-p*****r semalam? Apa semalam tuan Raska ….” batin Sakura. Itu memang bukan urusannya, tapi kenapa dadanya terasa sesak? Ia pikir Raska pria baik-baik, seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya dan tak mengenal dunia malam kelam. Akan tetapi, Sakura menyadari bahwa Raska adalah pria dewasa yang tentu memiliki hasrat. Apalagi ia sudah lama ditinggal istrinya.
Raska yang sempat mematung, menoleh ke arah Morgan dengan tatapan memincing tajam, bahkan aura hitam seolah menguar dari tubuhnya, menunjukkan kemarahannya karena kalimat kurang ajar yang baru saja lolos dari mulut Morgan.
Drt …
Morgan merogoh ponselnya dari saku celana saat benda penting itu berdering lalu mengangkat panggilan.
“Tak bisakah kau berhenti menggangguku?!” sungut Morgan bicara pada orang di seberang sana.
“Tidak bisa. Aku akan terus mengganggumu sampai kau memberiku nomor temanmu tadi malam. Atau jika tidak,suruh dia memanggilku lagi. Dia tidak perlu membayar, aku akan melayaninya secara gratis.”
Morgan melotot pada Raska sambil menunjukkan ponselnya setelah sebelumnya meloudspeaker agar Raska mendengarnya dengan jelas. “Dengar! Gara-gara kau dia terus menerorku sejak tadi malam. Kau lihat ini?” Menunjuk kantung matanya. “kantung mataku bahkan sampai punya kantung mata karena aku tak bisa tidur. Bagaimana aku tak ingin membunuhmu?!”
Raska tak mengatakan apapun. Ia berbalik berjalan ke arah Morgan kemudian mengambil ponselnya dari tangan lalu membantingnya hingga benda itu menjadi beberapa bagian setelah menghantam lantai dengan keras.
Morgan melotot dengan mulut menganga, terkejut dengan apa yang Raska lakukan pada ponsel seharga motor miliknya.
Bukan hanya Morgan, Sakura pun ikut melebarkan mata melihat Raska membanting ponsel itu. Sepertinya Raska sedang dalam mode serius.
“Apa kau gila?!” teriak Morgan sambil meratapi ponselnya yang terbelah menjadi 2.
“Dengan begitu mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi,” kata Raska tanpa rasa bersalah. Meski begitu, ia tetap akan bertanggung jawab, akan mengganti ponsel Morgan nantinya.
Tiba-tiba Raska melirik Sakura kemudian menarik tanganya membuat Sakura tersentak. Dirangkulnya pinggang Sakura hingga tubuh mereka menempel tanpa jarak, hanya tersekat oleh pakaian yang melekat.
Sakura menatap Raska dengan mata melebar, terkejut dengan apa yang Raska lakukan tapi tak berani mendorongnya.
“Dia istriku. Suruh mereka berhenti, jika tidak dia akan membunuh mereka satu persatu.”
Mata Sakura kian melebar berpikir dia yang Raska maksud adalah dirinya.
“Hah?!” Morgan yang sebelumnya meratapi ponselnya, kini dibuat menganga seakan dagunya sampai jatuh ke tanah. “what? Istri?” tanyanya sambil memperhatikan Sakura dari kepala hingga kaki. “Oh, my ….” Morgan menepuk jidat lalu menatap Raska dengan gelengan kepala. “sepertinya kau benar-benar sudah tak waras. Gawat, kau benar-benar harus ke rumah sakit jiwa, Raska.”
Ekspresi Raska begitu datar. Bukan seperti ini respon yang ingin ia lihat dari Morgan. Ingin meyakinkan Morgan agar tak lagi mengungkit masalah semalam, tanpa permisi Raska menarik dagu Sakura lalu menunduk mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bertemu.
Jantung Sakura seakan copot saat bibir Raska bertemu dengan bibirnya. Hanya dalam hitungan detik, tapi rasanya mampu membuat tubuhnya seakan meleleh.
Sekali lagi Morgan menunjukkan ekspresi melongo jeleknya. Ini benar-benar sebuah kejutan untuknya.
Raska tetap tenang setelah menarik wajahnya, memberi Sakura ciuman singkat. “Aku memang gila karena khilaf. Tapi sekarang aku sadar, jadi jangan pernah mengungkit apapun tentang semalam,” ucapnya kemudian menarik Sakura ke dalam rumah lalu menutup pintu.
Raska melepas rangkulannya setelah pintu tertutup. Ia lalu melirik Sakura sekilas kemudian berjalan menuju kamar tanpa mengatakan apapun.
Sakura hanya diam saat Raska meninggalkannya. Ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri mengenai apa yang baru saja terjadi. Dan beberapa saat setelah Raska pergi, tubuhnya terhuyung ambruk ke pintu. Jika saja tak ada pintu yang menjadi sandaran, mungkin tubuhnya telah mencium tanah.
Raska menutup pintu kamarnya dan tetap berada di depan pintu sambil menghela napas berat nan panjang. Ia tak mengira harus mencium Sakura. Setelah ini apa yang akan Sakura pikirkan? Mungkin Sakura akan berpikir dirinya sengaja, mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Di luar, Morgan terus menekan bel bahkan juga memukul pintu sambil berteriak memanggil Raska.
“Keluar kau sialan! Jelaskan dulu padaku! Woi! Keluar!”
Cukup lama setelahnya, Raska keluar dari kamar saat tak lagi mendengar teriakan Morgan. Dengan membawa berkas yang sebelumnya ketinggalan, ia berniat pergi ke kantor meski sudah sangat terlambat.
Tiba-tiba langkah Raska terhenti melihat Sakura berdiri di depan pintu seperti tengah mengintip. Dan saat memastikan Morgan benar-benar sudah pergi, ia membuka pintu lebih lebar sambil menghela napas penh kelegaan.
“Hah … akhirnya.”
“Apa yang kau lakukan?”
Sakura nyaris terjingkat mendengar suara Raska, Ia tak menyadari majikannya itu berdiri di belakangnya.
“Tu- Tuan … sejak kapan anda ….”
Raska mengabaikan pertanyaan Sakura dan memilih melanjutkan langkahnya.
“Mau ke mana,” tanya Raska saat melewati Sakura lalu menghentikan langkahnya.
“A- ano, itu … aku ingin pergi belanja,” jawab Sakura dengan kepala tertunduk menyembunyikan semburat kemerahan yang menghiasi wajahnya.
Raska tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menyatakan, “Ikut aku. Aku bisa mengantarmu.”
Seketika Sakura mendongak. “Ta- tapi … bukankah anda harus ke kantor? Bukankah anda sudah terlambat?” kata Sakura dengan pandangan jatuh pada map berisi berkas penting di tangan Raska.
“Jangan banyak bicara. Cepat naik mobil,” kata Raska kemudian mengambil langkah menuju mobilnya yang masih terparkir di depan.
Sakura ingin mengatakan tidak, tak ingin merepotkan Raska. Tapi sepertinya itu adalah perintah mutlak yang membuatnya akhirnya hanya bisa menurut.
Tak lama kemudian, Raska dan Sakura telah dalam perjalanan di mana keduanya berada dalam kecanggungan. Namun, hanya Sakura, meski Raska pun merasa canggung, dirinya bisa menguasai diri agar tetap terlihat tenang.
Tangan Sakura yang berkeringat saling meremas di atas pangkuan. Meski begitu canggung, ada beberapa hal yang ingin ia katakan dan tanyakan. Tapi, lidahnya terasa kelu bahkan bibirnya seperti terus bergetar.
“Mengenai yang tadi, lupakan saja.” Tiba-tiba suara Raska terdengar membuat Sakura menoleh padanya.
Raska melirik Sakura sekilas lalu kembali fokus pada kemudinya. “Anggap saja orang tadi orang sinting. Dan lupakan apa yang sudah dia katakan.”
Sakura menggigit bibir bawahnya kemudian mengalihkan pandangan dari Raska, menunduk menatap tangannya yang semakin berkeringat.
“Saya … tidak memikirkannya. Saya pikir, itu hak anda. Saya tidak berhak ikut campur,” ucap Sakura dengan suara bergetar. Namun, meski mengatakan itu dirinya tetap tak mengira Raska mengenal dunia malam bahkan menikmati kupu-kupu malam.
Sakura menelan ludah saat ia ingin mengatakan sesuatu, sebuah pesan pada Raska karena menyangkut Sora. Ia merasa ragu, tapi merasa perlu mengatakannya. “ta- tapi … sebelumnya, saya minta maaf. Saya … sama sekali tak berniat mencampuri urusan anda atau ikut campur masalah pribadi anda, tapi … bisakah … bisakah anda memastikan bahwa anda tetap aman? Maksudku, sudah jadi rahasia umum sisi lain di balik indahnya dunia malam. Saya harap anda selalu memakai pengaman agar terlindungi. Bagaimanapun, anda memiliki Sora yang masih sangat membutuhkan anda.”
Raska menginjak rem tepat setelah Sakura mengatakan itu. Meski kata-kata Sakura terlalu berbelit belit, tapi ia mengerti maksud ucapannya.
“Kau takut aku terkena penyakit dan menulari anakku?”
Tubuh Sakura menegang mendengar bariton berat Raska. Memang itu inti dari ucapannya barusan selain khawatir Raska lebih cepat meninggal, tapi kenapa kedengarannya seperti kalimat tuduhan saat Raska yang mengatakannya?
Sakura hanya diam di mana sebulir keringat terlihat mentes melewati pipi dan berakhir di dagu. “Ma- maaf, saya–” Ucapan Sakura yang begitu pelan itu menggantung. Ia bingung bagaimana mengatakannya tanpa menyakiti perasaan Raska?
Raska hanya diam tanpa mengalihkan pandangan dari Sakura. Wanita itu terlihat ketakutan.
“Aku tidak akan membawa penyakit ke rumah jika itu yang kau khawatirkan,” ucapnya dan berharap Sakura sadar bahwa mereka telah sampai di supermarket.
Sakura menoleh, memberanikan diri menatap Raska dengan mata berkaca-kaca. Ia sudah berpikir Raska tersinggung dengan ucapannya dan memecatnya detik itu juga.
“Bagaimana denganmu? Aku tidak tahu banyak mengenai asal usulmu, bagaimana jika kau yang membawa penyakit pada anakku?”
Mata Sakura melebar dengan jantung mencelos mendengar pertanyaan Raska. Ia pun menunduk dan menggigit bibir bawahnya hingga nyaris berdarah sebelum akhirnya mengatakan, “Ji- jika … jika penyakit menular yang anda maksud, saya yakin saya tidak karena saya … belum pernah melakukannya.” Sakura pikir pertanyaan Raska merujuk pada penyakit seksual sebab pembicaraan mereka beberapa detik yang lalu mengenai hal itu.
Raska terdiam sejenak dengan tangan meremas setir.
“Apa aku mengatakan penyakit yang hanya bisa menular lewat hubungan intim?”
Sekujur tubuh Sakura meremang membuat tubuhnya seakan ditelanjangi karena rasa malu. Malu sudah berpikir ke arah sana dan terkesan menyombongkan diri karena ia masih perawan.
“Di tempat kerja sebelumnya selalu rutin dilakukan pemeriksaan kesehatan beberapa bulan sekali dan saya tidak terindikasi memiliki penyakit berbahaya menular. Penyakit yang ibu saya idap hingga membuatnya meninggal juga bukan penyakit menular,” ucap Sakura dengan suara pelan tapi Raska masih bisa mendengarnya cukup jelas.
“Bagus. Jadi, segera turun. Aku ada urusan.”
Jbles ….
Sakura menutup pintu dan tetap berdiri di tempat hingga mobil Raska melaju pelan meninggalkannya di depan supermarket. Dan saat mobil Raska tak lagi terlihat, hela napas panjang lolos dari mulutnya.
“Ssh … apa yang baru saja aku katakan?” desah Sakura sambil mengetuk jidat dengan kepalan tangan. Rasanya ia menyesal sudah mengatakan banyak hal pada Raka di mobil tadi.
Sementara di sisi lain, Raska melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Meski tampak fokus pada jalanan yang lengang, sebenarnya pikirannya berada di tempat lain, memikirkan hal lain. Dan hal lain yang ia pikirkan adalah, ucapan Sakura sebelumnya yang mana Sakura mengatakan ia belum pernah melakukannya dan itu artinya, Sakura masih perawan.
Tangan kanan Raska yang sebelumnya bekerja sama dengan tangan kirinya mengendalikan setir, kini beralih mengusap bibir. Mengingat ucapan Sakura tadi, apakah bibirnya adalah bibir pertama yang mengecap lembutnya bibir Sakura?
Tanpa sadar lidah Raska membasahi bibirnya, menyapu jejak bibir Sakura di sana. Meski hanya hitungan detik merasakan bibir Sakura, kelembutannya seperti terus tertinggal. Ini hanya bibir, bagaimana jika bagian tubuh yang lain?