20. Bertemu Mantan Rekan

1609 Kata
Sakura mendorong troli belanjanya lalu berhenti di depan rak sabun. Ia melihat catatannya dan mengambil merek sabun sesuai yang ada di rumah Raska. Bukan hanya sabun, tapi juga pembersih lantai, sabun cuci piring dan lainnya. “Setelah ini tinggal membeli bahan isi kulkas,” gumamnya setelah selesai kemudian mendorong troli. “Aduh!” Sakura tersentak kaget. Tanpa sengaja troli belanjanya menabrak konsumen lain yang tengah memilih. Ia masih memperhatikan catatannya tak ingin ada yang terlewat sampai-sampai tak melihat ada orang di depannya. “Ma- maaf!” ucap Sakura seraya menghampiri orang tersebut. “Apa kau buta?!” sentak wanita itu sambil menepuk-nepuk pinggangnya yang dihantam troli Sakura. “kau?” Sakura terkejut hingga bahunya sedikit terangkat saat melihat wanita itu dengan jelas. “Se- Serena,” gumam Sakura. Serena adalah rekan kerja di tempat Sakura sebelumnya dan mereka memiliki hubungan yang kurang baik. Wanita berambut panjang yang diikat ekor kuda itu memperhatikan Sakura dari atas sampai bawah kemudian melirik troli Sakura yang penuh. “Tak kusangka kita akan bertemu di tempat ini, Sakura. Kau sedang belanja?” “A- i- iya,” jawab Sakura terbata. “Oh, ya, sekarang kau bekerja di mana? Kau tidak jadi pengangguran, kan? Ah, pasti tidak. Kau bahkan bisa belanja sebanyak ini,” kata Serena sambil melirik troli Sakura. Sakura tampak ragu menjawab dan pada akhirnya memilih pergi. “Maaf, Ser. Aku sedikit terburu-buru,” ucap Sakura lalu kembali pada trolinya dan mendorongnya menjauhi Serena. Namun, seperti masih ingin bicara dengan Sakura, Serena menghadang Sakura, berdiri di depan troli belanjanya. “Kenapa buru-buru sekali, Sak? Atau, majikanmu sudah menunggu? Melihat belanjaanmu, jangan bilang kau sekarang jadi pembantu.” Sakura tak berniat menjawab, ia mendorong trolinya ke samping untuk melewati Serena tapi wanita itu terus saja menghadang bahkan memberi sedikit dorongan. “Ayo lah, jangan menghindar, Sak. Apa salahnya mengobrol sedikit?” “Maaf, Ser, tapi aku benar-benar sedang buru-buru. Kita bisa mengobrol lain hari,” ucap Sakura. Serena adalah orang yang sudah membuatnya dipecat dari pekerjaan sebelumnya. Wanita itu sangat pandai mencari muka dengan menjatuhkan rekannya dan Sakura adalah korbannya. “Oh, ya sudah kalau kau tak mau berbagi cerita padaku tentang pekerjaanmu sekarang, tapi aku punya kabar bagus. Aku diangkat jadi supervisor kemarin,” ucap Serena congkak. Sudut bibir Sakura sedikit terangkat. “Selamat,” ucapnya. “Hm, terima kasih,” kata Serena dengan senyuman merekah. “Jika kau mau, aku bisa lo membuatmu kembali bekerja. Nanti aku akan memberimu tips, bagaimana caranya cepat naik jabatan meski belum lama bekerja. Kau dan aku kan duluan kau, tapi kau malah dipecat lalu aku diangkat jadi supervisor. Kau pasti sangat iri, kan?” Sakura meremas dorongan troli belanjanya. Ia sudah melupakan permasalahanya dengan Serena, tapi pertemuannya dengan wanita itu juga sikap yang wanita itu berikan membuatnya menggali kemarahannya. “Maaf, Ser, aku tak akan iri pada orang yang berhasil meraih sesuatu karena menjatuhkan orang lain,” kata Sakura yang tak bisa menahan diri lagi. Sebenarnya sudah lama ia ingin mengatakan ini, setelah Serena menjebaknya, membuatnya seperti karyawan tak bertanggung jawab dan pemalas. Senyuman di wajah Serena lenyap. “Apa katamu?” Sakura menghela napas kasar. “Tidak ada. Maaf, tolong jangan halangi jalanku,” ucapnya kemudian mendorong troli lebih kuat membuat Serena menepi. Jika tidak, ia pasti terlindas troli. “Hei!” teriak Serena. “sialan, apa-apaan dia itu? Bekerja jadi babu saja sudah sombong minta ampun,” geram Serena tanpa mengalihkan pandangan tajamnya pada Sakura yang menjauh. Sakura bernapas lega setelah berhasil menghindari Serena meski hatinya masih dongkol. Meski pendiam, dirinya bisa menunjukkan kemarahannya jua. Cukup lama kemudian, Sakura telah selesai membeli semua yang harus ia beli. Sakura memeriksa isi trolinya juga struk belanjanya yang menghabiskan uang hampir 2 juta. Merasa tak ada yang terlewat, ia memesan taxi untuk menjemputnya. Tiba-tiba Sakura teringat sesuatu sesaat setelah memesan taxi. Sebentar lagi hari ulang tahunnya, dan sudah sejak lama ia ingin sesuatu. Tak lama, Sakura telah berada di stand kue dan roti, berdiri di depan etalase sambil melihat-lihat. Sebenarnya ia ragu, merasa sayang dengan uangnya, tapi sebagian hatinya menyuruhnya menikmati sedikit kerja kerasnya walau hanya dengan sepotong kue. “Selamat datang. Selamat siang, Nona. Hari ini kami memiliki promo spesial, apakah anda ingin mencobanya?” tawar penjaga toko kue melayani Sakura dengan sopan. Sakura mengangguk kemudian kembali melihat-lihat banyaknya kue dalam etalase yang mana kesemuanya terlihat lezat. “Hari ini kami memiliki promo spesial. Soft cake strawberry ini terbuat dari bahan khusus dan memiliki rasa yang unik,” ujar penjaga setelah meletakkan soft cake strawberry ke atas etalase. “Boleh aku mencobanya?” tanya Sakura. Penjaga toko kue itu mengangguk kemudian mengambil sepotong kecil taster dari dalam etalase dan memberikannya pada Sakura. Sakura pun mencobanya dan seketika jatuh cinta pada rasanya. Kue itu benar-benar memiliki rasa yang unik. Rasanya manis, dengan sedikit rasa masam strawberry dan teksturnya begitu lembut. “Ini … enak sekali,” gumam Sakura tanpa sadar setelah mencicipi kue itu. Penjaga toko itu tersenyum dan mengatakan, “Benar sekali. Anda tidak akan menyesal membelinya apalagi ada potongan harga sepuluh persen khusus untuk hari ini. Besok harganya akan kembali normal.” Mendengar itu, Sakura pun membeli kue tersebut dengan harga 200 ribu. Ia seakan lupa bahwa ia harus berhemat. “Terima kasih,” ucap Sakura setelah pelayan itu membungkus kue pilihannya. Ia sengaja membawanya pulang untuk dinikmati bersama Sora. Prak! Baru saja Sakura mengangkat kotak kuenya, seseorang menabraknya membuat kuenya jatuh. “Oh, ya ampun, maaf! Aku tidak–” Suara wanita itu terhenti seakan terkejut bahwa orang yang ditabraknya adalah Sakura. Padahal, ia sengaja. Rupanya, Serena mengikuti Sakura setelah mereka bertemu sebelumnya. “ya ampun, Sakura. Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja,” ucapnya dengan nada suara dibuat-buat. Namun, seringai tipisnya samar terlihat. Sakura hanya diam melihat kuenya jatuh di dekat kakinya. Waktu seakan terhenti sesaat setelah kuenya jatuh. Sakura membungkuk mengambil kotak kuenya dan melihat isinya, berharap kuenya baik-baik saja. “Ya ampun, Sak. Kau pasti dimarahi majikanmu, sorry, ya, aku benar-benar tidak sengaja.” Sakura menulikan pendengarannya, mengabaikan Serena yang berpura-pura prihatin. Namun, nyatanya ia justru melangkah pergi tanpa berniat mengganti kue Sakura. Jantung Sakura bergetar saat melihat kuenya tak berbentuk. Kue yang sebelumnya berbentuk hati itu kini telah rusak. *** Sakura menatap kuenya yang membuatnya kehilangan selera karena telah rusak. Saat ini ia telah di rumah, baru saja tiba. Sakura tersenyum getir menatap kue itu. Ia merasa menyesal sekarang, merasa telah membuang uang. “Harusnya aku tidak membelinya,” gumam Sakura. Suasana hatinya benar-benar buruk setelah kuenya hancur. Ia juga tak sempat membuat perhitungan pada Serena. Dia menghilang setelah menghancurkan suasana hatinya. Dan ia yakin, Serena sengaja melakukan itu. Tiba-tiba Sakura terhenyak, tersadar bahwa sebentar lagi Sora pulang dan ia belum membuat makan siang. Mengabaikan kuenya, ia pun segera memasak. Cukup lama setelahnya, Sora pulang. Tak seperti biasa, ia tidak berteriak saat memasuki rumah, melainkan berjalan pelan berniat mengejutkan Sakura. “Mama sepertinya di dapur,” gumam Sora mendengar suara dari arah dapur. Ia pun berjalan seperti seorang detektif. “Dor!” “Kyah!” “Hahaha! Mama terkejut! Hahahaha!” gelak tawa Sora terdengar memenuhi dapur. Sementara, Sakura menepuk pelan dadanya. Ia benar-benar terkejut dikejutkan Sora. “Ya ampun, Sora, kau membuat mama terkejut,” ucap Sakura seraya berjalan ke arah Sora yang masih tertawa sambil memegangi perut. “Hahaha, maaf, Ma,” ucap Sora setelah Sakura berdiri di depannya dan menyamakan tinggi mereka dengan setengah berjongkok. Sakura mengusap pucuk kepala Sora. “Jangan lagi, ya, nanti mama jantungan bagaimana?” “Hehe, iya, Ma. Maaf, ya, Ma.” Sakura menghela napas. “Ya sudah. Sora ganti baju dulu, lalu makan siang. Mama sudah siapkan makan siang, Sora pasti suka,” titahnya. “Siap, Mama!” seru Sora dengan tangan membentuk pose hormat. Ia lalu berlari menuju kamar. Sambil tersenyum, Sakura menggeleng pelan melihat polah Sora. Dan saat Sora tak lagi terlihat, ia melanjutkan kegiatannya mencuci peralatan masak yang telah ia gunakan. Tak lama kemudian, Sora kembali ke dapur. Ia pun segera duduk di kursi meja makan. “Mama, apa ini?” tanya Sora melihat kotak kue Sakura. Sakura lupa belum menyingkirkannya karena sibuk memasak sambil membereskan belanjaan. Sakura yang baru selesai mencuci peralatan, menoleh. “Eh? Itu ….” Ia lalu menghampiri Sora lalu duduk di sebelahnya. “Kue?” gumam Sora setelah melihat isi kotak itu. “Tadi mama beli kue, tapi jatuh. Padahal mama ingin memakannya dengan Sora,” ucap Sakura. Meski ia bicara dengan senyuman, tapi kesedihannya juga terlihat. Sora memperhatikan Sakura dengan seksama, seakan bisa membaca apa yang Sakura rasakan saat ini. “Ya sudah, biar mama bereskan.” Sakura bangkit dari duduknya dan membawa kotak kuenya keluar dari dapur. Meski kehilangan hasrat menikmatinya, tapi ia merasa sayang jika harus dibuang. Sementara, ia pikir Sora tak pantas memakan kue yang sudah hancur. Melihat sakura pergi, Sora turun dari kursi yang ia duduki dan berlari menuju kamarnya. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi sang papa. “Halo, Papa.” “Ada apa, Sora? Om Galih sudah menjemput Sora, kan?” tanya Raska dari seberang sana. Galih adalah sopir kantor yang ia tugaskan menjemput Sora ke sekolah. “Uum. Sora sudah di rumah. Oh, ya, Pa, Sora ingin sesuatu. Papa belikan, ya, sebelum pulang.” Di tempat Raska, ia tengah duduk di kursi direkturnya sambil menebak-nebak, sesuatu apa yang Sora inginkan. Kemarin Sora ingin baju untuk Sakura, sekarang, apa lagi? Jika untuk Sora sendiri, ia tak akan memikirkannya. Tapi jika untuk Sakura …. Raska memijit pangkal hidungnya setelah Sora mengatakan apa yang ia inginkan. “Ya sudah, Pa. Sampai jumpa nanti, sore.” Raska menurunkan ponsel dari telinga setelah Sora mengakhiri panggilan. Dan saat baru hendak memasukkan ponselnya ke saku jas, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN