2. Mama Baru

1228 Kata
Sakura begitu terkejut. Ia akan tidur dengan majikannya itu? “Meski Sora punya kamar sendiri, dia lebih sering tidur di sini. Dan dia pasti akan lebih sering tidur di sini karena ada kau,” ujar Raska yang membuat Sakura sedikit lebih lega. Sakura sudah berpikir yang tidak-tidak jika ia akan tidur seranjang hanya berdua dengan duda tampan di depannya. Tiba-tiba Sakura teringat sesuatu, sesuatu yang terus ia pikirkan hingga akhirnya memberanikan diri bertanya. “Tuan, maaf. Ada yang ingin aku tanyakan. Apakah … apakah Sora memang mudah terbuka dan menerima kehadiran orang asing? Maksudku, kami baru bertemu, tapi sikap Sora–” “Ya. Dia sangat menginginkan sosok ibu, mungkin karena itu dia seperti langsung menyukaimu,” potong Raska memahami apa yang ingin Sakura tanyakan. “A–” “Aku mau keluar. Jika Sora bangun, katakan saja aku ada urusan.” Padahal ada hal lain yang ingin Sakura tanyakan, tapi Raska lebih dulu bicara yang membuatnya hanya mengangguk mengerti. Tak lama kemudian Raska telah pergi, meninggalkan Sakura di kamar barunya yang tengah menata baju ke dalam lemari. Setelah selesai, ia berniat menghubungi Ina, teman baiknya tapi sebelum itu terjadi, Ina lebih dulu menghubunginya. “Halo, bagaimana, Ra? Bagaimana dengan pekerjaan barumu? Semua baik-baik saja?” Sakura tak tahu dari mana dirinya harus bicara dengan Ina. Rasanya ia ingin mengatakan apa yang terjadi, tapi ia pikir Raska mungkin ingin pernikahannya dirahasiakan mengingat semua itu hanya pura-pura demi anak semata wayangnya. “I- iya, Ina. Semua baik-baik saja. Anak tuan Raska sangat baik dan manis.” “Nah, kubilang juga apa. Anak tuan Raska itu berbeda dengan anak lain yang biasanya nakal. Dia pasti langsung luluh padamu, kan?” “A … ya, sepertinya. Tapi tetap saja aku merasa sedikit canggung. Bagaimanapun, ini pengalaman pertamaku mengurus anak-anak.” “Halah, Ra, aku yakin kau bisa. Kau kan penyuka anak-anak. Selain itu, gajinya pasti besar, kan? Sekelas tuan Raska, aku yakin tidak akan memberimu gaji kecil.” Sakura hanya mengangguk seakan Ina berada di depannya. Meski belum tahu pasti berapa gajinya mengingat Raska mengatakan gajinya menjadi 2 kali lipat, ia tak ingin berharap terlalu tinggi, berharap gajinya 2 digit. Ia sadar kemampuannya, bisa diterima bekerja sana sudah sangat syukur. “Oh, ya, Na, aku … benar-benar berterima kasih padamu. Berkat kau, aku punya pekerjaan lagi setelah dipecat kemarin. Terima kasih banyak, Ina,” ujar Sakura dengan tulus. Ina adalah sahabatnya sejak SMP hingga SMA. Namun, setelah lulus mereka berpisah sebab Ina masuk kuliah sementara Sakura bekerja. Keterbatasan ekonomi membuatnya tak bisa melanjutkan kuliah. “Ya ampun, Ra, bicaramu ini seperti dengan siapa. Kita ini saudara, kan? Semua bukan karena aku, anggap saja ini sudah rejekimu bisa bekerja dengan bosku. Meski dia dingin dan kadang sedikit galak, sebenarnya dia baik, kok. Dia juga sayang anak, ditambah lagi, dia sangat hot, bukan? Kyah! Dia benar-benar tampan!” Sakura menjauhkan ponsel dari telinga dan tersenyum kecil. Ia seakan bisa membayangkan ekspresi Ina di seberang sana. “Hah, ya ampun, andai saja ibuku boleh, sudah kumasuki saja lowongan babysitter itu.” Sakura melirik ponsel yang telah kembali ia tempelkan ke telinga. Tak mungkin ibu Ina membiarkannya jadi babysitter. Ina lulusan S1 bahkan ibunya menyuruhnya melanjutkan S2 meski Ina sudah punya pekerjaan, jadi mana mungkin membiarkan anaknya berakhir bekerja sebagai pengurus anak? “Oh, ya, Na. Boleh aku minta tolong? Jika sempat, tolong jenguk ibuku di rumah sakit. Aku belum berani minta izin pada tuan Raska, tahu sendiri, aku baru bekerja,” pinta Sakura. Seharusnya ia menemani ibunya, tapi jika demikian, siapa yang akan membayar biaya pengobatan? Jadi dengan terpaksa, ia mengandalkan perawat di rumah sakit dan meminta bantuan Ina sesekali menjenguk. Jika sudah berani, ia akan meminta izin pada Raska nantinya. “Tenang saja, Ra. Aku akan melakukannya.” “Terima kasih.” Tepat setelah Sakura mengatakan terima kasih, tiba-tiba pintu kamar terbuka menampilkan Sora yang mengucek mata. “Papa, Mama mana?” gumam Sora seperti belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Sakura segera menghampiri Sora dan menangis wajahnya. “Mama di sini, Sora. Ada apa? Kau membutuhkan sesuatu?” Sora membuka mata lebar dan segera memeluk Sakura. “Sora pikir Mama pergi.” Sakura mengusap lembut pucuk kepala Sora dan mengatakan, “Tidak, Sora. Mama tidak akan pergi ke manapun.” Sora melepas pelukan. “Ma, Sora mau ke kamar mandi. Mau pipis,” ucapnya kemudian berlari menuju kamar mandi di kamar itu. Meski tampak manja, tapi untuk urusan toilet, dirinya sudah mandiri. Sakura menatap pintu kamar mandi dengan senyuman lembut. Ia bersyukur mengasuh anak semanis Sora. Tiba-tiba sebuah pikiran terbesit dalam kepala membuat Sakura mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Namun, ia tak menemukan apa yang ia cari. Ia mencari foto ibu Sora, merasa penasaran seperti apa wajah ibu anak itu. “Mama! Aku selesai!” Perhatian Sakura tertuju pada Sora yang baru keluar dari kamar mandi. Ia pun segera menyambutnya. “Wah, Sora pintar, ya. Bisa ke kamar mandi sendiri. Sudah cuci tangan?” Sora mengangguk dan menunjukkan kedua tangannya yang bersih. “Ma, Sora lapar,” ucap Sora sambil mengusap perut. “Eh? Lapar?” gumam Sakura. Apa tidak lancang jika ia menggunakan dapur Raska tanpa izin? Tapi, melihat Raska yang mengusap perut membuatnya tak punya pilihan lain. “Baik lah, Sora mau makan apa? Mama akan buatkan.” Wajah Sora berbinar. Ia pun segera berseru. “Telur gulung!” Sakura mengangguk tanpa melunturkan senyum. Ia dan Sora pun pergi ke dapur. Tak lama kemudian, aroma masakan tercium dari dapur. Seperti keinginan Sora, Sakura memasak telur gulung untuknya. Sekitar 15 menit kemudian, Sakura menyajikan telur gulung ke atas meja. “Silakan. Telur gulung pesanan Sora sudah siap,” ucap Sakura seperti seorang pelayan restoran. Sora bertepuk tangan kemudian menyuruh Sakura duduk di kursi di sebelahnya. “Mama, boleh Mama suapi Sora?” “Eh? Uum.” Sakura mengangguk. Ia lalu mulai menyuapi Sora. Ia pikir Sora juga akan mandiri, makan sendiri, tapi bagaimanapun Sora masih anak-anak, tidak semua bisa dilakukannya sendirian. “Kenapa Mama baru menikah dengan Papa?” tanya Sora sambil mengunyah makanan setelah Sakura menyuapinya. “dulu Papa janji akan membawa Mama saat usia Sora lima tahun sebagai hadiah ulang tahun. Tapi ulang tahun Sora sudah satu Minggu yang lalu.” “Ah, itu … itu karena mama sibuk, ada hal yang harus mama urus jadi baru bisa datang ke sini hari ini,” ujar Sakura memberi penjelasan meski hanya membual. Tak mungkin ia berkata jujur pada anak usia 5 tahun. Meski begitu, ia merasa Sora sangat cerdas. “Jadi, di mana Mama selama ini? Sejak kapan bertemu Papa?” Sakura mulai canggung, bagaimana ia menjawab semuanya? Ia takut salah menjawab. “Sora sudah lama minta Mama sama Papa, tapi Papa selalu bilang nanti. Tapi sekarang Sora senang, Papa menepati janjinya.” Sakura tak tahu harus mengatakan apa sampai akhirnya ia mencoba mengajak Sora bicara hal lain. “Kenapa Sora sangat ingin mama?” Sora menelan kunyahan makanannya lalu menjawab, “Sebab, semua anak di sekolah Sora punya mama, hanya Sora yang tidak punya.” Hati Sakura tergetar. Tak tahu sejak kapan Sora tak mendapat perhatian seorang ibu, tapi ucapan Sora menunjukkan dirinya seperti tak memilikinya sejak lahir. Apakah itu yang membuat Sora dengan mudah menerimanya? Karena Sora sangat ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Di luar dapur, suara langkah kaki terdengar. Bukan Raska, tapi seorang wanita yang menenteng beberapa paper bag di tangan. “Sora … Mama datang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN