3. Hanya Mantan

1203 Kata
Sakura menajamkan pendengarannya lalu menoleh ke belakang. Dan benar saja, seorang wanita bertubuh tinggi bak model baru saja menghentikan langkahnya di ambang pintu dapur. Wanita berwajah blasteran Indonesia-Belanda itu menatap Sakura dengan alis mengernyit. Ia lalu mengambil langkah dan berhenti di depan meja makan. “Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya wanita itu disertai tatapan sinis. Setahunya Raska tidak suka ada orang asing di rumahnya. Bahkan orang yang bertugas mengerjakan pekerjaan rumah datang 2 hari sekali. Sakura bingung ingin menjawab. Ia khawatir wanita itu adalah pacar Raska. “Dia mama baruku,” sahut Sora. Perhatian wanita bernama Dahlia itu mengarah pada Sora. Ia pun segera mendekati anak itu, berdiri di sisi kursi yang Sora duduki. “Sora, apa yang baru saja kau katakan?” tanya Dahlia, menatap bocah itu tak percaya. Ia yakin Sora tak mungkin bercanda, tapi apa yang baru dikatakannya terdengar mustahil. “Tante mau apa ke sini?” Bukannya menjawab, Sora justru mengatakan itu. Meski sudah setahun berlalu, ia masih ingat dengan mantan kekasih Raska tersebut. Dulu Raska pernah memperkenalkannya sebagai calon mama baru, tapi saat Sora bersikap manja seperti layaknya anak-anak pada umumnya yang senang akan memiliki mama baru, sikap Dahlia seperti landak. Dahlia menunjukkan sikap risihnya, berbeda dengan Sakura. Dahlia menarik kursi, duduk di dekat kursi Sora dan menunjukkan hadiah yang ia bawa. “Mama ke sini untuk memberimu hadiah. Kau kan baru saja ulang tahun. Lihat, mama bawa banyak mainan. Kau suka, kan.” Dahlia mengeluarkan satu persatu mainan dari dalam paper bag yang ia bawa. Ia sengaja ingin menarik perhatian Sora, berniat memperbaiki kesalahannya di masa lalu. “Tante bukan mamaku. Dan Sora sudah punya semua mainan ini,” kata Sora seraya menepis mainan yang coba Dahlia berikan. Sora anak yang cerdas, daya ingatnya juga kuat. Ia masih ingat bagaimana sikap Dahlia padanya meski sudah setahun berlalu. Wajah Dahlia tampak memerah. Padahal dirinya sudah berinisiatif membelikan mainan meski sangat enggan. Ia ingin menarik perhatian Sora, berniat kembali pada Raska. Setelah pertemuannya dengan Sora waktu itu, ia menyuruh Raska memilih melanjutkan hubungan dengannya atau memilih anaknya, sebab ia tidak menyukai Sora. Ia pikir Raska akan memilihnya dan membawa Sora ke panti, tapi tidak. Raska memilih Sora dan akhirnya hubungan mereka berakhir. Saat itu dirinya segera mendapat pengganti Raska yang membuatnya tak peduli lagi padanya. Tapi, saat ini mereka sudah putus yang membuatnya ingin kembali pada Raska. “Sora. Tidak baik melakukan itu,” tutur Sakura melihat mainan yang Dahlia berikan kini tergeletak di lantai bahkan sepertinya pecah. Sakura segera berdiri dari duduknya dan mengambil mainan tersebut. “Maaf,” ucapnya. Brak! Sakura terjingkat saat Dahlia memukul meja dengan tangan mengepal. Kesabarannya setipis tisu dibagi 7, ditambah ia tidak menyukai Sora membuatnya seperti bom yang siap meledak. “Kau ini siapa?! Berani-beraninya! Kau pasti sudah mencuci otak Sora agar menganggapmu mamanya, kan?!” tuduh Dahlia sambil menunjuk wajah Sakura. “Ada apa ini?” Bariton berat milik Raska terdengar membuat semuanya mengarah pandangan. Raska menatap Dahlia dan Sakura bergantian kemudian pada Sora. “Papa!” Sora turun dari kursinya dan berlari menuju Raska di ambang pintu. “Papa dari mana saja? Lihat, Pa, Tante jahat itu ke sini,” adu bocah itu sambil menunjuk Dahlia. Mata Dahlia melotot. Kini ia yakin keputusan Raska hari itu untuk meninggalkannya pasti karena Sora. Raska mengangkat tubuh Sora, menggendongnya dengan mendudukkannya pada lengan kokohnya lalu berjalan mendekati Dahlia juga Sakura. “Untuk apa kau ke sini?” “Aku … tiba-tiba aku merindukanmu jadi … aku datang ke sini,” ucap Dahlia seraya berniat merangkul Raska. Namun, tangan Raska menepisnya dengan kasar. “Sejak hari itu aku mengharamkanmu masuk rumah ini lagi,” kata Raska kemudian memberi isyarat pada Sakura untuk mendekat. Sakura terkesiap sesaat. Ia sedang fokus melihat dan memperhatikan kejadian di depan mata. “I- iya.” Sakura mendekat dan menggantikan Raska menggendong Sora. “Bawa Sora ke kamar,” perintah Raska. Tanpa bertanya atau mengatakan apapun, Sakura mengangguk. Ia menggendong Raska dalam dekapan membawanya meninggalkan dapur. Dahlia menatap kepergian Sakura dengan wajah terheran. “Ras, apa maksudnya ini? Wanita itu pembantu baru di rumah ini? Tapi kenapa Sora memanggilnya mama?” Raska menoleh, menatap Dahlia dengan aura yang begitu dingin menguar dari tubuh dan terpancar di wajahnya. “Dia memang mana barunya. Sebaiknya kau pergi, tidak ada yang menginginkan kehadiranmu di sini. Bukan hanya Sora, tapi juga aku.” Dahlia segera menggenggam tangan Raska, dan mengiba. “Ras, kumohon maafkan aku. Sekarang aku sudah berubah, aku akan menerima Sora. Waktu itu pikiranku sedang kacau yang membuatku tak ingin dia ada di antara kita. Sekarang, aku benar-benar menyesal. Aku masih mencintaimu, Ras, kumohon beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku juga akan mencintai Sora seperti anak kandungku sendiri.” Raska menarik paksa tangannya hingga genggaman Dahlia terlepas. “Itu semua bukan urusanku. Pergilah.” Setelah mengatakan itu Raska melangkah pergi meninggalkan dapur seraya menempelkan ponsel ke telinga menghubungi satpam di depan, memintanya membawa Dahlia pergi dari rumahnya. Sejak Dahlia menyuruhnya memilih antara dirinya atau Sora, sejak saat itu ia bersumpah tak akan kembali pada wanita itu. “Ras! Raska! Raska!” Mau seperti apapun Dahlia berteriak, Raska seolah tak peduli. Ia pun hanya bisa melampiaskan kemarahannya dengan memukul meja. Tak lama, satpam yang Raska panggil datang, memaksa Dahlia pergi dari sana. Meski keberatan, pada akhirnya wanita itu tak bisa tinggal. *** “Yei!” Sakura bertepuk tangan setelah Sora berhasil memasukkan bola ke dalam ring basket mainan miliknya. Keduanya tengah bermain di ruang bermain sekarang dan Sora tampak senang. “Lihat, Ma, Sora berhasil!” seru Sora seraya melompat-lompat ke arah Sakura. “Wah, Sora hebat. Tos dulu.” Sakura mengangkat tangan dengan telapak tangan terbuka dan mendapat tepukan telapak tangan kecil Sora. “Sora senang mama yang jadi mama Sora,” ucap Sora tiba-tiba. “Ha? Kenapa?” tanya Sakura penuh tanya. “Tante itu berbeda dengan Mama. Dulu saat papa membawanya ke sini, Tante itu seperti tidak menyukai Sora. Saat Sora mendekatinya, wajahnya jadi berubah seperti Sora ini serangga. Itu artinya, Tante itu tidak suka pada Sora, ‘kan?” Sakura tak dapat mengalihkan pandangannya dari Sora sedikitpun. Apakah wajar anak usia 5 tahun berkata dan bertanya seperti itu? Tapi hal itu tentu bisa terjadi mengingat sekarang ini banyak sekali anak-anak yang sangat pintar dan pandai bicara seperti orang dewasa. Bahkan beberapa di antaranya dianggap sudah melebihi normalnya anak-anak. “Tapi saat Sora mendekati Mama, Mama tidak menunjukkan tatapan seperti Tante itu. Bahkan saat Sora bersikap sangat manja, Mama hanya tersenyum,” imbuh Sora yang membuat Sakura merasa tak bisa berkata-kata. Tangan Sakura terangkat menyisihkan poni Sora yang menutupi jidat. “Jujur saja, sebenarnya … mama takut saat pertama bertemu Sora. Mama takut Sora tidak menyukai mama, dan takut mama tidak bisa membuat Sora bahagia. Mama masih belajar, tolong bantu mama, ya?” Sora mengangkat tangan kanannya membelai yuk pose hormat. “Siap, kapten Mama.” Tanpa keduanya sadari, Raska mendengar semuanya juga melihat semuanya. Ia benar-benar terkejut Sora bisa langsung akrab dengan Sakura. Meski anaknya itu memang supel, tapi melihat interaksi keduanya, rasanya sudah di luar nalar mengingat mereka bertemu belum lama. Drt …. Pikiran Raska mengenai Sakura dan Sora buyar saat ponselnya berdering. Mengambil ponselnya, diangkatnya panggilan. “Halo. Ada kabar buruk.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN