Cup … cup. sudah Sora, jangan menangis.” Sakura berusaha menenangkan Sora. Bocah itu menangis karena berpikir Sakura pergi sebab tak menemukannya saat ia bangun.
Raska memijit pangkal hidungnya. Ia merasa Sora menjadi lebih mudah menangis sekarang sejak kehadiran Sakura. Tapi, ia pikir mungkin karena selama ini Saora tak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ibu membuatnya menjadi lebih manja setelah memilikinya.
Sora mengusap sendiri air matanya. “Tadi Sora bermimpi Mama pergi,” ucap Sora setelah tangisnya mereda.
Dengan kelembutan Sakura mengusap kepala Sora dan mengatakan, “Tidak, Sora, Mama tidak akan pergi. Mama menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana kalau sarapan sekarang? Atau, apa Sora mau mandi dulu?”
Sora mengangguk kemudian menarik tangan Sakura menuju kamarnya. Ia mau mandi dulu sebelum sarapan.
Raska masih berdiri di tempat menatap kepergian Sora dan Sakura. “Dia benar-benar melupakanku,” batinnya melihat Sora sama sekali seperti tak melihatnya.
Cukup lama kemudian, Sora telah rapi dengan seragam sekolahnya. Ia dan Sakura pun memasuki dapur dan sudah ada Raska yang duduk menyeruput kopi hitamnya.
“Selamat pagi, Pa,” sapa Sora saat akan duduk di kursi di sebelahnya.
Raska hanya diam sambil memperhatikan saat Sakura membantu Sora duduk. Padahal biasanya Sora akan duduk sendiri, tapi kali ini membiarkan Sakura membantunya.
“Mama mau ke mana? Duduk sini.” Sora menepuk kursi kosong di sebelahnya meminta Sakura duduk dan menemaninya.
Sakura melirik Raska sekilas di mana keraguan tampak jelas di wajahnya. Setelah apa yang terjadi sebelumnya, ia berpikir mungkin Raska tidak menyukai kedekatannya dengan Sora.
“Duduk,” perintah Raska yang membuat Sakura akhirnya duduk di sebelah Sora.
Sakura menarik piring Sora agar memudahkannya menyapinya. Namun, Sora menahannya dan membuat Sakura terkejut.
“Biar Sora sendiri, Ma. Tangan Mama kan sakit. Mama juga baru sembuh,” ucap Sora kemudian mulai menikmati sarapannya. Di sela menikmati sarapan, tiba-tiba Sora berhenti mengunyah membuat perhatian Raska dan Sakura tertuju padanya.
“Sora, ada apa?” Sakura bertanya, berpikir apa yang membuat Sora tiba-tiba diam. Apakah masakannya tidak enak?
Sora menoleh pada Sakura dan menjawab, “Nanti Mama tidak usah antar Sora.”
“Eh? Kenapa?” Sakura tentu terkejut sebab kemarin-kemarin Sora sangat bersambat memintanya mengantar sampai sekolah.
Sora hanya diam. Ia teringat apa yang terjadi pada Sakura kemarin dan berpikir ia tak mau membahayakan mamanya lagi. Ia merasa, kecelakaan yang Sakura alami karena dirinya. Ia juga tak mau mamanya tahu kalau teman-temanya menganggapnya hanya babu bukan mamanya.
“Mama harus istirahat sampai benar-benar sembuh. Papa kan di rumah, biar Papa yang mengantar Sora.”
Raska hanya diam tanpa mengalihkan perhatian dari sang putra. Di saat seperti ini dirinya merasa Sora punya sifat dewasa lebih darinya. Daripada mengedepankan keinginannya, Sora memilih mengedepankan kesehatan Sakura.
Sakura pun terdiam. Niat baik Sora seakan tersampaikan membuat rasa haru merasuk.
Sakura mengalihkan pandangan dari Sora. Ia menoleh ke samping dan mengusap setitik air mata di ujung mata. Jika seperti ini terus, lama-lama ia bisa menganggap Sora sebagai anak sungguhan.
Tak lama kemudian, setelah sarapan selesai, Sora bersiap berangkat ke sekolah. Seperti yang ia katakan, ia berangkat hanya diantar sang ayah.
“Hati-hati, Sora. jangan lupa habiskan bekalmu, ya,” ujar Sakura sebelum Sora berangkat.
Sora mengangguk, memeluk pinggang Sakura kemudian berbalik dan berjalan menuju mobil sambil melambaikan tangan.
Sakura melakukan hal serupa, melambaikan tangannya dengan rekahan senyuman. Dirinya benar-benar menjalani perannya sebagai seorang ibu dengan baik.
Di dalam mobil, Sora masih melambaikan tangan sampai akhirnya duduk dengan tenang setelah mobil mulai meninggalkan halaman.
“Papa, Papa sudah menyuruh Mama tetap di rumah, kan? Sudah menyuruh Pak Rah menjaga Mama, kan?” tanya Sora bertubi-tubi.
Raska mengangguk dan menoleh pada Sora sekilas dan kembali pada kemudinya.
“Papa lihat, Sora sangat menyayangi Mama. Apa Sora sudah tidak sayang Papa?”
Sora menggoyangkan telunjuknya ke kiri dan kanan ke arah Raska dan menjawab, “A– a, Papa. Sora sayang Mama dan Mapa.”
Raska tersenyum kecil dan mengacak pelan rambut Sora membuat Sora marah.
“Papa, Mama sudah menata rambut Sora dengan rapi, jangan merusaknya,” keluh Sora sambil menyingkirkan tangan Raska dari kepala.
Raska menyingkirkan tangannya dan meminta maaf. “Baik lah, maafkan Papa.”
Sora merapikan rambutnya sambil bicara. “Mama butuh istirahat. Tangan Mama sakit juga karena Sora. Jadi Papa jangan cemburu kalau Sora lebih perhatian sama Mama.”
Raska menginjak rem dan menoleh pada Sora dengan alis mengernyit. “Dari mana Sora dapat kata-kata itu?” Ia heran, bagaimana bisa anak sekecil Sora tahu arti cemburu.
“Dari buku yang Sora baca. Tuan tikus cemburu dengan tuan kelinci.”
Raska kembali melajukan mobilnya setelah rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Kadang ia lupa Sora bisa berpikir lebih dewasa dari usianya dan juga bisa bersikap seperti anak-anak pada umumnya.
“Pa, kemarin di ulang tahun Dafa, teman-teman Sora bilang kalau mama itu seperti babu. Orang yang membantu mama mereka mengurus rumah. Tapi, mama bukan, kan, Pa?”
Raska berusaha tetap tenang meski ia cukup terkejut dengan pertanyaan Sora. Kadang ia heran, bagaimana bisa anak-anak bicara tidak sopan.
“Tentu saja bukan. Dia mama Sora,” ucap Raska tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang sedikit padat.
“Tapi kenapa Mama mengerjakan pekerjaan rumah sendiri? Membuatkan aku bekal, memasak, mencuci, menyiapkan makan dan semuanya? Kenapa Papa tidak mencari babu agar Mama tidak melakukan apapun selain menemaniku?”
Raska menghela napas berat. Sejak ada Sakura, ia memang tidak memanggil jasa bersih-bersih, ingin melihat apakah Sakura bisa mengerjakan semuanya atau tidak. Bukan hanya mengurus Sora tapi juga rumah.
“Sora, jangan menggunakan kata babu, itu tidak sopan. Itu adalah kata-kata yang kasar,” tutur Raska memberi wejangan pada sang putra pelan-pelan. Ia mungkin sulit bersabar dalam hal lain, tapi jika berhubungan dengan Sora, kesabarannya seluas samudra. “mengenai yang Sora inginkan tadi, Papa akan memikirkannya.”
Mendengar itu wajah Sora berbinar, senyumnya pun mengembang.
Cukup lama kemudian, mobil Raska memasuki area sekolah. Ia pun mengantar Sora sampai depan kelas.
“Da da, Pa,” ucap Sora sambil melambaikan tangan kemudian memasuki kelas dan duduk di kursinya. Melihat Sora telah duduk, Raska pun berbalik untuk kembali ke mobil. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan kelas Sora, seseorang berjalan cepat menghampiri
“Pak Raska.”
Raska menghentikan langkahnya dan menemukan Bu Salsa telah berdiri di sisi kanannya.
“Pak Raska baru mengantar Sora?”
Hanya gumaman tak jelas yang lolos dari mulut Raska. Ia tak berniat memperbanyak pembicaraan dengan guru anaknya itu, selain itu, ia harus segera ke kantor.
“Oh, ya, istri anda … tidak ikut? Maksudku, biasanya beliau yang mengantar Sora. Sejak Sora punya mama baru, dia menjadi lebih ceria. Dia juga selalu bersemangat saat menceritakan mama barunya.”
Raska hanya diam. Ia ingin segera pergi, tapi masih menghargai Bu Salsa.
Bu Salsa mulai canggung karena Raska tak mengatakan apapun, sama sekali tak menyambungi ucapannya. Padahal, ia ingin memperbanyak pembicaraan dengannya.
“Maaf, aku sudah terlambat,” ucap Raska seraya menunjuk jam tangannya. Ia kemudian mengambil langkah agar terbebas dari Bu Salsa.
“Hih! Kenapa susah sekali,” geram Bu Salsa setelah Raska menjauh. Ia heran, bagaimana bisa wanita biasa seperti Sakura bisa menarik perhatian Raska sementara, dirinya yang berusaha mati-matian, terus saja diabaikannya. Padahal, dirinya merasa lebih segalanya dari Sakura. Lebih cantik, lebih seksi, dan memiliki d**a lebih berisi.
“Awas saja, aku tidak akan menyerah,” gumam Bu Salsa. Ia seolah lupa seperti apa dirinya kemarin saat tertohok dengan ucapan Raska.
Singkat waktu, Sora pulang sekolah bersama Raska. Anak itu meminta sang papa menjemputnya meski Pak Rahmat bisa melakukannya.
“Mama, Sora pulang!” Suara Sora memenuhi ruang tamu saat ia baru saja masuk ke dalam rumah. Tak mendapati Sakura menyambut, ia mulai berpikir yang tidak-tidak.
“Pa, di mana mama?” tanya Sora.
“Mungkin di belakang,” jawab Raska. Ia kemudian berjalan menuju kamarnya untuk mencharger ponselnya yang telah habis baterai.
Sora tampak cemas. Ia teringat mimpinya semalam bahwa Sakura pergi meninggalkannya. Sambil terus memanggil ‘mama’ ia mencari Sakura di semua tempat di rumah. Sayangnya, ia tak menemukan Sakura di manapun.