10. Cemburu

1316 Kata
Ahs ….” Sakura meringis saat Raska mengobati lukanya menggunakan salep luka bakar. Sebelum bubur tumpah mengenai Sora, tangannya dengan cepat menahannya membuat tangannya nyaris melepuh karena bubur yang masih panas. “Tuan, di mana Sora?” tanya Sakura setelah Raska selesai mengobati tangannya. Setelah melihat tangannya terluka, tiba-tiba Sora pergi dan sampai sekarang belum kembali. Raska hanya diam di mana pandangannya tertuju pada tangan Sakura yang masih merah. Tanpa mengatakan apapun ia lalu berbalik dan pergi dari ruangan. Sakura menatap kepergian Raska dengan pandangan sulit diartikan dan saat pintu kamar tertutup membuatnya tak bisa lagi melihatnya, senyum getirnya tercipta. Ia merasa Raska seperti marah padanya, tapi kenapa? Padahal dirinya berhasil melindungi Sora. Jika saja bubur panas itu mengenai Sora, pantas jika Raska marah padanya. Di luar, Raska berjalan menuju kamar Sora. Sesampainya di sana ia menemukan Sora berbaring meringkuk sambil memeluk boneka kesayangannya. Raska menatap Sora yang meringkuk membelakanginya. Ia yang menghentikan sejenak langkahnya di ambang pintu, melanjutkan langkahnya hingga berhenti di sisi ranjang di depan Sora. Ia lalu duduk di tepi ranjang dan mengusap kepala Sora yang menyembunyikan wajahnya pada boneka kesayangannya. Raska tersentak saat Sora tiba-tiba bangun dan memeluknya. Memeluk lehernya sangat erat dan tak mau melepasnya. Raska menepuk pelan dan mengusap punggung Sora. Ia lalu mengatakan, “Mama baik-baik saja.” Sora hanya diam dan tetap memeluk leher Raska. Namun, perlahan pelukan tangannya sedikit mengendur. “Apa mama akan membenci Sora?” tanya Sora dengan suara kecil sampai-sampai Raska nyaris tak mendengar ditambah dengan posisi Sora yang membenamkan wajahnya di bahunya. Raska kembali mengusap lembut punggung Sora. “Tidak, mama tidak akan marah.” Sora mulai mengangkat kepala membuat wajahnya yang kusut terlihat oleh pandangan sang ayah. “Ta- tapi, tapi gara-gara Sora mama tenggelam. Gara-gara Sora tangan mama terluka. Bagaimana kalau mama tidak mau jadi mamaku lagi, Pa?” Dada Raska gemetar melihat mata Sora yang merah dan sembab juga mendengarnya menahan sesenggukan. Sesayang itukah Sora pada Sakura sampai-sampai begitu takut Sakura tak mau lagi menjadi mamanya? “Mantra apa yang sudah dia berikan pada anakku?” batin Raska Raska mengusap air mata Sora yang membasahi pipi sambil mengatakan, “Tidak. Mama akan tetap jadi mama Sora. Mau menemui mama dan meminta maaf?” Sora mengangguk pelan. Sebelumnya, ia pergi karena merasa takut dan bersalah. Ia merasa telah menjadi anak nakal karena telah membuat mama barunya terluka sampai 2 kali. Tak menunggu waktu, Raska menggendong Sora menuju kamarnya di mana Sakura beristirahat. Sesampainya di sana, Sora disambut wajah kelegaan yang terpancar di wajah Sakura. “Sora, dari mana saja?” tanya Sakura saat Raska berjalan ke arahnya dengan Sora dalam gendongan. Raska menurunkan Sora dari gendongan, mendudukannya ke kursi di sisi ranjang kemudian berdiri di belakangnya. Sora menatap Sakura dengan mata basah, raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang teramat. “Maaf, Ma,” ucap Sora dengan suara bergetar. Tangan Sakura terulur mengusap jejak air mata Sora. “Tidak perlu minta maaf, Sora. Bukan salahmu. Tangan mama baik-baik saja,” ucapnya. Sora menggenggam tangan Sakura dan membiarkannya tetap menangkup pipinya. “Apakah tangan mama masih sakit?” Sakura mengangkat tangan kanannya yang terluka dan menunjukkannya pada Sora. “Akan segera sembuh. Papa sudah mengobatinya,” jawabnya sambil melirik Raska sekilas yang berdiri di belakang Sora. Tanpa Sakura sadari, sedari tadi Raska terus memperhatikannya. Memperhatikannya yang begitu lembut memperlakukan Sora. Dirinya sampai berpikir apakah Sakura berbohong dengan statusnya? Mengatakan masih single, tapi tampak begitu keibuan menghadapi anak-anak. Cukup lama kemudian, Sora tertidur di pangkuan Sakura. Setelah meminta maaf, ia bermanja pada Sakura sampai akhirnya ketiduran. Melihat itu, Raska merangkak ke ranjang untuk membenarkan posisi tidur Sora yang menggunakan paha Sakura sebagai bantal. “Anda sangat beruntung memiliki anak sebaik Sora,” ucap Sakura setelah Raska menidurkan Sora dengan posisi yang lebih nyaman. Dirinya tak bisa tak memuji Sora setelah apa yang terjadi, bagaimana Sora begitu merasa bersalah atas apa yang menimpanya. Raska hanya diam tanpa melepas pandangan dari Sora. Namun, perhatiannya beralih sejenak pada Sakura saat mengatakan. “Ya. Dan kau sangat beruntung dia begitu menyukaimu.” Sakura menatap Raska tanpa berkedip. Entah kenapa apa yang Raska katakan terdengar seperti kalimat sarkas di telinga. Raska turun dari ranjang dan melangkah meninggalkan kamar. Meski ada beberapa hal yang ia katakan pada Sakura, tapi ia memilih menahannya. Keesokan harinya, Sakura bangun di waktu yang masih pagi. Sebelum turun dari ranjang diperhatikannya Sora yang masih tidur terlelap lalu mengedarkan pandangan dan tak menemukan Raska, padahal semalam Raska tidur di sebelh Sora, satu ranjang dengannya. Tadi alam Sora merengek, meminta agar bisa tidur dengan mereka berdua. Sakura memejamkan mata sejenak, kemudian segera turun dari ranjang dan berjalan sambil memikirkan sang tuan menuju dapur untuk membuat sarapan. “Wajar saja jika tuan pergi. Dia tentu tak mau tidur dengan orang sepertiku,” batin Sakura dengan senyum kecut di bibir. Sesampainya di dapur Sakura segera melakukan tugasnya, memasak untuk sarapan juga membuatkan bekal untuk Sora bawa ke sekolah. Tak lama kemudian, aroma lezat mulai tercium dari dapur. Sakura membuat omurice untuk menu sarapan kali ini. Pernah bekerja di restoran membuatnya mengetahui beberapa menu juga caranya memasak meski belum seahli chef profesional. Sesekali Sakura mengibaskan tangannya yang perih karena luka kemarin. Meski kesulitan dengan keadaan tangannya, tapi ia bisa menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Ia juga berniat membersihkan rumah setelah tugasnya di dapur selesai. “Akhirnya selesai,” ucap Sakura setelah membersihkan tepi piring omurice yang terdapat sedikit minyak. Sakura berdiri di depan meja makan dengan tangan berkecak, memperhatikan meja yang telah siap dengan menu sarapan kemudian menoleh pada kabinet dapur yang bersih hingga tampak berkilauan. Meski sedikit kepayahan karena kondisi tangannya, tapi dirinya merasa puas telah mengerjakan tugasnya. Tanpa Sakura sadari, Raska memperhatikannya sedari tadi. Memperhatikannya sejak dirinya mulai memasuki dapur. Pria itu tak bosan memperhatikan Sakura sangat lama seperti mengamati Sakura layaknya objek yang harus diteliti. Dan melihat Sakura membuka celemek sebagai tanda berakhirnya kegiatannya di dapur, ia pun menunjukkan batang hidungnya yang sedari tadi tersembunyi di balik dinding. Jantung Sakura berdebar merasakan kehadiran seseorang yang tiba-tiba. Ia pun menoleh ke belakang dan menemukan Raska berjalan ke arahnya di mana sorot mata pria itu tertuju lurus padanya. Sakura segera menundukan kepala merasa tataan Raska semakin tajam. Ia pun mulai gugup karenanya. “Se- selamat pagi, Tu- Tuan. Saya … sudah menyiapkan sarapan. Saya … akan membangunkan Sora sekarang.” Setelah mengatakan itu, Sakura mengambil langkah, berjalan melewati Raska. Namun, ia terkejut saat Raska menahan tangannya. “Mantra apa yang kau berikan pada anakku?” tanya Raska di mana pandangannya tetap lurus ke depan. Sakura menatap Raska dari posisinya dengan pandangan tak terbaca. Apa yang Raska katakan mengingatkannya pada ucapan Rose dan Malika hari itu. Apakah Raska juga menuduhnya menggunakan sesuatu? Raska menoleh membuat pandangannya dan Sakura bertemu. Namun, pandangannya terasa begitu dingin hingga membuat Sakura merinding. “Baru beberapa hari, tapi kau berhasil membuat Sora bertekuk lutut padamu. Mantra apa yang kau berikan padanya?” Raska mengulang kembali pertanyaan yang sama menandakan dirinya amat penasaran bagaimana bisa Sora begitu menyayangi Sakura dan membuatnya cemburu. Ya, dia cemburu melihat anaknya mencintai Sakura seperti ibu kandung. Begitu takut kehilangannya, takut telah membuatnya terluka dan begitu perhatian. Sakura menarik tangannya saat Raska melepaskannya. Dengan kepala setengah menunduk menghindari tatapan Raska ia mengatakan, “Saya tidak tahu maksud anda. Saya hanya melakukan tugas, menjadi seorang ibu untuknya. Meski saya sama sekali tidak memiliki pengalaman, saya berusaha sebaik mungkin memenuhi tugas yang anda berikan. Anda sudah memberiku kesempatan, dan saya benar-benar sedang membutuhkan uang.” Suasana berada dalam keheningan setelah Sakura selesai bicara. Hanya itu jawaban yang bisa ia berikan sebab dirinya sama sekali tak memiliki mantra seperti yang Raska tuduhkan. Satu-satunya mantra yang ia punya adalah doa. Dirinya selalu berdoa agar Sang Pencipta memberinya kemudahan dalam bekerja, bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibunya dan menjadi manusia yang berguna. Raska dan Sakura tiba-tiba tersentak saat samar-samar mendengar suara tangisan. Suara tangisan Sora yang membuat keduanya berlari meninggalkan dapur untuk melihat apa yang terjadi padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN