Kedua tangan itu bekerja sama melakukan CPR sebagai langkah pertama menyelamatkan Sakura. Sesekali ia juga memberikan napas buatan hingga akhirnya Sakura memuntahkan air yang tertelan.
“Mama! Mama!” Sora menangis dan hanya bisa memanggil ‘mama’ melihat Sakura terbatuk hingga memuntahkan air dari mulut. Sementara, semua orang hanya bisa melihat tanpa melakukan apapun.
Setelah Sakura berhenti memuntahkan air, Raska segera mengangkat tubuhnya dan menyuruh Sora mengikuti di belakangnya. Namun, sebelum benar-benar pergi pandangannya mengarah pada Rose dan Malika. “Jika terjadi sesuatu padanya, kalian yang akan bertanggung jawab.”
Tubuh Rose dan Malika menegang dengan jantung seakan mau copot melihat bagaimana Raska menatap mereka, juga mendengar dinginnya suara Raska. Bukan hanya keduanya, para orang tua dari anak-anak yang menghadiri ulang tahun juga bergidik ngeri.
Diikuti Sora, Raska berjalan cepat membawa Sakura menuju mobilnya. Memasukkan Sakura ke mobil dan segera tancap gas menuju rumah sakit tak peduli tubuhnya basah kuyup.
***
Sakura membuka mata perlahan saat samar-samar mendengar suara tangisan. Sejak melihat keadaannya, Sora terus saja menangis. Bahkan meski Raska telah membujuknya untuk diam, isakan bocah itu masih saja terdengar.
“Mama … bangun, Ma.”
Sakura menoleh dan menemukan Sora merebahkan kepala di tepi ranjang, di atas tangannya. Ia pun bisa merasakan tangannya basah.
“So- Sora.”
Sora mengangkat kepala dan melihat Sakura menatapnya membuatnya kian menangis kencang.
“Mama! Akhirnya mama bangun. Maafkan Sora, Ma.”
Sakura berusaha mengangkat tangannya yang lemas dan mengusap kepala Sora. “Kenapa Sora minta maaf?”
Sakura mendesis saat merasakan tenggorokannya sakit saat bicara. Suaranya juga serak dan pelan. Ia pun ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Ia hampir mati tenggelam.
“Sora. Biarkan mama istirahat dulu.”
Sakura terkejut saat mendapati Raska. Pria itu mengangkat tubuh Sora untuk dipangkunya.
“Anda … anda di sini?” tanya Sakura seolah tak percaya melihat Raska di depannya. Ia pun bertanya-tanya, apa Raska yang sudah menolongnya? Tapi, sepertinya itu tidak mungkin. Namun, kenapa samar-samar ia seperti melihat wajah Raska sebelumnya?
“Jangan banyak bicara. Dokter mengatakan kau harus beristirahat,” kata Raska kemudian bangkit dari duduknya sambil menggendong Sora.
Sakura hanya diam sambil terus menatap punggung Raska yang membawa Sora keluar dari ruangan. Ke mana pria itu akan pergi?
Sakura mengalihkan pandangan saat Raska menghilang di balik pintu. Ia menatap langit ruangan dalam diam dan tenggelam dalam pikiran. Memejamkan mata sejenak, pikirannya mulai berkecamuk hingga tetes demi tetes air mata pun timbul. Ia begitu bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Jika sampai ia mati, siapa yang akan membiayai pengobatan ibunya nantai? Jika sampai ia mati, apakah Sora akan bersedih? Meski baru hitungan hari bersama Sora, ia sudah menganggap sore seperti adik sendiri.
Tak lama kemudian, Raska kembali memasuki ruangan dengan Sora yang telah terlelap dalam gendongan. Direbahkannya Sora dengan hati-hati ke sofa kemudian menghampiri Sakura, duduk di kursi di sisi ranjang.
Sakura menatap Sora yang terlihat pulas dengan matanya yang sembab kemudian menatap Raska.
“Anda … yang sudah membawaku ke sini? Terima kasih.”
“Dokter bilang kau cukup banyak menelan air. Tenggorokanmu mungkin mengalami peradangan dan iritasi. Jadi jangan banyak bicara.”
Mulut Sakura seketika terkatup rapat. Tenggorokannya memang terasa sakit saat ia bicara, tapi tak mungkin dirinya hanya diam, bukan? Selain itu, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Seperti robot yang mematuhi perintah sang tuan, Sakura tak lagi mengucap sepatah kata meski ia ingin. Ia hanya diam, begitu juga Raska yang membuat suasana ruangan begitu hening.
Raska bangkit dari duduknya kemudian duduk di sofa menemani Sora yang terlelap. Dipandanginya Sora kemudian menyapu pelan poni yang menutupi jidat. Ia sampai di rumah tepat setelah Sakura dan Sora berangkat ke rumah Dafa. Sambil menunggu keduanya pulang dan memberi Sora kejutan, ia melihat-lihat seisi rumah, mengecek apakah ada barang yang hilang atau tidak. Apakah ada bagian rumah yang terbengkalai atau tidak, tapi ia tak menemukannya. Seluruh rumah bersih, tidak ada cucian dan piring menumpuk. Di halaman pun tak ada satupun daun, padahal ia tidak memanggil jasa bersih-bersih, sengaja ingin melihat kinerja Sakura dan sepertinya, Sakura melakukan pekerjaannya dengan baik.
Raska memejamkan mata sejenak saat kembali teringat kejadian sebelumnya. Ia hendak beristirahat sampai mendapat telepon dari sopir setianya. Sopirnya yang bernama Rahmat mengatakan, bahwa sepertinya telah terjadi perselisihan antara Sakura dengan ibu dari teman Sora. Mendengar itu, Raska memutuskan pergi menyusul, khawatir jika terjadi sesuatu. Meski tak begitu mengerti perselisihan apa yang terjadi, firasatnya seakan bisa menebak akan terjadi hal buruk pada Sakura. Entah mendapat cacian, hinaan, atau dikerjai. Bukan semata mengkhawatirkan Sakura, tapi ia juga mengkhawatirkan Sora. Dan ternyata, benar saja, firasatnya benar bahwa Sakura menjadi bahan bully ibu teman-teman anaknya bahkan jika dirinya datang terlambat, mungkin Sakura sudah tak bernyawa.
Drt ….
Raska tersentak merasakan ponselnya dalam saku bergetar. Mengambil benda pilih itu, diangkatnya panggilan.
“Ha- halo, Papanya Sora. Ini … ini saya. Saya ingin bertanya, ke mana anda membawa ba– ah, maksudku, mamanya Sora? Saya ingin melihat keadaannya. Apakah dia baik-baik saja?”
Raska melirik ponsel yang menempel di telinga dan menebak orang itu adalah Rose atau Malika. Entahlah, dirinya tak pernah menyimpan nomor orang tua dari teman-teman anaknya.
“Dia kritis. Jadi persiapkan diri di pengadilan nanti.”
“A- apa?! Ta- tapi–”
Raska segera mengakhiri panggilan tak berniat mendengar apapun dari Rose. Bahkan meski Rose kembali menghubunginya, dan mengirim banyak pesan saat ia mengabaikan panggilannya, dirinya sama sekali tak peduli. Bukan berniat membesarkan masalah, tapi apa yang Rose dan Malika lakukan sudah menyangkut nyawa seseorang. Jika Sakura sampai mati, dirinya juga harus bertanggung jawab karena Sakura bekerja padanya bahkan berstatus istri di bawah tangan.
Di hari berikutnya, Sakura telah diperbolehkan pulang. Wajah Sora yang kemarin mendung dan sendu, kini mulai kembali cerah.
“Mama harus istirahat. Mama tidak boleh melakukan apapun,” tutur Sora seperti orang dewasa saat Sakura baru saja tiba di rumah.
Sakura hanya mengangguk tanpa bisa menyembunyikan senyum. Ia benar-benar bersyukur mengasuh anak sebaik Sora.
“Papa. Ayo buatkan bubur buat mama. Dokter bilang mama harus makan makanan yang lembut, kan,” ucap Sora pada sang Papa.
“Biar papa buatkan, Sora di sini menemani mama sambil istirahat, ya,” ujar Raska.
Sora menggeleng sambil menggoyangkan jari telunjuk yang terangkat. “Mama selalu membuatkan makanan untuk Sora, jadi sekarang giliran Sora yang menjaga makanan untuk Mama.”
“A … Tuan, tidak perlu. Anda tidak–” Suara Sakura terhenti sebelum ia selesai bicara saat mendapat pelototan dari Raska. Niatnya tak ingin merepotkan sang majikan dengan membuatkannya makanan, tapi ia lupa dirinya tak seharusnya memanggil ‘Tuan’ di depan Sora.
Alis Sora mengernyit. “Kenapa Mama panggil–”
“Baik lah. Sora boleh membuat bubur untuk mama tapi harus hati-hati. Papa temani.”
Sebelum Sora selesai bicara, Raska segera menyela guna mengalihkan pembicaraan.
Mendengar itu, wajah Sora kembali cerah. Ia berseru senang sambil berlari menuju dapur.
“Jaga ucapanmu,” kata Raska kemudian berbalik untuk menyusul Sora.
Sakura terdiam, senyum kecutnya pun tercipta. Ia bingung bagaimana harus memanggil Raska jika bukan tuan. Tak mungkin ia memanggil namanya, bukan?
Cukup lama kemudian, Sora dan Raska memasuki kamar di mana Sora membawa nampan berisi bubur panas. Melihat itu, Sakura yang sedang berbaring seketika bangun menegakkan punggungnya.
“Sora, hati-hati,” ucap Sakura penuh rasa khawatir melihat bocah berusia 5 tahun itu membawa nampan. Ia tak mengerti kenal Raska membiarkannya. Itu sangat berbahaya. Bagaimana jika Sora jatuh dan bubur panasnya mengenainya?
Sebenarnya, Raska sudah melarang sang putra, tapi putranya itu bersikeras ingin melayani sang mama dengan tangannya sendiri.
“Tenang, Ma. Sora bisa,” kata Sora kemudian meletakkan nampan di ranjang dekat Sakura. “Mama makan sekarang? Sora suapi, ya?”
Raska hanya diam berdiri di belakang Sora. Ada rasa jengkel melihat Sora begitu perhatian pada Sakura. Padahal, Sakura bersamanya belum lama tapi Sora terlalu berlebihan memberinya perhatian seperti seorang ibu kandung.
“Masih panas, Sora. Biar sedikit dingin dulu, ya,” ujar Sakura. Ia hanya tak ingin semakin merepotkan Sora.
“Oh, begitu. Baik lah, Ma.” Sora mengangkat kembali nampan berniat meletakkannya ke atas nakas samping tempat tidur. Namun, saat hendak meletakkannya tanpa sengaja nampan terbentur tepi nakas membuat mangkuk bubur panas di atasnya akan tumpah menimpa kepala Sora.
“Sora!”