8. Babu

1424 Kata
Sesampainya di dalam rumah, keinginan Sakura untuk pergi semakin besar saat perhatian semua orang tertuju padanya juga karena melihat penampilan semua orang. Dirinya menjadi satu-satunya orang di sana yang memakai outfit ala kadarnya. “Selamat datang. Kau pasti … pengasuh barunya Sora?” Seorang wanita menyambut Sakura. Wanita itu merupakan ibu dari pemilik acara, sang tuan rumah. “Se- selamat siang.” Hanya kalimat itu yang dapat Sakura ucapkan, itu pun dengan suara bergetar. “Ya ampun, kau kelihatan masih muda,” ujar Wanda, nama wanita itu. Tiba-tiba seseorang mendekati Wanda dan berbisik di telinga. Dan orang itu adalah Malika. Namun, meski berbisik, Sakura masih bisa mendengarnya cukup jelas. “Hish, dia itu mama barunya Sora, bukan pengasuhnya.” “Eh?” Wanda menutup mulutnya dengan ujung jari, seakan terkejut dengan apa yang ia dengar. Ia lalu memperhatikan Sakura dari ujung kepala hingga kaki. “apa kau serius?” tanyanya. “Entah lah, tanya sendiri padanya. Tapi kemarin dia mengaku kalau dia itu mama baru Sora,” bisik Malika sambil melirik Sakura lewat ekor mata. Tangan Sakura mulai berkeringat dingin. Ia merasa seperti seekor kelinci yang berada di kandang para singa terlebih menyadari semua orang terus saja melihat ke arahnya. “Ya ampun, maafkan aku. Kudengar, kau mama barunya Sora? Tapi aku justru mengira kau pengasuh barunya,” ucap Wanda dengan ekspresi bersalah dibuat-buat. Sakura hanya menganggukkan kepala, seakan memaklumi itu. “Ya sudah, mari berkumpul dengan yang lain. Sebentar lagi acara juga dimulai,” ajak Wanda. Sakura kembali hanya mengangguk dan mengikuti Wanda yang seolah menuntun langkahnya, mengabaikan Malika yang menatapnya sinis. Di sisi lain, Sora tengah bicara dengan teman-temannya. Dengan bangga ia mengatakan pada teman-temannya bahwa ia memiliki mama baru. “Sekarang aku punya mama seperti kalian,” ucap Sora bangga. “dia sangat baik, mamaku sangat cantik.” “Tapi dia tidak lebih cantik dari mama,” sahut teman Sora sambil menunjuk ke arah Sakura yang berdiri menyendiri di antara ibu-ibu lain. “Benar. Mama Sora justru seperti bibi di rumahku,” celetuk teman Sora lainnya. Sora mengarah pandangan pada Sakura dan berpikir, menurutnya tidak ada yang salah dengannya. Mungkin karena begitu menginginkan sosok mama membuatnya menerima Sakura apa adanya. “Tapi mama masih muda. Bukankah bibi di rumahmu sudah tua?” kata Sora pada temannya yang bernama Divon. “Tidak. Bibi di rumahku masih muda seperti mamamu. Mamaku bilang, tugas bibi untuk menemaniku jika mama dan papa pergi,” jawab bocah itu. Tiba-tiba seorang anak datang dan bergabung dengan Sora juga teman lainnya. “Hei, tadi aku dengar mamaku bilang mamanya Sora itu babu,” ucap bocah itu yang merupakan anak Malika. “Babu? Babu itu apa?” sahut Putri, teman Sora yang di kelas duduk di sebelahnya. “Babu? Mama bilang bibi itu babu.” “Kalau aku sering dengar, mama bilang pembantu di rumahku itu babu.” “Jadi, mamanya Sora babu?” Sora melihat teman-temannya yang mulai bicara satu sama lain, menyahut satu sama lain. Dari semua itu, dirinya menyimpulkan bahwa babu adalah orang yang bertugas mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak-anak dan menjadi pesuruh yang harus melakukan apa saja sesuai perintah. “Tidak. Itu semua tidak benar. Mama itu mamaku, bukan babu!” kata Sora saat teman-temannya semakin banyak bicara mengenai mamanya. “Apa mamamu membersihkan rumah? Mencuci piring? Memasak? Membantumu melakukan semuanya? Jika benar, mamamu memang babu. Soalnya mama tidak pernah begitu, dia selalu menyuruh bibi melakukan semua itu.” “Iya benar. Mamaku juga tidak pernah melakukan apapun di rumah.” “Ya. Mamaku juga selalu bekerja dan menyuruh bibi menjagaku.” Sora tak bisa menjawab sebab, Sakura memang melakukan semuanya. Mulai dari menyiapkan makanan untuknya, mengurus keperluannya, membersihkan rumah juga. “Anak-anak, acara akan dimulai. Ayo ke depan.” Wanda menghampiri Sora dan teman-temannya, mengajaknya ke depan menemani putranya. Saat anak-anak itu pergi, Sora masih berdiri di tempat seperti masih memikirkan ucapan teman-temannya barusan. Tak lama, lantunan nyanyian ulang tahun memenuhi ruangan, bersahutan dengan suara tepuk tangan dari anak-anak dan ibu-ibu mereka yang ikut melebur dalam suasana sukacita. Setelah selesai, acara dilanjutkan dengan sesi potong kue. Setelah semua anak mendapatkan potongan kue, acara dilanjutkan dengan membuka kado. Entah sengaja atau bukan, tapi Wanda menyuruh sang putra membuka kado di depan teman-temannya, membandingkan hadiah siapa yang paling bagus dan mewah. “Wah, satu set mainan Gundam dari Putri. Terima kasih, Putri!” seru Dafa. Ia lalu kembali membuka hadiah lainnya dibantu sang mama. “Dafa, coba buka kadomu yang itu. Yang paling kecil. Tante penasaran, apa isinya,” ucap Rose sambil menunjuk kado dari Sora. Dafa mengambil arah tunjuk Rose dan segera membukanya. “Wah, pinguin. Terima kasih, Sora!” seru Dafa setelah membuka hadiahnya. Dipeluknya botol minum bentuk pinguin dari Sora seperti sangat menyukainya. “Ya ampun, masa hadiah botol minum. Memalukan sekali.” “Apa dia tidak pernah memberi kado? Hanya botol minum?” “Harganya hanya ratusan ribu. Dia pelit sekali. Aku yakin babu itu yang menyuruh Sora memberi hadiah murahan seperti itu.” Sakura terus menundukkan kepala saat suara-suara yang menyakitkan terdengar oleh telinga. Ia sampai menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangisan. Sora yang sebelumnya berbaur dengan teman-temannya, mendekati Sakura melihatnya hanya menundukkan kepala. “Mama, Mama kenapa?” tanya bocah itu dengan wajah polosnya. Dirinya tidak terlalu mendengar apa yang para orang tua bicarakan. Selain itu, Dafa juga tampak senang mendapat hadiah itu darinya. “Ti- tidak apa-apa, Sora. Mama kelilipan,” ucap Sakura sambil menyeka setitik air mata di ujung matanya. “Ada apa? Apa kau butuh ke kamar mandi?” tanya Malika saat mendekati Sakura. “Ya, sepertinya dia membutuhkannya,” sahut Rose yang tiba-tiba menarik tangan Sakura. “Sora, Tante akan mengantar mamamu ke kamar mandi. Sora di sini, ya.” Sora yang tak menyadari apa-apa hanya mengangguk, kemudian Wanda menuntunnya untuk kembali bergabung dengan anak-anak lainnya. “Ma- maaf, tapi aku tidak.” Sakura berusaha menahan kakinya. Perasannya tidak enak jika harus mengikuti Rose juga Malika. “Jangan takut, kami tidak akan melakukan apapun. Kenapa wajahmu ketakutan begitu?” Malika dan Rose terus menyeret Sakura sampai akhirnya sampai di halaman belakang rumah di mana terdapat kolam renang besar. Sejak awal mereka sengaja, tak berniat membawa Sakura ke kamar mandi. “Ke- kenapa kita ke sini?” tanya Sakura dengan suara bergetar. “Hanya ingin bersenang-senang,“ kata Malika sambil terus memegangi tangan Sakura. “Katakan pada kami, kau hanya mengaku jadi mama barunya Sora. Akan kubuka kedokmu pada ayah Sora agar kau dipecat saat ini juga.” Rose mencerahkan kuat tangan Sakura, memaksanya bicara. Ia masih tak percaya bahwa Sakura sudah menikah dengan Raska. “Kau kira kami percaya pria setampan ayah Sora menjadikanmu istrinya? Hanya orang bodoh yang percaya. Sekarang, akui saja kalau kau hanya berbohong. Atau, jika kalian benar punya hubungan, katakan kau menggunakan ilmu hitam untuk menggaet papanya Sora,” tekan Rose. “Le- lepas. Lepaskan.” Sakura tak ingin menjawab. Ia terus berusaha melepaskan tangannya yang ditahan oleh Rose dan Malika. “Ya ampun! Mengaku saja apa susahnya!” geram Rose yang sudah menyiapkan kamera untuk merekam saat Sakura mengaku. “Aku tidak menggunakan apapun!” tegas Sakura sambil terus meronta. Mendengar itu, Rose dan Malika begitu geram. Mereka pun dengan sengaja mendorong Sakura ke kolam renang. Byur! “Hah, rasakan itu. Dasar babu tak tahu diri,” ucap Rose melihat Sakura tercebur ke kolam. “To- tolong! Tolong!” Sakura berteriak meminta pertolongan. Ia tak bisa berenang. Namun, alih-alih bersimpati, Rose dan Malika justru menertawakannya. Rose juga merekamnya seperti kameramen profesional. “To- tolong! Tolong! Tolong aku!” Sakura terus berteriak meski membuatnya menelan air. Ia harap ada orang lain yang menemukannya dan segera menolongnya melihat Rose dan Malika sama sekali tak berniat melakukan itu. Akan tetapi, hingga dirinya lelah, ia tak melihat siapapun yang datang. “Apakah ini akhirnya? Apakah aku akan mati seperti ini?” Tangan dan kaki Sakura yang sebelumnya aktif bergerak, berusaha berenang meski ia tak bisa, perlahan kehilangan kekuatannya. Dirinya pun sudah menelan air terlalu banyak membuatnya perlahan kehilangan kesadaran. “Hei, celaka. Dia tenggelam!” Melihat tubuh Sakura yang perlahan tenggelam membuat Rose dan Malika panik. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Cepat selamatkan dia!” kata Malika menyuruh Rose segera menyelamatkan Sakura. “Kau gila? Aku tidak bisa berenang!” “Hah?!” Malika menatap Rose tak percaya. “Aku baru masuk kelas renang kemarin. Aku belum mahir. Kau, kau saja yang selamatkan dia!” suruh Rose sambil mendorong Malika. Byur! Saat dua orang itu saling melempar tanggung jawab, seseorang menceburkan diri ke kolam, berenang ke dalam dan menarik tangan Sakura yang tubuhnya hampir menyentuh dasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN