7. Membeli Hadiah

1004 Kata
Tangan Sakura gemetar, terlebih saat membaca pesan dari sang majikan. “Setengah dari gajimu. Sisanya belikan Sora sesuatu untuk hadiah.” Sakura bergeming, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setengah dari gaji? Tapi yang Raska kirim terlalu banyak. Harusnya gajinya kurang lebih 3 juta, tapi uang yang Raska kirim sebanyak 5 juta. Tak ingin terjadi kesalahpahaman, Sakura segera mengirim pesan pada Raska. Me : Tuan, bukankah itu terlalu banyak? Anda bilang setengah gajiku, tapi nilainya satu bulan gajiku. Tuan Raska : Sudah kukatakan, aku membayarmu 2 kali lipat karena menjadi mama baru untuk Sora. Mulut Sakura terkatup rapat. Ia pikir Raska tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu. Me : Hadiah apa yang harus saya belikan untuk kado? Tuan Raska : Terserah. Satu kata balasan dari Raska membuat Sakura tak berniat lagi bertanya. Tapi, dirinya benar-benar tidak tahu hadiah apa yang ia berikan sebagai kado. Ia hanya khawatir jika salah memberi kado dan membuat Sora ditertawakan atau bahkan dipermalukan. “Sora mau beri kado apa?” Sakura bertanya pada Sora, berpikir mungkin Sora ingin menentukan sendiri hadiah yang akan ia berikan. “Bagaimana kalau botol minum?” Sakura tampak berpikir kemudian memutuskan bertanya pada Pak sopir. “Bagaimana menurut Bapak?” Sopir pribadi Raska melirik Sakura lewat spion tengah kemudian menjawab, “Saya rasa itu bagus.” Mendengar itu tak membuat Sakura mengambil keputusan. Ia berpikir, bukahkan botol minum terlalu murah? Melihat orang-orang di lingkungan sekolah Sora seperti berasal dari keluarga menengah ke atas. Tak lama kemudian, Sakura dan Sora telah sampai di pusat perbelanjaan. Sora begitu aktif, menyeret tangan Sakura menuju toko yang pernah ia kunjungi dengan sang ayah. Toko resmi merek botol minuman terkenal. Saat memasuki toko dan melihat-lihat, Sakura terkejut melihat harga yang tertera. Hampir semuanya menyentuh angka 500 ribu. Itupun hanya ukuran 460 ml. “Ma, bagaimana kalau yang itu? Bentuk pinguin. Dafa suka pinguin.” Perhatian Sakura tertuju pada arah tunjuk tangan Sora. Diambilnya botol minuman itu dan melihat harganya. “Li- lima ratus ribu?” batinnya. “tunggu sebentar, ya, Sora. Mama akan tanya pada papamu.” Sora mengangguk. Ia lalu kembali melihat-lihat sembari menunggu Sakura menelpon sang ayah. Di tempat Raska, untuk kesekian kalinya perhatiannya terganggu. Tapi, melihat nomor Sakura yang tertera pada layar, ia pun mengangkat panggilan. “Maaf mengganggu anda, Tuan. Sora … ingin membeli botol minuman sebagai kado. Bagaimana menurut anda?” Raska memijit pangkal hidungnya. “Terserah.” “Ha- harganya lima ratus ribu.” Kepala Raska terasa berdenyut. Ia sudah pusing memikirkan pekerjaannya, dan harus bertambah pusing menghadapi Sakura. “Terserah. Beli saja apa yang Sora inginkan. Jika uangnya kurang, katakan saja padaku.” Setelah mengatakan itu Raska mengakhiri panggilan. Diletakkannya ponselnya ke meja dengan sedikit kasar dan melanjutkan pekerjaan. Waktu terus berjalan hingga tak terasa hari ulang tahun teman Sora pun tiba. “Wah, Sora tampan sekali.” Sakura memuji Sora setelah selesai membantunya bersiap. Sora memakai tuxedo lengan pendek warna putih navy. Dengan bantuan gel rambut, rambutnya yang sedikit tebal tertata dengan rapi. Sakura tak berhenti mengagumi Sora. Wajah tampannya membuat penampilannya begitu sempurna. “Sekarang giliran Mama yang bersiap.” Sakura tersentak, ia hampir lupa. Sora mengajaknya untuk ikut serta. “Ah, ya, baik lah. Tunggu mama, ya,” ucap Sakura kemudian meninggalkan kamar Sora. Sakura bergegas ke kamarnya dan segera mengganti pakaian. Ia memakai kemeja hijau polos, dipadukan dengan rok panjang. Rambut sebahunya ia biarkan tergerai, hanya memberi pemanis jepit rambut di bagian kanan poni menyampingnya. Sakura menarik napas panjang dan mengembuskannya lewat mulut setelah ia selesai bersiap. Ia tidak pernah menghadiri acara ulang tahun anak-anak sebelumnya, dan berpikir, acara itu mungkin akan seperti acara ulang tahun anak di luar sana. Akan ada banyak anak ditemani ibu-ibu mereka yang ikut serta. “Kau adalah mama barunya Sora, jangan membuatnya malu,” monolog Sakura pada diri sendiri. Setelah merasa penampilannya sempurna, Sakura meninggalkan kamar, menyusul Sora dan mengajaknya berangkat. Hampir setengah jam kemudian, mobil yang Sakura dan Sora kendarai sampai di depan sebuah rumah besar. Sakura menatap rumah di depannya dalam diam setelah ia dan Sora turun dari mobil. Ia merasa takjub sekaligus terkejut karena rumah yang ia datangi begitu besar. Din! Din! Sakura terjingkat saat klakson mobil terdengar. Ia pun segera menepi sambil menggenggam tangan Sora. Padahal halaman masih luas, tempat Sakura dan Sora berdiri harusnya sama sekali tak mengganggu jalan mobil yang baru saja tiba. Tiba-tiba genggamannya pada tangan Sora terlepas saat Sora menarik tangannya dan berlari menyusul temannya yang baru saja tiba. “So- Sora ….” Suara Sakura menghilang saat pandangannya menangkap sosok seorang wanita yang baru saja turun dari mobil. Orang itu adalah Rose, wanita yang terlibat perselisihan kecil dengannya kemarin. Sakura meremas tali tas selempangnya saat Rose menoleh padanya. Remasan tangannya pun semakin kuat saat melihat wanita itu menyeringai ke arahnya lalu menghampiri. “Wah, wah, tak kusangka kita bertemu lagi. Padahal kupikir, kau sudah dipecat karena tak melihatmu lagi kemarin,” ujar Rose setelah berdiri di depan Sakura. Sakura tampak ragu menjawab, ia tampak gugup. Kemarin ia sengaja mengantar dan menjemput Sora di depan gerbang, bukan menjemputnya ke kelas seperti hari sebelumnya. Semua itu untuk menghindari Rose, Malika dan orang-orang seperti mereka. “Oh, ya ampun. Apa kau tidak punya pakaian yang lebih bagus? Meski ini acara anak-anak, tapi harusnya kau tetap tampil all out agar tidak mempermalukan diri sendiri? Hah … lucu sekali, orang sepertimu mengaku jadi mama barunya Sora,” ejek Rose sambil menatap jijik Sakura. Sakura tak bisa mengatakan apapun. Rasanya ia ingin segera pergi, tapi tentu ia tak bisa melakukannya. “Mama! Ayo!” Seruan Sora menyadarkan Sakura. Dengan langkah kaki yang gemetar, ia mengikuti Sora yang berjalan masuk ke dalam rumah bersama temannya. “Maaf, permisi.” Rose tak mengubah ekspresi mengejek di wajah saat Sakura berjalan melewatinya. “Ya ampun, kalau aku jadi dia, aku sudah pergi dari tempat ini,” gumamnya. Melihat Sakura yang mulai menjauh, tiba-tiba sebuah ide terbersit di kepala, membuat sudut bibir Rose terangkat. "Hm, ide yang bagus. Ya ampun, aku ini benar-benar jenius," batin Rose kemudian mengambil langkah mengikuti Sakura masuk ke dalam rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN