6. Sambutan yang Buruk

1364 Kata
Sakura menutup pintu mobil kemudian berjalan memasuki area sekolah. Setelah mengantar Sora pagi tadi, ia pulang, mengerjakan pekerjaan rumah dan setelah selesai, kembali ke sekolah menjemput Sora. “Kenapa Pak sopir tidak mengatakan sesuatu, ya?” batin Sakura mengingat Pak sopir tak banyak bertanya tentang dirinya. “Oi, mamanya Sora.” Langkah Sakura terhenti mendengar nama Sora disebut. Ia menoleh ke sumber suara dan menemukan dua wanita berjalan ke arahnya. “Eh, jadi benar kau mama barunya Sora? Siapa namamu?” Salah seorang dari wanita itu tanpa berbasa-basi bertanya pada Sakura setelah berdiri di hadapannya. “Namaku ….” Ucapan Sakura menggantung. Ia merasa malu jika menyebutkan namanya. Tapi tak mungkin ia memakai nama palsu, bukan? “namaku … Sakura.” Dua wanita itu saling melempar lirikan sekilas dan tampak menahan tawa kecil mereka. “Sakura, ya, apa kau dari jepang? Tapi … wajah dan penampilanmu tidak menunjukkannya,” celetuk wanita berambut sebahu di depan Sakura. “kenalkan, namaku Rose. Roselyne Kate, sesuai namaku keluargaku berasal dari Jerman. Kau lihat mataku?” Menunjuk matanya yang berwarna biru. “ini asli, keturunan dari keluarga terdahulu.”Sakura hanya diam sambil memperhatikan meski dalam hati ia berpikir, untuk apa wanita di depannya itu mengatakan hal tersebut. “Dan aku, kenalkan, namaku Malika. Aku orang pribumi, tapi keturunan pejabat.” Sakura menatap uluran tangan Malika dan saat ia hendak menjabat tangannya, Malika menarik kembali tangannya seolah enggan berjabat tangan dengan Sakura. Sakura menarik tangannya dan menatapnya sesaat, apakah tangannya begitu kotor? Jika tak ingin berjabat tangan dengannya untuk apa Malika mengulurkan tanganya?” “Oh, ya, jadi benar kau mama barunya Sora? Jadi, kau menikah dengan papanya?” taya Malia bertubi-tubi. Sakura mengangguk membuat Malika dan Rose kian memperhatikan Sakura dari kepala hingga ujung kaki bahkan Rose sampai berjalan memutari Sakura. “Hm, tidak ada yang menarik. Sama sekali tidak ada, bagaimana bisa duda tampan itu tertarik padamu?” Mulut tajam Rose bekerja, menilai Sakura dan mengutarakannya tanpa rasa bersalah. “Hus, Rose, jaga bicaramu, bagaimana kalau dia mengadu pada suaminya?” celetuk Malika bernada sarkas. “tapi … jika dilihat-lihat,memang tak ada yang menarik darinya. Wajahnya bahkan kusam, rambutnya juga berminyak, pasti tak pernah pergi ke salon. Jadi, bagaimana bisa ayah Sora yang tampan itu memilihmu sebagai istrinya? Atau, apa kau menggunakan ilmu hitam?” Ulu hati Sakura terasa ngilu, ia tak mengira hal semacam itu bisa keluar dari mulut wanita yang kelihatannya berpendidikan. “Maaf, mengenai itu, silakan tanya sendiri pada suamiku,” ucap Sakura. “maaf, permisi,” ucapnya kembali saat membalikkan badan. Ia tak mau berlama-lama berhadapan dengan dua wanita itu. Tapi, Malika dan Rose tak membiarkannya pergi begitu saja. ”Hei, tunggu, kenapa buru-buru sekali? Lagipula jam pulang masih sepuluh menit lagi,” kata Rose seraya menahan tangan Sakura. “Kau pasti sengaja mau menghindari kami, kan?” sindir Malika. “Nah, sekarang katakan, bagaimana bisa papanya Sora memilihmu jadi istrinya. Katakan saja, kami pandai menjaga rahasia, kok. Jujur saja pada kami,” tekan Rose. Bu Salsa telah memprovpkasinya juga Malika untuk menganggu Sakura. Jika perlu membuat Sakura tertekan dan memilih menyerah menjadi istri Raska. Menurutnya, wanita seperti Sakura lebih pantas menjadi pembantu, bukan istri. “Maaf, lepaskan aku,” pinta Sakura seraya menarik tangannya. Rose terus mencengkram tangannya, menahannya untuk pergi. Rose kian mencengkram tangan Sakura tak peduli pergelangan tangan Sakura sampai memerah bahkan kuku-kukunya pun menancap hingga meninggalkan jejak. “Ayo cepat katakan pada kami. Kau pasti menggunakan guna-guna, kan? Kau pasti menggunakan ilmu hitam, kan?” Sakura hampir menangis. Ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya, dikeroyok dua wanita sok kaya dan menuduhnya yang tidak-tidak. “Hei, ada apa ini?” Rose melepaskan cengkraman tangannya tiba-tiba membuat Sakura terhuyung ke belakang dan jatuh dengan posisi terduduk di tanah. Ia pun meringis, menahan perih tangannya juga sakit bokongnya. “Anda baik-baik saja?” Security sekolah membantu Sakura berdiri. Melihat apa yang terjadi dari gerbang tempatnya berjaga, ia segera menghampiri. Sakura mengangguk. “I- iya. Aku … baik-baik saja. Terima kasih, Pak,” ucapnya. “Hadeh, padahal cuma mau kenalan,” ucap Rose untuk berkilah jika dirinya telah melukai Sakura. “Mama! Mama!” Seruan suara anak-anak terdengar membuat Malika dan Rose menoleh lalu berlari kecil menyambut anak-anak mereka. Keduanya memanfaatkannya untuk menghindari masalah. “Maaf, Nyonya. Apa mereka mengganggu anda?” tanya Pak security setelan Rose dan Malika pergi. “Ti- tidak, Pak.” “Ah, ya, tadi pagi saya melihat anda dengan Sora. Apa anda pengasuh barunya?” tanya security itu kembali. Ia cukup mengenal banyak anak-anak. Sakura mengangguk pelan dan tiba-tiba terkejut saat Sora memeluk kakinya. “Mama!” ucap Sora sambil mendongak tanpa melepas tangan yang memeluk Sakura. “Sora. Sudah pulang?” “Uum. Iya, Ma.” Security itu tampak terkejut mendengar Sora memanggil mama. Penampilan Sakura seperti pengasuh anak-anak, jadi ia pikir Sakura adalah pengasuh baru Sora, bukan namanya. “Mama, Sora dapat undangan ulang tahun. Nanti mama temani Sora, ya,” ucap Sora sambil menunjukkan kartu undangan yang diberikan temannya. Sakura melihat kartu undangan itu dan terdiam melihat tanggal yang tertera. ‘Lusa, apa tuan Raska sudah pulang nanti?’ batinnya. Ia harap Raska pulang dan menemani Sora. Ia tak mau kejadian seperti tadi terulang. Tapi, tak mau mengecewakan Sora, Sakura pun mengangguk. “Yei!” Sora berseru senang. Ia berniat menghadiri acara ulang tahun sekaligus mengenalkan mama barunya pada teman-teman. Tak lama kemudian, Sakura dan Sora telah dalam perjalanan pulang. Keduanya tampak bermain di kursi belakang tanpa menyadari Pak sopir sesekali memperhatikan lewat spion tengah. “Yei! Sora menang!” Sora mengangkat kedua tangan ke atas setelah menang dalam permainan tebak nama hewan. Ia begitu ceria hingga membuat hati Pak sopir menghangat. “Sudah lama aku tidak melihat tuan kecil seceria ini,” batin Pak sopir. “Yah, mama kalah,” ucap Sakura sambil memasang wajah lesu, berpura-pura murung karena Sora telah mengalahkannya, padahal ia memang sengaja mengalah. “ya sudah, mama pasrah menerima hukuman.” Sakura mengulurkan kedua tangannya. Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat sentilan. Bebas bagi pemenang menyentil di mana saja. Tiba-tiba Sora berkedip pelan saat tanpa sengaja melihat pergelangan tangan Sakura yang memerah. Ia segera menarik tangan Sakura dan memperhatikannya dengan seksama. “Mama, tangan mama kenapa?” tanya bocah itu. Ia membandingkan tangan kanan dan kiri Sakura yang berbeda. Tangan kanan Sakura tampak baik-baik saja, berbeda dengan tangan kirinya. “Ah, i- ini … tadi mama tidak sengaja jatuh karena kurang hati-hati, Sora,” ujar Sakura sambil menarik tangannya. Sora menatap Sakura dengan pandangan tak terbaca. “Bagaimana posisi jatuh mama? Kenapa lukanya di sana?” Sakura menggigit bibir bawahnya. Ia lupa, meski Sora masih anak-anak, tapi dia anak yang cerdas. Namun, tak ingin mengungkap kebenaran, ia mengarang cerita. Drt …. Di sela saat Sakura mengarang cerita tentang apa yang terjadi pada tangannya, ponselnya berdering. Ia pun tak menyisakan kesempatan, segera diangkatnya panggilan yang tak lain dari Raska. “Halo, kami dalam perjalanan pulang,” ucap Sakura kemudian menyerahkan ponselnya pada Sora. “Sora, ini papa,” ucapnya pada Sora. Sora segera mengambil ponsel dari tangan Sakura dan mengajak Raska bicara. “Halo, Papa.” “Bagaimana sekolah Sora hari ini?” “Sora senang, mama mengantar dan menjemput Sora. Oh, ya, Pa, lusa Sora mau datang ke ulang tahun Dafa.” “Lusa? Tapi sepertinya papa belum bisa pulang.” “Tidak apa-apa, Pa. Nanti Sora berangkat dengan mama. Iya, kan, Ma?” Menatap Sakura penuh harap. Sakura mengangguk sambil mengukir senyum simpul. Meski ia sedikit ragu. “Sudah beli hadiah?” “Belum,” jawab Sora. “Ma, antar Sora beli hadiah, ya.” “Eh? Hadiah?” Sakura tampak bingung. Ia hanya punya uang beberapa puluh ribu. Tapi, ia tak tega menolak ajakan Sora. “Ba- baik lah.” Sora tertawa senang. Ia segera mengatakan tujuan selanjutnya pada Pak sopir sebelum pulang, yakni pergi ke mall untuk membeli hadiah. Setelah Sora selesai bicara dengan sang papa, Sakura mendapatkan kembali ponselnya. Ia tampak resah, berpikir bagaimana cara membelikan hadiah dengan uangnya. Mungkin ia bisa meminta uang pada Raska, tapi ia merasa tak enak meski itu untuk kebutuhan Sora. Ting! Sakura tersentak mendengar denting notifikasi dari ponselnya. Matanya pun melebar melihat notifikasi yang tertera pada layar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN