“Halo. Selamat pagi.”
“Terjadi sesuatu pada Sora?” Raska segera bertanya, melihat Bu Salsa menghubunginya, ia pikir telah terjadi sesuatu dengan Sora di sekolah.
“Ah, tidak-tidak. Sora baik-baik saja. Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan. Tadi Sora berangkat dengan seorang wanita dan menyebut wanita itu adalah mama barunya. Apa itu benar?”
Raska terdiam sejenak lalu hendak menjawab. Namun, belum sempat sebuah kata terucap, suara Bu Salsa lebih dulu menyela.
“Sebelumnya, maaf jika saya lancang. Apa sebenarnya wanita itu babysitter untuk Sora? Jika benar, saya rasa anda sudah memilih wanita yang salah karena dia telah mengaku-ngaku sebagai mama barunya Sora. Ini memang bukan urusan saya, tapi saya hanya merasa kasihan pada Sora. Sebaiknya anda berhati-hati pada pengasuh baru anda itu, Tuan.”
Raska hanya diam di mana tak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan. Tapi apa yang Bu Salsa katakan membuatnya semakin ilfeel pada wanita itu.
“Saran saja, anda harus mencari pengasuh baru atau mama baru untuk Sora. Saya bersedia–”
“Dia memang mama baru Sora.”
Raska menyela ucapan Bu Salsa, merasa sudah cukup bicara dengan wanita itu.
“A- apa? Su- sungguh? Anda … anda serius?” Suara Bu Salsa terdengar bergetar menandakan dirinya terkejut dan seolah tak percaya.
“Ya. Aku sangat sibuk sekarang. Jika tidak ada sesuatu yang penting mengenai Sora, jangan menelepon lagi.”
Setelah mengatakan itu Raska mengakhiri panggilan tanpa menunggu Bu Salsa mengatakan sesuatu.
Di tempat Bu Salsa dirinya menatap ponselnya dengan wajah merah antara kesal dan malu karena jawaban yang ia dapat tak sesuai dengan prediksi. Ia menduga Sakura hanya pengasuh baru untuk Sora karena tak mungkin Raska memiliki selera rendahan.
Di saat yang sama, Sakura kembali berjalan menuju gerbang setelah mengantar Sora sampai kelas. Melihat itu, Bu Salsa menahannya, meminta penjelasan lebih rinci darinya. Dirinya belum bisa mempercayai ucapan Raska.
“Tunggu.”
Sakura menghentikan langkahnya. “Ya, ada apa, Bu ….”
“Salsa. Anak-anak memanggilku Bu Salsa,” ujar Bu Salsa.
“A … ya, ada apa, Bu Salsa?”
“Maaf sebelumnya, aku hanya ingin memastikan apakah benar anda mama barunya Sora? Anda sudah menikah dengan ayahnya?” tanya Bu Salsa tanpa basa-basi.
Sakura tampak sedikit terkejut. Apa yang harus ia katakan? Jawaban apa yang harus ia berikan? Jika ia mengatakan bahwa hanya bekerja dan berpura-pura menjadi mama baru untuk Sora, apa itu tak akan menjadi masalah nantinya.
Drt …
Sakura tersentak saat ponsel dalam saku roknya berdering. Mengambil benda persegi itu, dilihatnya siapa yang menelepon.
“Ha- halo?” Sakura mengangkat panggilan meski nomor asing yang tertera pada layar. Ia sengaja ingin menghindari pertanyaan Bu Salsa.
“Ini aku. Jika ada yang bertanya apakah kau mama baru Sora atau pengasuh, katakan saja kau mama barunya.”
Sakura mematung sejenak mendengar suara Raska. Ia terkejut karena Raska tiba-tiba menghubunginya, juga menyuruhnya melakukan sesuatu.
“Ta- tapi–”
Belum sempat Sakura selesai bicara, panggilan telah terputus. Raska mengakhiri panggilan begitu saja.
“Maaf, jadi … anda benar mama barunya Sora?” Seperti begitu penasaran dan tak sabar, Bu Salsa kembali bertanya.
Sakura meremas ponsel di tangan lalu mengangguk sambil mengukir senyuman. “Ya. Saya … mama barunya Sora.”
Bu Salsa terbungkam. Rasa kesal dan tak terima kun merasuki pikiran.
“Jangan bercanda.”
Sakura menghapus senyumnya mendengar gumaman kecil Bu Salsa yang bisa ia dengar.
“Jangan bercanda. Kau pikir aku percaya kau istri barunya tuan Raska? Aku yakin, kau adalah pengasuh Sora tapi mengaku-ngaku sebagai mama barunya,” kata Bu Salsa. “maaf saja, aku lebih yakin tidak mungkin ayah Sora yang sempurna itu mau dengan wanita biasa sepertimu. Daripada tuan Raska memecatmu, sebaiknya jujur saja padaku kalau kau hanya mengaku-ngaku. Jika tidak, aku akan menghubungi tuan Raska sekarang, mengatakan pengasuh baru anaknya sangat lancang mengaku-ngaku jadi istrinya.”
Sakura hanya diam. Ia terkejut dengan omongan panjang Bu Salsa. Ucapannya terdengar tak pantas diucapkan oleh seorang pengajar.
Bu Salsa merasa puas melihat ekspresi Sakura. Ia hanya menggertak agar Sakura mengaku padanya. Meski telah mendapat jawaban yang sama dari Raska maupun Sakura, ia mengesampingkan itu semua.
“Silakan.”
Bu Salsa melebarkan mata sesaat.
“Silakan. Anda bisa menanyakan langsung kepada beliau,” kata Sakura. Ia tidak tahu apa yang terjadi tapi merasa semua ini ada hubungannya dengan Raska yang baru saja menghubunginya.
Bu Salsa menekan ludah kasar. Raska sudah memperingatkannya untuk tak lagi menghubunginya, jika ia kembali menghubungi Raska sekarang dan menanyakan hal yang sama, pria itu pasti muak padanya.
Sakura mengutak-atik ponselnya, menamai nomor Raska dengan kata ‘suamiku’ agar lebih meyakinkan. Ia lalu menyodorkan ponselnya yang mana telah berada dalam panggilan dengan nomor Raska.
“Silakan anda bertanya padanya,” ucap Sakura.
Bu Salsa mulai berkeringat. Ia tak ingin percaya, tapi kenapa Sakura begitu percaya diri? Apa sebenarnya, dirinya yang salah di sini?
“Ada apa?”
Mendengar suara Raska, Sakura segera menempelkan ponsel ke telinga.
“Maaf sudah mengganggu. Bu Salsa ingin bertanya sesuatu padamu.”
Di tempat Raska, dirinya mengalihkan sejenak perhatian dari dokumen di tangan. Ia belum selesai, tapi feeling-nya menyuruhnya mengangkat panggilan dari Sakura. Dan mendengar apa yang Sakura katakan, sepertinya ia tahu apa yang terjadi di sana.
“Ti- tidak. Maaf, sudah saatnya jam masuk. Aku harus segera ke kelas.”
Raska mendengar jelas suara Bu Salsa yang berniat menghindar. Setelahnya, ia mendengar suara Sakura. Sepertinya Bu Salsa sudah pergi, pikirnya.
“Maaf, Tuan. Tadi Bu Salsa bertanya padaku.”
“Dan apa jawabanmu?”
“Aku … menjawab seperti yang anda perintahkan. Tapi beliau seperti masih tidak percaya dan mengatakan akan menghubungi anda untuk menanyakannya langsung. Jadi, aku menghubungi anda untuk–”
“Ya. Jika ada lagi yang bertanya, katakan saja seperti yang kukatakan.”
“Ta- tapi … itu artinya … mereka pasti berpikir anda dan saya sudah menikah.”
Raska mengabaikan ucapan Sakura dan memilih mengakhiri panggilan tanpa mengatakan apapun. Ia lalu mensetting ponselnya ke mode silent agar tak ada lagi yang mengganggu. Sebelum kembali fokus pada dokumen-dokumen, ia membuka galeri ponselnya dan menatapnya selama beberapa saat. Memperhatikan foto Sora saat masih bayi. Rasanya seperti baru kemarin, tapi sekarang Sora sudah berusia 5 tahun dan tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Gerak ibu jari Raska yang menggeser layar terhenti saat foto lain muncul. Bukan lagi foto Sora saat masih bayi, tapi foto seorang wanita yang merupakan ibu Sora, berdiri dengan seorang pria dan pria itu bukan dirinya.