"Kadang, kesetiaannya membuatnya menjadi sangat bodoh."
─Gavin─
***
“...Aku tidak suka melihat Tuan Yang Mulia kesepian."
"Hemm...?"
Gavin senang dengan kepedulian Darian, tapi juga merasa sedikit aneh. Dia tidak suka ada pria lain yang memedulikan Helen selain dirinya.
Gavin segera mengenyahkan pemikirannya barusan. Ini Darian, anak polos yang sangat memedulikan Helen. Apa yang harus dicemburui darinya?
"Setiap tahun, ada seorang bangsawan yang membuat acara melepas lentera untuk putrinya yang telah meninggal. Pasar rakyat akan ramai malam ini karena acara itu."
"Saya tidak pernah mendengar ada acara pelepasan lentera itu."
Gavin agak melamun, menatap jauh ke depan. Tentu saja tidak banyak yang tahu. Itu karena ibu Fifin yang melakukan ini. Masih ingat Fifin? Cinta pertama Brian, gadis yang mencintai Gavin, dan berakhir bunuh diri. Walau dia merasa aneh dengan alasan bunuh diri Fifin (karena katanya itu disebabkan oleh Gavin yang menolaknya), tetap saja ada perasaan bersalah karena telah menolak gadis yang berpotensi menjadi ibu kerajaan.
Siapa yang akan menduga kalau gadis cantik dan cerdas seperti Fifin akan berpikiran sempit hanya karena cintanya ditolak? Tapi mau seperti apa pun Gavin menyelidiki kasus Fifin, itu selalu berakhir dengan jalan bantu, dan hanya bisa disimpulkan dengan bunuh diri.
Gavin menghela napas. Mengingat Fifin menguras banyak energi.
"Kau tidak mau ke sana?" tanya Gavin setelah cukup lama diam.
"Bolehkah?"
"Tentu saja. Tapi kau yang membujuk Yang Mulia."
Darian mengerutkan keningnya. "Kenapa? Bukankah Tuan Gavin lebih akrab dengan Tuan Yang Mulia?"
"Sangat sulit membujuk Yang Mulia. Aku belum pernah berhasil mengajaknya main-main di luar selama lima tahun belakangan. Kalau patroli, atau menangkap buronan, barulah Yang Mulia akan setuju. Bahkan sebelum diajak, Yang Mulia sudah menyarankan lebih dulu."
Darian jadi pesimis. Dia tahu benar kalau Helen selalu serius. Tapi demi membuat tuannya bahagia, Darian memberanikan diri untuk mencoba.
“Akan saya lakukan.”
"Semoga berhasil," kata Gavin, menepuk bahu Darian.
Darian mengangguk mantap, lalu mengetuk pintu rumah. "Tuan Yang Mulia...?"
"Masuk!"
Darian memasuki rumah, dan berdiri di sebelah Helen yang sedang makan.
Helen tidak suka diganggu saat sedang makan. Dia juga tidak butuh dilayani. Maka ketika jadwal makan, Darian dan Gavin akan di luar rumah.
Melihat Darian berdiri kikuk di sebelahnya, Helen mengernyit. Ini pertama kali pelayan kecilnya bertingkah aneh saat dia sedang makan. Pelayan kecil ini bukannya tidak tahu kebiasaannya. Dia menduga kepentingan Darian sangat mendesak.
"Duduk," titah Helen.
"Ah? Ti-tidak, Tuan Yang Mulia. Pelayan ini tidak berani duduk dengan tuannya."
Helen yang tidak suka memberi perintah dua kali, nyaris berdiri untuk mendudukkan paksa Darian, tapi pelayannya itu sudah lebih dulu duduk karena menyadari sifat tuannya.
Darian duduk di depan Helen, memerhatikan masih banyak makanan di meja. Dia pikir waktunya kurang tepat jika bicara sekarang. Tadi dia masuk tanpa pikir panjang karena terlalu bersemangat. Sekarang dia agak menyesal, tapi tidak bisa mundur karena telah mengganggu waktu makan tuannya. Baiklah, Darian akan menunggu tuannya selesai makan sebelum bicara.
Helen memerhatikan Darian yang melihat makanan, lalu melihat ke arahnya. Dia tahu kalau pelayan biasanya makan sesudah tuannya. Makanan pelayan dan tuannya juga berbeda. Kalau ada makanan sisa tuannya, barulah pelayan bisa memakannya. Dia pikir, selama dua bulan membawakan makanan tuannya, Darian mungkin tidak bisa menahan diri untuk mencicipi makanannya.
Helen tidak membenci sifat lancang Darian yang menginginkan makanan tuannya, sebaliknya, dia malah berpikir kalau pelayan kecilnya sangat jujur dan polos. Dia lebih suka pelayan yang seperti itu, daripada pelayan yang diam-diam mengambil makanannya. Karena pemikiran itu, Helen mengambil mangkok isi nasi, meletakkan sendok di atasnya, lalu meletakkannya di depan Darian.
"Tu-tuan Yang Mulia, kenapa...?"
"Makan!"
Darian bingung, masih diam saja.
Helen pikir Darian malu untuk mengambil sayur dan lauk di meja, maka dia mengambilkan sayuran dan lauk, lalu meletakkannya di atas nasi Darian. Dia tidak bisa memakan ujung sayur, lalu memberikannya ke Darian (seperti menggigit apel waktu itu) karena itu sudah di luar toleransinya. Darian harus makan sayuran dengan utuh, bukan bekasnya. Helen pikir dia bisa bersikap sesukanya karena ini di kediamannya. Tidak perlu mengikuti norma-norma seorang pelayan.
Darian terkejut. Apa-apaan ini? Kenapa tuannya malah melayaninya?
"Tidak, Tuan Yang Mulia. Saya akan makan sendiri."
Akhirnya, dengan sedikit malu, Darian makan. Makanan keluarga kerajaan sangat enak, berbeda dengan makanan pelayan. Begitu menyentuh lidahnya, dia tidak bisa berhenti makan.
Melihat Darian tidak lagi malu, Helen menyudahi meletakkan sayur dan lauk di atas mangkok makan Darian. Dia senang melihat Darian makan dengan lahap. Seperti ada kebanggan tersendiri dalam hati Helen karena pelayannya bisa senang di bawah naungannya. Setidaknya, Darian belum mati seperti pelayan-pelayan sebelumnya.
Darian melirik Helen yang makan dengan postur gagahnya. Dia merasa malu karena malah makan dengan berantakan dan postur yang tidak baik. Meniru gaya makan tuannya, Darian makan dengan perlahan. Dia kemudian ingat kalau tadi tuannya meletakkan sayuran di atas nasinya. Sebagaimana dulu dia dan ibunya saling meletakkan makanan di atas piring masing-masing, dia juga ingin melakukan ini untuk tuannya.
"Makan ini juga, Tuan Yang Mulia." Darian meletakkan sayuran hijau di atas piring Helen.
Helen terdiam sejenak. Ini pertama kalinya setelah lima tahun, ada yang berani meletakkan makanan di atas piringnya. Biasanya pelayan akan gemetar ketakutan saat akan melayaninya dan menimbulkan kesalahan seperti minuman yang tumpah, atau kuah sayur yang mengotori bajunya. Tindakan mereka hanya membuat 'sakit' nya kumat. Karena itulah, Helen selalu makan sendirian setelahnya. Entah mengapa, dia merasa santai di depan anak ini. Anehnya lagi, sudah sebulan lebih 'sakit' nya tidak kumat. Terakhir kali kumat ketika membantai pelayan di kediaman Rane.
Helen melihat sayuran hijau di piring, mengingat kembali ibunya yang suka mengomel ketika dia malas makan sayur. Dia juga ingat kalau ibunya pernah menyuapinya dengan penuh kasih sayang, sampai rela memasak di dapur kerajaan dengan pelayan demi dirinya yang saat itu sedang sakit dan tidak nafsu makan. Karena semua perhatian ibunya itulah, dia tidak keberatan kalau harus berpura-pura menjadi lelaki.
Melihat Helen diam saja, Darian jadi canggung. "Apakah Tuan Yang Mulia tidak makan sayuran?"
Darian kemudian menyadari sesuatu. Sendok yang dia pakai untuk mengambil sayuran di mangkok dan meletakkan di piring tuannya adalah sendok yang telah dia gunakan. Itu kurang sopan. Harusnya dia pakai sendok bersih.
"Maaf, Tuan Yang Mulia, saya lupa pakai─" sendok bersih.
Helen langsung memakan sayuran hijau di piring bahkan sebelum Darian menyelesaikan kalimatnya.
Menunduk, Darian merasa sangat malu, tapi kemudian, benaknya yang aneh itu memikirkan sesuatu yang mengerikan; Bukankah ini jadi seperti ciuman tidak langsung dengan Tuan Yang Mulia?
Darian memukul kepalanya karena berani berpikir seperti itu. Padahal tuannya tidak menggunakan sendoknya, kenapa dia berpikir mereka ciuman tidak langsung? Dia pasti sudah gila.
Setelah memakan sayuran, Helen mengangkat piringnya ke hadapan Darian. Awalnya pelayan kecil itu kebingungan, tapi saat Helen malu-malu melirik lauk dan sayur, dia akhirnya mengerti. Tuannya ingin dia meletakkan lagi sayuran di sana.
Darian sangat ingin tertawa melihat tingkah imut Helen, tapi dia tidak bisa melakukannya karena khawatir akan melukai harga diri tuannya. Dia hanya dengan senang hati meletakkan sayuran dan lauk di atas piring Helen, masih menggunakan sendok yang telah dia pakai. Sampai kejadian itu terjadi.
***