Kehangatan saat Mati Lampu

1483 Kata
"Abhiiii... Aku takut gelap." Gema mencari-cari di mana Abhi berada. Tangannya berhasil menyentuh lengan Abhi. Ia merangkul lengan itu. Napasnya tersengal-sengal. "Tenang Gema, aku di sini." Abhi menyalakan senter di ponselnya. Ia bisa melihat peluh menetes dari dahi Gema. Gadis itu benar-benar takut gelap. Abhi melirik jari-jari Gema yang menyentuh lengannya. Sentuhan fisik pertama mereka. Kesepakatan yang harus terlanggar karena mati lampu. Abhi berpikir, mungkin kesepakatan lainnya juga akan tergerus. Bibirnya menyeringai. Ia biarkan Gema memeluk lengannya dan mendekatkan tubuhnya padanya. "Ada lilin tidak? Lampu emergency cuma ada di ruang tengah, ya?" Abhi melirik ruang tengah yang tetap terang karena menggunakan lampu emergency. "Iya, kayaknya cuma di ruang tengah. Lebih baik kita ke ruang tengah saja." Gema berusaha menetralkan napas yang masih berkejaran. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tengah. Gema masih memegang lengan Abhi dan laki-laki itu memilih membiarkannya. Ia menikmati momen kedekatannya dengan Gema meski terbangun dengan bantuan 'kendala teknis'. Setelah tiba di ruang tengah, barulah Gema melepas genggamannya. Keduanya duduk dalam satu sofa, hanya saja Gema agak bergeser ke pinggir untuk menjaga jarak. "Tiba-tiba mati lampu." Gema mengerucutkan bibirnya. Kedua telapak tangannya menangkup dua pipinya. Matanya jelalatan mengamati sekeliling. Ia tak nyaman melihat kegelapan di ruang tamu yang terlihat dari ruang tengah atau spot gelap lainnya di ruang lain. Selalu ada rasa takut dan tak nyaman jika berada di ruang yang gelap atau melihat ruangan gelap. Abhi melirik Gema yang masih mematung. Sebenarnya bisa saja ia memanfaatkan kesempatan untuk menjalin keintiman dengan Gema sebagai penguat ikatan yang sudah halal. Namun, Abhi tak akan gegabah. Ia biarkan saja semua mengalir apa adanya. "Kamu kenapa bisa takut sama gelap? Kirain jagoan kayak kamu nggak takut apa pun." Abhi menyeringai. Memang aneh di matanya, gadis tomboy sok jagoan seperti Gema bisa memiliki fobia gelap. Gema menoleh Abhi yang menunggu responsnya. "Aku punya pengalaman buruk, pernah terkunci di gudang yang gelap. Di kegelapan itu lah ada makhluk yang mengerikan." Abhi menyipitkan matanya. "Mengerikan? Pocong? Kuntilanak? Atau apa?" "Bukan itu, tapi tikus-tikus yang naik ke kakiku. Aku takut banget." Gema memeluk tubuhnya dengan kedua lengannya dan bergidik. Abhi tertawa. "Tikus? Kamu takut tikus? Okay, saya baru nemu kelemahanmu. Selain takut gelap, juga takut tikus." "Tikus dan gelap itu jauh lebih menakutkan. Oya, Abhi, kenapa kamu ngomong "saya saya", ganti lah jadi "aku" biar nggak kaku. Baku banget soalnya." Abhi tertawa kecil. "Okay, ini sebenarnya karena kebiasaan di sekolah. Kami lebih sering pakai bahasa baku untuk memberi contoh yang baik. Murid-murid sekarang kalau ngomong, bahasanya udah macem-macem, nggak jelas, dan kadang kasar. Kalau nggak dimulai dari gurunya, mereka akan mengganggap bahasa kasar itu sesuatu yang biasa." Gema membisu sekian detik. "Kalau kamu bergaul dengan teman-temanku mungkin bakal kaget atau nggak nyaman. Teman-temanku banyak yang ngomongnya kasar, bahkan ada yang ceplas-ceplos dan vulgar. Kamu inget Asti, 'kan? Yang tadi ngasih kado absurd dan beda dari yang lain?" Abhi mengangguk. Tentu ia ingat dengan kado aneh berisi kondom. Bagaimana bisa Gema nyaman bergaul dengan orang-orang seperti itu? "Iya saya... Eh maksudnya, aku inget." "Dia kalau ngomong ceplas-ceplos, vulgar, dan hidupnya memang berantakan. Sudah sering aku kasih masukan, tapi nggak ada perubahan. Gitu-gitu aja." Abhi memicingkan matanya. "Aku udah melihat teman-teman kamu di halte depan toko kue. Penampilannya rata-rata nyentrik sih memang. Tapi aku nggak punya hak untuk menghakimi." Tentu Abhi masih ingat pada penampilan teman-teman Gema yang sebagian besar bertato, teman perempuannya memakai baju seksi, dan banyak yang perokok juga. Namun, sekali lagi ia tak mau menghakimi. Bisa jadi mereka memiliki kepribadian yang baik. "Ya, mereka aslinya baik-baik. Kami dekat karena sering balap bareng, beberapa di antaranya juga suka naik gunung dan main futsal. Kadang... Clubbing bareng." Gema tahu, Abhi mungkin tak akan suka mendengar kata "clubbing". "Apa enaknya clubbing? Aku nggak pernah ke club, tapi kalau melihat dari tayangan film atau drama, night club itu tempat hiburan yang memfasilitasi minuman keras dan kalian bisa melakukan apa saja... Gaya hidup yang bebas." Abhi ingin Gema perlahan mengurangi kebiasaan buruk yang sama sekali tidak memberi manfaat. Sesuai kesepakatan yang ia buat bersama Gema, ia tak akan mengizinkan semisal Gema ingin clubbing atau balapan. "Night club itu memang kesannya negatif, sih, apalagi di kota sekecil ini. Di kota sebesar Jakarta sekalipun, masih banyak yang berpikiran seperti ini. Tapi asal kamu tahu Abhi, aku ke sana itu hanya untuk ngumpul sama teman-teman atau pas lagi gabut. Aku nggak minum alkohol, nggak merokok juga, dan nggak flirting ke cowok. Jadi masih dalam batasan." Gema menjelaskan panjang lebar berharap Abhi tak berpikir buruk terhadapnya hanya karena suka clubbing. "Kamu nggak mabok, nggak ngrokok, nggak flirting, tapi di sana gudangnya hal-hal kayak gini. Mungkin sekarang kamu bisa bertahan nggak melakukan sesuatu di luar batas, tapi kita tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi ke depan." Dengan sabar Abhi menjelaskan. Gema masih 22, tujuh tahun lebih muda darinya, tentu gadis itu tidak begitu memikirkan efek jangka panjang dari perbuatannya. "Pergaulan itu sangat berpengaruh ke karakter seseorang, Gema. Yang tadinya nggak mau minum miras, tapi karena teman-temannya suka minum, dia akhirnya kebawa juga." Abhi menambahkan. "Dengan kata lain kamu mau bilang pergaulanku nggak sehat? Nggak baik? Secara tidak langsung kamu memintaku untuk menjauh dari teman-temanku." Nada bicara Gema terdengar ketus. Jelas saja Gema tidak mau diatur. Dan dia tak suka jika ada yang mengomentari persahabatannya dengan teman-teman dekatnya. Termasuk orang tuanya yang sering melarangnya bergaul dengan teman-temannya. Abhi menarik napas, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya kembali. "Aku nggak bilang gitu, Gema. Aku hanya ingin kamu berhati-hati. Semakin bertambah umur, circle pertemanan akan semakin mengerucut. Kita akan tahu mana yang benar-benar teman sejati, mana yang palsu. Kalau dengan pertemanan yang kamu jalani sekarang menjauhkan kamu dari hal positif, bikin males ibadah, atau ngasih pengaruh buruk, berarti ada yang salah dengan pertemananmu." Abhi menatap Gema tajam, tatapan yang kadang dirasakan Gema sebagai intimidasi, bermakna menyalahkan atau menyudutkan. Gema menatap Abhi lebih tajam, seperti kilatan cahaya yang menghunus tepat di kedua mata Abhi. "Dengan kata lain kamu menyimpulkan kalau aku jauh dari hal positif, males ibadah, dan dapat pengaruh buruk dari teman-temanku? Kamu melihat aku seburuk itu?" "Astaga Gema. Aku nggak mengatakan kamu buruk. Aku cuma bilang seandainya kamu merasa jauh dari hal positif, males ibadah gara-gara berteman dengan teman-teman circle kamu, itu artinya ada yang salah dengan pertemanan kalian. Tapi kalau kamu merasa tetap positif, melakukan hal-hal yang baik, dan nggak dapat pengaruh jelek dari teman-temanmu, berarti pertemanan kalian sehat dan baik." Abhi menjelaskan kata demi kata dengan nada yang lembut tapi tetap ada penekanan karena ia ingin Gema mencermati baik-baik ucapannya. "Okay, aku cuma nggak ingin kamu main larang-larangan. Aku nggak boleh gini, nggak boleh gitu... Aku nggak suka diatur." Tatapan Gema terasa seperti es yang membeku, dingin tak tersentuh. "Kamu memang sudah jadi suamiku, tapi kamu nggak berhak mengatur hidupku!" Gema menegaskan kata-katanya. Tatapannya tak lepas menyasar pada wajah suaminya yang juga serius menatapnya. Abhi tak langsung merespons. Ia membisu sekian detik lalu mata elangnya kembali menatap Gema tajam. "Listen to me, Gema Anindiya." Gema menoleh ke arah Abhi. Mata tajam itu seolah menjelma seperti lautan yang siap menenggelamkan siapa pun yang menatapnya. "Hidupmu adalah hakmu, artinya kamu berhak menjalani hidupmu sesuai keinginanmu. Kamu bisa memilih jalan mana yang akan kamu tempuh. Tapi sebagai suamimu, aku punya tanggung jawab dan kewajiban untuk membimbingmu, mengingatkan jika ada yang salah." Abhi memilih kata-kata yang tepat agar Gema tidak bertambah kesal. "Dan aku pun tak akan keberatan jika kamu mengingatkanku ketika aku salah atau melarangku melakukan sesuatu. Aku akan mendengarmu. Aku minta kamu juga mendengarku." Abhi masih menatap Gema dengan tatapan tertajamnya hingga membuat gadis tomboy itu salah tingkah. "Ada saatnya aku bersikap tegas padamu, Gema. Ada saatnya juga aku melunak." Suasana terasa hening. Semua lampu di rumah itu menyala kembali. Gema bernapas lega karena terang lampu menyinari setiap ruang. "Alhamdulillah lampunya nyala," tukas Abhi. Ia melirik jam dinding di atas televisi. Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas. "Sudah malam, sebaiknya kita istirahat. Besok adalah hari terakhirku cuti. Masih banyak yang ingin aku bicarakan Gema." Gema menghela napas. "Okay, besok kita bicara lagi. Aku juga sudah ngantuk." Gema beranjak dan berjalan begitu saja melewati Abhi yang masih mematung. "Do you want to say something before going to bed?" Abhi melirik Gema yang berjalan menuju pintu kamarnya. Gadis itu baru saja hendak memutar kenop pintu. Tapi karena Abhi bertanya, ia kembali menoleh ke arah suaminya. "Ngomong apa?" Abhi mengupas senyum tipis. "Good night misalnya... Atau selamat malam... Selamat tidur... Mimpi indah..." Gema menganggap perkataan Abhi tidaklah penting. Untuk apa ia mengucapkan kata-kata itu pada Abhi sebelum tidur. "Good night, Gema, have a nice dream," pungkas Abhi dengan senyum manis yang selalu meluluhkan. Kebekuan Gema sedikit mencair. Ada rasa "nyes" yang menyejukkan hati ketika ia mendengar tutur lembut Sang Suami. Hatinya menghangat. "Good night, Abhi," ucap Gema singkat lalu ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Abhi masih termenung, mengerlingkan satu senyum. Gadis tomboy yang unik, pikir Abhi. Entah kapan waktu akan menjawab, apakah mereka memang ditakdirkan untuk saling melengkapi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN