Tok tok tok...
Abhi mengetuk pintu kamar Gema. Tidak terdengar sahutan dari dalam. Abhi mengetuk sekali lagi.
"Gema..."
Barulah terdengar suara balasan dari dalam.
"Ya, Bhi..."
"Aku ke Masjid dulu, ya. Kamu jangan lupa salat Subuh.
"Ya, Bhi..."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Abhi melangkah keluar. Rumah mereka tidak jauh dari Masjid, hanya terpisah jarak lima rumah saja.
Gema beranjak dan masuk kamar mandi, bersiap untuk menggosok gigi dan berwudhu.
Selesai salat Subuh, Gema berjalan menuju dapur. Ia berpikir tentang apa yang bisa ia lakukan. Piring-piring kotor sudah dicuci. Sepertinya Abhi yang mencucinya, pikirnya. Semalam ia ingat belum sempat mencuci piring. Gema menduga Abhi yang mencucinya sebelum tidur.
Gema juga bingung hendak memasak apa. Namun, dia cukup paham cara merebus air. Gema mengambil salah satu panci dan mengisinya dengan air. Mungkin hanya merebus air yang mampu ia kuasai dengan baik.
"Assalamu'alaikum..."
Suara Abhi terdengar memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam."
Abhi berjalan menuju dapur karena mendengar suara sahutan Gema dari arah dapur. Ia cukup terkesima melihat istri tomboynya merebus air.
"Wow, rajin sekali." Abhi tersenyum lepas. Ia menarik kursi dan duduk lalu mengamati Gema dari belakang.
Gema membalikkan badan dan tertawa kecil. "Aku cuma merebus air, Bhi. Aku nggak bisa masak dan nggak tahu harus masak apa." Gema mengamati penampilan Abhi yang mengenakan baju koko dan peci. Diam-diam ia terpesona. Abhi terlihat lebih ganteng dari biasanya. Wajahnya begitu beraura.
"Kemarin di kulkas cuma ada sawi, wortel, dan telur. Bumbu dapur juga kayaknya banyak yang kosong. Mumpung hari ini cuti terakhir, gimana kalau kita belanja sayur dan bumbu dapur?"
Gema mengangguk. "Boleh, ide yang bagus."
"Pagi ini kita sarapan nasi goreng aja, ya. Masih ada sisa nasi. Nanti aku yang masak."
"Kamu pinter masak, ya? Aku mau lah diajari." Melihat keuletan suaminya yang memiliki keterampilan masak yang baik, Gema pun ingin belajar. Biasanya ia enggan menyentuh dapur.
Abhi senang mendengarnya. Ia tak akan memaksa Gema untuk memasak atau mengerjakan pekerjaan domestik lainnya. Namun, ia bersyukur jika Gema mau belajar memasak.
"Boleh. Aku ganti baju dulu, ya. Setelah ini kita masak bareng." Abhi beranjak masih dengan satu senyum yang tersimpul.
Suasana pagi itu terasa lebih hangat. Gema menyaksikan bagaimana cara Abhi menyiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi goreng.
"Bumbu buat nasi goreng itu simpel aja sebenarnya. Iris bawang merah, bawang putih, cabai, nanti kasih garam sedikit, sama kecap. Numisnya bisa pakai mentega biar enak." Abhi menjelaskan dengan sabar.
Gema mencoba mengiris bawang merah. Matanya tiba-tiba terasa perih hingga keluar air mata.
"Perih banget ya, Bhi. Baru aja berurusan sama bawang merah udah kayak gini. Sampai ngeluarin air mata." Gema mengucek matanya. Seumur-umur baru kali ini ia mengiris bawang.
Abhi tertawa pendek. "Kalau ngiris bawang memang suka perih. Biar aku aja yang iris." Abhi mengambil alih pisau di tangan Gema. Ia melanjutkan mengiris bawang.
"Kenapa mata jadi perih kalau ngupas bawang?" Dibanding bertanya, suara Gema terdengar seperti gerutuan.
"Karena kalau kita ngupas atau ngiris bawang, sel-sel di dalamnya rusak. Kerusakan sel ini memicu reaksi enzim dan senyawa sulfur. Keduanya becampur, ngeluarin gas syn-propanethial-S-oxide. Kalau gas ini menyebar di udara terus bereaksi dengan air di bola mata, akan berubah menjadi asam sulfat." Abhi menghela napas sejenak sementara Gema serius mendengarkan penjelasan Sang Suami.
"Asam sulfat ini bisa mengiritasi ujung kornea. Karena teriritasi, otak mengirim sinyal untuk memproduksi air mata berlebihan sebagai mekanisme pertahanan. Makanya kalau ngiris bawang kadang jadi nangis," pungkas Abhi.
"Keren banget penjelasan kamu. Oya, kamu kan guru, udah terbiasa menjelaskan materi. Cuma aku belum tahu kamu ngajar apa." Gema menatap Abhi yang menuang mentega di atas wajan.
"Aku ngajar Bahasa Indonesia."
"Aku kurang bagus di Bahasa Indonesia. Dulu pelajaran favoritku itu Matematika," seloroh Gema sembari mengamati cara Abhi menumis bumbu.
"Keren kamu suka Matematika karena banyak yang nggak suka Matematika." Abhi memasukkan nasi ke wajan lalu mengaduk-aduk dengan spatula.
"Aromanya wangi banget. Kayaknya bakal enak. Apa kamu suka masak dari kecil?"
"Mungkin dari SD kelas lima atau kelas enam. Aku terbiasa bikin lauk. Apalagi kalau bapak ibuku lagi nggak di rumah, aku yang bikin lauk buat adik-adikku." Abhi menuangkan kecap.
Gema terpesona memperhatikan keterampilan Abhi yang terlihat begitu cekatan. Rasanya banyak kejutan yang ia terima mengenai sosok Abhi Pasha Ramadhan. Laki-laki itu rajin salat di Masjid, suka masak, soft spoken, sesekali suka menggombal. Namun, ia belum jatuh pada laki-laki itu.
Gema berpikir terlalu cepat baginya untuk membuka hati. Ia ingin melihat lebih jauh kepribadian suaminya.
"Nah, nasi gorengnya sudah matang." Abhi tersenyum cerah. Ia mengambil dua piring.
Gema mengamati nasi goreng yang tampak menggoda itu. "Enak banget kayaknya."
"Cicipi aja kalau mau. Aku mau nyeplok telur dulu, ya." Abhi mengambil dua butir telur yang sudah ia siapkan.
"Aku mau belajar nyeplok telur," ujar Gema penuh semangat.
"Boleh..." Abhi menyerahkan satu butir telur pada Gema.
"Kita panaskan menteganya dulu. Kalau mau pakai minyak biasa juga bisa. Cuma menurutku lebih enak mentega."
Gema menyimak dengan serius.
"Kalau udah terasa panas, kita pecahkan kulit telurnya, lalu tuang di atas teflon." Abhi mempraktikkan apa yang ia katakan.
"Jangan dibalik dulu telurnya. Kalau dirasa bawahnya sudah matang, baru dibalik."
"Kayaknya mudah, ya, Bhi. Abis ini aku yang nyeplok, ya." Gema tak sabar ingin mencobanya.
"Okay, silakan."
Gema mencoba memasak telur ceplok sendiri. Ia begitu berhati-hati memecah kulit telur lalu menuangkan di atas teflon. Ia terkesiap kala cipratan minyak mengenai tangannya. Refleks ia pun berteriak.
"Minyaknya nyiprat-nyiprat, Bhi."
Abhi tertawa. "Pelan-pelan pas nuang telurnya. Jangan terlalu jauh dari teflon."
"Kelihatannya simpel. Pas dicoba ada kesulitannya juga, ya."
Abhi tertawa sekali lagi. "Itu karena kamu belum terbiasa. Kalau udah biasa juga mudah."
Selesai masak, keduanya sarapan bersama. Mereka duduk saling berhadapan. Gema lahap memakan nasi goreng yang dilengkapi telur ceplok. Rasanya tak kalah dengan nasi goreng yang biasa ia beli di mamang gerobak langganannya.
"Nasi gorengnya enak banget, aku suka. Kamu tuh bisaan ya." Gema tersenyum merekah.
"Alhamdulillah kalau kamu suka. Sebenarnya semua orang bisa masak kalau mau belajar."
"Ya, tapi tidak semua orang bisa masak enak," tukas Gema sembari menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya.
"Iya memang, tapi bisa banget dipelajari kalau kita ingin masakannya jadi lebih enak," balas Abhi yang senang melihat Gema memakan nasinya dengan lahap.
"Selesai sarapan, aku mau bicara sama kamu. Setelah itu, kita pergi beli sayur."
Gema mengangguk pelan. "Okay."
*****