Seusai sarapan keduanya duduk di ruang tengah. Atmosfer terasa hangat meski keduanya kadang masih canggung satu sama lain. Mereka tengah belajar untuk saling mengenal lebih dekat.
"Kamu tadi mau ngomong apa?" Gema melirik Abhi yang duduk di sebelahnya.
"Tentang kewajiban dan hak kita sebagai suami istri," balas Abhi tegas.
"Apa nggak sebaiknya nanti saja? Karena aku ingin semua mengalir. Aku nggak ingin dibebani dengan tugas, kewajiban, dan hal-hal lain. Kamu tahu kan dari awal aku nggak menginginkan perjodohan ini?"
Abhi mengangguk-angguk. "Ya, ya, ya... Sabar dulu, Gema. Let me speak first, okay?"
Gema pun mengunci mulutnya. Ia biarkan Abhi bicara lebih dulu.
"Aku punya kewajiban kasih kamu nafkah, membimbing kamu, mengayomi kamu... Untuk soal nafkah, kayaknya kita harus bicara transparan soal ini."
Gema masih menyimak.
"Nafkah itu ada nafkah lahir, ada nafkah batin. Aku wajib ngasih nafkah lahir seperti sandang, pangan, papan, uang kebutuhan pribadimu, dan uang belanja. Makanya aku punya cita-cita bisa bangun rumah sendiri biar nggak tinggal di rumah pemberian orang tuamu. Ini jadi beban omongan juga. Banyak yang komentar negatif."
"Nggak usah dengerin omongan orang, Bhi. Anggap aja rumah ini rezeki kita," timpal Gema.
"Iya, ini rezeki kita. Tapi punya impian untuk benar-benar mandiri, nggak ada salahnya, 'kan? Lalu terkait uang untuk pengeluaran rumah tangga, itu juga jadi tanggung jawabku. Biaya listrik, air, wifi, kebutuhan dapur, termasuk kebutuhan kamu, itu semua kewajibanku. Cuma aku ingin kamu tahu kondisi finansialku." Gema menatap Gema begitu serius.
Abhi melanjutkan kata-katanya. "Gajiku sebagai guru honorer itu kecil, di bawah UMR. Nggak sebanding dengan beban kerja. Tapi kenapa aku bertahan? Karena aku mencintai dunia pendidikan dan murid-murid. Dan aku nggak mungkin ngandelin gaji di bawah UMR untuk terus bertahan. Aku cari cara untuk bisa membantu meringankan beban orang tua, terutama membiayai adik-adikku. Ayahku pensiunan guru dan mendapat dana pensiun tiap bulan. Tapi kebutuhan adik-adikku juga banyak." Abhi mengembuskan napas pelan. Tatapannya masih menyasar pada Gema yang terdiam menatapnya.
"Aku coba mencari pekerjaan lewat online. Aku benar-benar mulai dari nol mengajukan lamaran-lamaran ke perusahaan online yang butuh desain grafis. Dari yang tidak punya klien sama sekali, sampai akhirnya punya klien tetap. Penghasilan juga udah naik. Karena aku masih pemula, penghasilanku belum nyampai sepuluh juta. Dan aku masih berjuang di sini untuk meningkatkan lagi income yang bisa aku dapat."
Gema mendengar dengan saksama. Sejujurnya ia pun tak menuntut diberikan uang yang banyak oleh Abhi karena hingga detik ini, ia masih dapat jatah uang saku dari ayahnya. Gema pun berencana untuk mencari pekerjaan. Dia sedang mencoba menekuni affiliate di media sosial yang juga bisa memberikan penghasilan meski belum banyak.
"Jadi kamu nggak usah khawatir nggak bisa makan atau melihat gaji guru yang kecil lalu kamu pesimis. Insya Allah aku akan mengusahakan yang terbaik." Abhi menegaskan pernyataannya.
Gema merasakan wibawa Abhi semakin bertambah ketika tengah serius begini.
"Aku tahu mungkin apa yang aku kasih ke kamu, tidak sebesar apa yang diberikan Papi. Dan penghasilanku nggak ada apa-apanya dibandingkan penghasilan Papi yang punya usaha di mana-mana. Aku cuma mohon pengertian dari kamu dan kamu terus mendukungku untuk berkarya."
Gema mengangguk. "Aku paham, Abhi."
"Kalau kamu masih saja suka clubbing, aku nggak bisa memenuhinya. Masuk ke club aja bayarnya mahal, 'kan?" Sorot mata Abhi telat menghunus kedua mata Gema membuat gadis itu deg-degan.
"Lalu yang kedua, nafkah batin. Ehm... Tanpa harus kujelaskan, kamu pasti sudah paham."
"Kamu yakin aku paham hal itu?" Gema menyipitkan matanya.
"Ya, coba kamu jelaskan dulu nafkah batin itu apa." Abhi mempersilakan Gema untuk menjabarkan.
Gema memutar matanya. Ia sering membaca postingan tentang nafkah batin seputar hubungan suami istri. Saat hendak akad, penghulu dari KUA juga sempat memberikan ceramah tentang kewajiban dan hak suami istri. Namun, membicarakan secara pribadi dengan Abhi membuatnya merasa seperti terjebak di persimpangan. Ia takut Abhi akan menuntut haknya.
"Jika maksud kamu nafkah batin itu tentang .... Tentang hubungan intim antara suami istri, tolong jangan jadikan ini senjata untuk memojokkanku." Gema sedikit ketus.
Abhi tertawa kecil. "Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Pikiran kamu selalu buruk tentang aku. Atau aku kelihatan m***m banget ya? Yang ujung-ujungnya membahas ranjang?"
Gema tak menjawab. Abhi masih terkekeh.
"Tapi ini memang jadi bagian dari pernikahan, Gema. Ada kewajiban terkait hubungan suami istri ini. Suami wajib kasih nafkah batin yang satu ini. Istri juga wajib melayani di ranjang. Cuma, aku masih ingat dengan kesepakatan kita dan aku nggak akan memaksa." Abhi menekankan kata demi kata. Sementara tatapan mata itu masih tertuju pada wajah Gema yang tampak menggemaskan ketika sedang cemberut.
"Nafkah batin juga nggak selalu tentang ranjang, Gema. Kasih sayang, perhatian, kepedulian, rasa aman, dukungan emosional, kebersamaan, waktu yang berkualitas, ini semua juga masuk dalam nafkah batin."
Gema mengangguk berulang kali. "Ya, aku paham. Makasih udah menjelaskan."
"Aku hanya menerangkan saja. Perkara kamu mau melaksanakan atau tidak, itu terserah kamu karena aku menghormati kesepakatan yang sudah kita buat." Abhi mengulas senyum tipis. Senyum yang begitu manis dan melumpuhkan.
Hanya dengan melihat senyum itu, Gema rasakan ada sesuatu yang berdesir dan membuatnya tak berkutik.
"Sekarang kamu mandi dulu, siap-siap, terus kita berangkat beli sayur. Aku udah mandi sebelum ke Masjid."
Gema memicingkan matanya. "Kamu mandinya pagi banget."
"Iya, udah biasa. Lagipula emang harus mandi sih... Soalnya..." Ucapan Abhi menggantung di ujung.
"Soalnya apa?" tanya Gema dengan polosnya.
"Soalnya, semalam aku ...aku mimpi... Kamu tahu mimpi basah, 'kan? Aku mimpi basah jadi harus mandi wajib. Kata orang sih kalau udah nikah bakal jarang mimpi basah karena udah tersalurkan. Karena belum tersalurkan makanya aku mimpi basah."
Ucapan Abhi membuat bibir Gema mengerucut. "Hmm mancing nih... Ujung-ujungnya aku juga yang salah nih."
Abhi tertawa puas. Sementara Gema masih cemberut. Abhi menempelkan bantal sofa ke lengan Gema. "Udah sana mandi..."
"Iyaa... Ini juga mau mandi." Gema beranjak dan tertawa kecil.
Abhi senyum-senyum sendiri. Interaksi mereka kadang seperti teman dibanding pasangan. Namun Abhi menikmati prosesnya. Rasa itu pasti akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
Tiba-tiba Gema keluar dari kamarnya.
"Abhi kok shower di kamar mandi macet, ya. Coba deh kamu cek."
Abhi pun beranjak. Ia segera melangkah ke kamar Gema untuk mengecek shower di kamar mandi dalam.
Abhi memegang kepala shower sementara Gema berdiri di sebelahnya. "Kayaknya mampet, coba aku lepaskan sebentar."
Abhi membuka kepala shower dan menggoyangkannya. Air pun menetes membasahi jarinya. Ia memasangkan kembali kepala shower itu lalu meminta Gema untuk menyalakan shower.
Air kembali mengalir, tapi terlalu deras alirannya hingga membasahi keduanya.
"Wow... Aku jadi mandi lagi nih." Baju Abhi basah terkena air yang mengalir deras.
Gema tertawa melihatnya. Bajunya juga basah terkena aliran air. Saat itu jarak antara dirinya dan Abhi begitu dekat. Keduanya saling menatap dengan deru napas yang berkejaran.
Tawa itu terhenti dan berganti senyap. Hanya gemericik air yang menjadi pengiring suara. Gugup, deg-degan, berdebar, ada getaran yang merambat, semua bercampur-campur. Abhi menyandarkan telapak tangannya di dinding, sementara tubuh Gema menghimpit dinding. Jarak mereka kian terpangkas.