Abhi dan Gema masih saling menatap dengan gemuruh rasa yang mendebarkan. Air yang merembes membasahi baju seharusnya membuat mereka kedinginan, tapi tidak dengan yang mereka rasakan. Ada getaran yang merambat seakan menyentuh setiap sudut hati. Ada desiran yang menjalar hingga membuat debaran keduanya tak jua berhenti. Ada sepercik rasa ingin menghentikan waktu sejenak agar mereka bisa lebih lama menatap keindahan rupa masing-masing.
Abhi tersenyum tipis. Senyum yang bagi Gema bisa meluluhkan siapa pun yang melihatnya. Atau dia memang begitu terpesona pada suaminya sendiri? Yang pasti ia salah tingkah setiap kali Abhi menatapnya lekat dari jarak yang kian terpangkas.
Abhi menelan ludah. Menatap Gema sedekat ini tentu hadirkan gelenyar aneh. Hasrat untuk memulai kedekatan yang lebih intim harus ia kubur tatkala teringat akan kesepakatan mereka. Siapa yang bisa bertahan? Sementara kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang romantis itu sebenarnya selalu ada.
Abhi memberanikan diri menyentuh pipi Gema, mengusapnya pelan untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu Gema menolak. Namun, gadis itu diam mematung. Apa ia juga menginginkannya?
Gema menatap Abhi tanpa suara. Fokusnya hanya terfokus pada mata Abhi yang masih menatapnya dan bibir Abhi yang begitu seksi. Apalagi ketika Abhi menggigit bibirnya.
Gema merasa debaran itu lebih cepat berpacu tatkala jari-jari Abhi bergerilya di pipinya dan tiba-tiba jari-jari itu berpindah untuk menyentuh bibirnya. Gema semakin tak berkutik. Ingin ia melawan, tapi nyatanya sentuhan lembut itu membuat hatinya menghangat.
"Assalamu'alaikum Abhiiii... Gema..."
Baik Abhi maupun Gema kaget bukan main mendengar suara Fatma memasuki rumah. Pintu depan memang tidak dikunci.
"Gimana ini?" Gema menepuk keningnya. Ia merutuk kenapa maminya harus datang di saat yang tidak tepat.
"Kita jelaskan apa adanya saja."
"Gemaaa. Abhiii.. di mana kalian?" Fatma mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Gema dan Abhi buru-buru keluar dari kamar dan menemui Fatma yang membawa rantang tiga susun.
"Mami... Tadi shower kamar mandi rusak. Pas Abhi benerin, eh airnya malah keluar deras banget. Jadi basah, deh." Gema berusaha menjelaskan meski ia sedikit gugup.
Abhi tersenyum. "Nggih, Mi. Tadi sedang benerin shower. Alhamdulillah udah normal lagi shower-nya."
Fatma pun tersenyum penuh arti. Ia melirik Gema yang berdiri di sebelah Abhi.
"Kamu manggil Abhi pakai nama aja. Coba panggil dia "Mas". Biar lebih sopan dan manis." Fatma tersenyum menatap putri dan menantunya bergantian.
Gema melirik Abhi yang tersenyum ke arahnya seakan menyetujui saran dari Fatma.
"Iya, Mi. Nanti Gema ubah panggilan ke Abhi jadi Mas. Mas Abhi yang baik, manis, dan ganteng." Gema tersenyum melirik Abhi dengan sedikit mual karena harus membiasakan diri dengan panggilan itu.
Abhi terkekeh dalam hati.
"Mami cuma bentar aja. Ini Mami bawakan nasi sama lauknya. Enak-enak pokoknya. Kalian udah seakan belum?" Fatma menatap Abhi dan Gema bergantian.
"Udah, Mi," balas Gema.
"Sarapan apa?"
"Nasi goreng. Abhi... maksudnya Mas Abhi yang masak. Enak banget, Mi." Gema tersenyum lebar.
Abhi tersanjung mendengarnya.
"Kalian hari ini rencana ke mana?" Fatma bertanya lagi.
"Rencana mau beli sayur, Mi," jawab Abhi.
Fatma tersenyum mendengarnya. "Baguslah, biar Gema belajar masak."
"Ya, udah Mami pulang dulu, ya. Mau mampir ke rumah Bu Diro dulu, mau titip uang arisan. Abis itu langsung pulang."
Abhi dan Gema mengangguk.
"Apa perlu saya antar, Mi?" Abhi menawarkan diri mengantar ibu mertuanya.
"Nggak usah, Mami naik motor sendiri, kok. Ya, udah Mami permisi dulu, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Abhi dan Gema mengantar Fatma hingga ke halaman rumah yang tidak terlalu luas. Setelah motor itu melaju, Gema dan Abhi saling berpandangan dengan raut wajah yang berbeda. Keduanya semakin canggung teringat momen kedekatan mereka di kamar mandi, meski singkat.
"Aku mandi dulu ya, Mas." Satu garis senyum melengkung di kedua sudut bibirnya.
Hati Abhi menghangat mendengar Gema memanggilnya "Mas".
"I...i... iya, Mas tunggu, ya." Abhi pun mengerlingkan satu senyum.
Gema berlalu dari hadapan Abhi dengan debaran yang masih bertalu.
*****
Abhi dan Gema berbelanja sayur di Pasar Wage. Sebelumnya Gema terbiasa membeli sayur atau buah di supermarket yang khusus menjual buah, sayur, dan bahan pangan lain. Banyak sayur dan buah organik di sana. Namun, kali ini ia belajar berhemat dengan membeli sayur di pasar tradisional.
Aneka sayur terhampar begitu segar. Meski sebelumnya Gema tidak terbiasa di dapur, tapi ia senang melihat aneka sayur yang menyegarkan mata.
Abhi dan Gema memilih-milih sayuran di salah satu penjual. Sesekali Abhi menanyakan harga.
"Pinten niki, Bu?" (Berapa ini, Bu?) tanya Abhi sembari mengangkat satu kubis.
"Sekilo gangsal ewu, Mas." (Sekilo lima ribu, Mas), jawab ibu penjual.
Gema melirik paprika. Ia tahu harga paprika lebih mahal dibanding sayur lainnya. Ingin ia memungutnya, tapi sungkan.
"Kamu pingin beli apa, Gema? Ambil aja." Abhi melirik Gema yang mematung mengamati sayuran di depannya, terutama paprika merah, kuning, dan hijau yang mencolok.
Gema tersenyum tipis. "Terserah Mas aja mau beli apa."
Abhi mengambil satu paprika merah. "Kamu mau paprika?"
Gema mengangguk. "Mas Abhi ada uangnya nggak? Soalnya harga paprika lebih mahal dibanding yang lain."
Abhi tersenyum lembut. "Ada, tenang aja. Ambil aja yang kamu mau."
Gema mengambil satu paprika merah dan satu paprika kuning. Ia mengamati sayuran lainnya. Selasa dan mentimun tak luput dari perhatiannya karena ia suka lalapan.
"Mas Abhi?"
Baik Abhi maupun Gema menolak pada seorang gadis berjilbab yang menyapa.
"Reva?" Abhi terkejut dengan kedatangan Reva. Ia tak menyangka bertemu Reva di pasar.
Gema memperhatikan Reva baik-baik. Gadis berjilbab itu terlihat cantik dan anggun. Gadis itu tersenyum padanya dan mengangguk. Gema membalas senyum itu meski ada sedikit kecemburuan setelah kemarin gadis itu menyelipkan surat untuk Abhi di kado pernikahan.
"Nggak nyangka ketemu kalian di sini." Reva tersenyum manis. Kerudung warna krem sangat pas dengan bentuk wajah ovalnya.
"Iya, nggak nyangka. Mumpung ini cuti terakhir jadi saya sama istri belanja sayur buat isi kulkas yang udah kosong." Abhi mencoba bersikap ramah meski ia merasa tak enak hati karena ekspresi Gema tampak datar. Sebelumnya gadis itu begitu ceria. Setelah Reva datang, ekspresi wajahnya berubah datar.
"Besok udah masuk berarti ya. Anak-anak udah pada nanya, kapan Pak Abhi berangkat. Udah kangen diajar sama Pak Abhi," ucap Reva. Dia juga mengajar Bahasa Indonesia.
"Saya sudah nitip ke Pak Anton dan teman lainnya buat ngisi kelas selama saya cuti. Insya Allah besok saya sudah aktif ngajar."
"Oh iya, saya juga ikut ngisi jamnya Mas Abhi. Pas banget saya lagi kosong waktu itu." Reva sesekali memperhatikan Gema yang sibuk memilih sayuran. Gadis itu sangat tomboy, tapi nyatanya Abhi memilihnya sebagai istri.
"Terima kasih atas bantuannya, Reva," ucap Abhi dengan satu senyum.
"Sama-sama, sesama rekan kerja harus saling membantu. Saya permisi dulu, ya. Selamat berbelanja." Reva tersenyum dan menganggukkan kepala pada Gema.
Gema memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
Setelah Reva berlalu dari hadapan mereka, Gema melirik Abhi tajam. Dengan tampang polosnya, Abhi tersenyum pada Gema dan bersikap biasa.
"Itu yang namanya Reva?" Gema melirik Abhi yang mematung di sebelahnya.
Abhi mengangguk. "Iya."
"Cantik, ya..." balas Gema data.
Abhi tak merespons. Diam adalah senjata terbaiknya. Menjawab "ya" nanti malah disalahkan, menjawab "tidak" terkesan tidak menghargai perempuan.
"Kok nggak jawab?" tanya Gema lagi.
Abhi tersenyum. "Kamu yang cantik," balas Abhi mencari aman.
"Gombal," ucap Gema sambil mencebikkan bibirnya. Namun, dalam hati ia merasa senang.
Tangan Abhi menjinjing satu keranjang, sementara tangan satunya lagi menggandeng Gema berjalan menyusuri pasar. Gema melirik tangan Abhi yang menggenggamnya erat. Dia tersenyum dan tersipu, tapi ia biarkan meski sebenarnya telah melanggar kesepakatan untuk tidak saling bersentuhan.
Ikuti saja semuanya, mengalir seperti air. Gema merasa terlindungi dan aman setiap bersama Abhi.