Gema dan Abhi masih saling menatap dengan debaran yang semakin bertalu. Ini pertama kali bagi keduanya berhadapan sedekat ini. Wajah Abhi yang ganteng dan manis seolah membius Gema hingga sesaat lupa pada kesepakatan yang ada. Begitu juga dengan Abhi yang fokus menatap istrinya lekat-lekat. Jujur, ia penasaran bagaimana rasanya ciuman pertama... Lalu s*x pertama... Kadang miris, karena meski telah menikah, rasa penasaran itu ujung-ujungnya berakhir pada fantasi liar yang menari-nari di kepala Abhi, tidak ada penyaluran.
Ketika Abhi sedikit mendekatkan wajahnya, Gema segera bergeser. "Ingat dengan kesepakatan kita, Abhi. No s*x, no physical contact," ucapnya mengingatkan.
Abhi mengembuskan napas kecewa. Entah sampai kapan Gema bertahan dengan gengsinya. Kenapa dia tidak membiarkan semuanya mengalir?
"Sepertinya kesepakatan pertama harus direvisi, ada tambahan," tukas Abhi. Badannya bersandar di dinding, sedangkan Gema bergeser lebih jauh dari Abhi.
"Revisi gimana?"
"Tidak ada s*x dan kontak fisik, kecuali jika keduanya menginginkannya." Abhi tersenyum menggoda.
Gema tersenyum miring. "Itu akan menguntungkanmu. Kamu mungkin menginginkannya, tapi aku tidak." Gema menekankan kata "tidak" sebagai penegasan bahwa dirinya tidak berminat pada aktivitas semacam itu.
Abhi menggaruk kepalanya. "Tapi kamu paham kan kewajiban suami istri?" Abhi menyipitkan matanya.
"Nggak usah bahas itu dulu, Bhi. Kalau udah ada rasa, baru lah kita bahas. Sementara ya kita kayak gini aja. Jalankan semua kesepakatan dan biarkan semua mengalir."
Abhi tak merespons. Namun, ia tak akan memaksa istrinya untuk belajar menjalani sebenar-benarnya pernikahan.
*****
Malam ini lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Hujan merintik pelan, semakin lama semakin deras. Keduanya belum makan malam dan cuaca dingin membuat mereka merasa lebih cepat lapar.
Gema tak biasa memasak. Bahkan ia sempat bertanya bagaimana cara memasak mie instant. Hal ini membuat Abhi terkejut.
"Bahkan mie instant pun kamu nggak tahu cara memasaknya?"
"Aku jarang banget makan mie. Di rumah tinggal makan aja. Waktu kost di Jakarta, makan tinggal beli." Gema mengamati cara Abhi memasak mie yang dimulai dengan merebus air terlebih dahulu.
"Jujur, aku jarang banget ke dapur. Mami Papi juga nggak pernah nyuruh aku masak. Dipikir-pikir harusnya aku belajar masak dari dulu, ya." Gema masih sibuk mengamati Abhi yang mengiris sawi dan cabai agar rasa pedasnya lebih dominan.
"Kenapa kamu baru mikir sekarang untuk belajar masak?" tanya Abhi yang masih fokus mengiris sayur di depannya.
"Ya, karena biar nggak bingung kalau hujan gini. Nggak bisa keluar rumah buat beli makan. Pesen go food juga suka lama nunggunya. Kalau bisa masak sendiri, kita tinggal masak aja selama bahannya ada di kulkas."
Abhi menggerutu dalam hati. Ia terlalu berekspektasi lebih. Ia pikir Gema sudah menyadari bahwa dirinya sudah menikah yang harus berkerja sama dengan suami untuk mengerjakan pekerjaan domestik sesuai kesepakatan, termasuk memasak.
"Lihat baik-baik, Gem. Perhatikan caranya. Jangan sampai besok-besok kalau saya belum pulang, terus kamu mau makan mie, nggak bisa masaknya."
Gema manggut-manggut. Ia melihat air berbuih dan berbunyi.
"Ini artinya airnya sudah mendidih. Pertama kita masukkan mienya dulu. Tunggu sampai matang atau menuju ke matang baru nanti kita masukkan sayurnya."
"Kenapa harus mie-nya dulu?" tanya Gema dengan polosnya.
"Karena sayur lebih cepat matang, jadi kita masukkan sayurnya pas udah mau matang aja. Merebus sayur juga nggak usah lama-lama, bentaran aja karena untuk menjaga nutrisi biar nggak banyak yang hilang."
Gema banyak belajar dari Abhi. Perkara masak mie instant mungkin sederhana dan hal yang mudah bagi orang lain, tapi baginya ini luar biasa. Gema kembali menatap Abhi yang begitu serius memasak. Laki-laki itu teramat terampil dan tampak benar jika ia terbiasa memasak.
Setelah matang, Abhi menuang mie rebus itu ke dalam dua mangkok. Ia sajikan hangat-hangat di meja makan.
"Yuk, makan dulu, katanya tadi laper." Abhi melirik Gema yang duduk membisu.
Gema mencium aroma mie rebus yang begitu menggugah selera. Ia duduk di hadapan Abhi dan mengamati mie rebus yang sudah disajikan dengan sawi dan potongan cabai.
Gema menyuapkan mie itu pelan-pelan karena masih panas. Ia tak menyangka rasa mie rebus buatan Abhi bisa begitu nikmat. Ia bukan penggemar mie, tapi pengecualian untuk mie yang dimasak Abhi.
"Gimana enak nggak?" Abhi penasaran dengan respons Gema. Gadis itu begitu serius memakan mie tanpa bersuara sepatah kata pun.
"Enak banget, Abhi. Aku belum pernah makan mie rebus seenak ini." Gema tersenyum lebar. Jika sedang senyum seperti ini, wajahnya terlihat lebih manis.
Abhi merasa lega. Ia senang melihat Gema menyukai masakannya.
"Gema, makanan favorit kamu apa?"
Gema mengangkat wajahnya. Abhi berusaha mencairkan suasana untuk mengusir rasa canggung yang terkadang mengetuk.
"Aku suka makan penyetan. Ayam penyet, tahu penyet, tempe penyet. Pokoknya yang pedas-pedas. Kalau kamu suka apa?"
Abhi tersenyum tipis. Ia menatap Gema lekat-lekat. "Kamu."
Deg... Hati Gema berdesir.
"Kamu pikir aku bakal mempan sama gombalanmu. Nggak nyangka aja guru yang katanya alim, soft spoken, ternyata tukang gombal."
Abhi terkekeh. "Gombal sama istri sendiri kayaknya sah-sah aja."
"Sama cewek lain juga kah?"
Abhi mengernyitkan dahi.
"Maksudku sama cewek lain sebelum kita nikah." Gema segera meralatnya
"Nggak lah, mana berani aku nggombalin cewek. Pas udah nikah aja aku berani nggombalin kamu."
Suasana mendadak hening.
"Mau nambah lagi nggak mie-nya?" tanya Abhi untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.
"Nggak usah. Ini juga udah banyak."
Senyap lagi...
Sesekali mereka mencuri pandang. Ketika netra mereka bertabrakan, keduanya berpura-pura memandang ke arah lain.
Tatapan Gema begitu menelisik, mengamati Sang Suami dari ujung kepala hingga kaki. Ketika laki-laki itu tengah begitu serius dan fokus pada apa yang sedang dikerjakan, pesonanya bertambah berkali-kali lipat. Termasuk saat tengah menyeruput mie. Namun, Gema tak mau jatuh begitu saja. Ia butuh waktu lebih banyak untuk menilai karakter Abhi dan benar-benar menerima status laki-laki itu sebagai suami.
Abhi pun menatap Gema berulang-ulang kali. Sejak awal pertemuan mereka, Abhi menyadari jika Gema memiliki magnet tersendiri yang membuat orang lain tak cukup hanya dengan sekali tatap. Ia tak perlu lagi mencari-cari kecantikan Gema ada di mana, karena semua yang ada padanya terlihat cantik.
Abhi tersenyum tipis. Ia bertanya-tanya, apa dia sudah jatuh cinta? Atau hanya kagum semata? Dan ia tak akan menutup hati karena cinta perlu diupayakan dari langkah awal yang sangat krusial, yaitu membuka pintu hati.
Abhi meneguk air dari gelas kaca.
"Oya, Abhi, nanti ke kamarku ya."
Abhi seketika tersedak. Ia membelalakan mata, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
"Ke kamarmu? Ngapain?" Abhi gugup dan deg-degan. Apa Gema sudah siap untuk tidur satu ranjang?
Gema berdehem dan menautkan jari-jarinya. Wajahnya tertunduk. Perlahan ia angkat wajahnya dan menatap Abhi lekat.
"Unboxing," jawab Gema singkat.