Are You Ready for Our First Kiss?

1162 Kata
Hari ini Abhi dan Gema pindah ke rumah mereka yang sudah disiapkan Burhan. Rumah minimalis tapi cukup luas ini adalah rumah keluarga Gema yang awalnya dikontrakkan, tapi sekarang diserahkan pada Gema dan Abhi. Banyak gonjang-ganjing di luar sana yang menyatakan bahwa Abhi begitu beruntung menjadi menantu orang kaya. Bahkan Abhi masih ingat dengan omongan pedas tetangga dalam bahasa ngapak. Mereka memang tinggal di daerah yang berbahasa ngapak, Purwokerto. Namun, Gema tak begitu lancar berbahasa Jawa karena dia baru pindah ke Purwokerto ketika SMA. Saat kuliah, Gema kembali ke Jakarta karena diterima di salah satu universitas di Jakarta. 'Jan beja temen si Abhi. Tembe nikah wis gari genjlup mlebu umah, ora perlu usaha. Ora kayak inyong, nikah wis sepuluh tahun esih numpang mertua. Mending nek mertuane eman, mertuaku galake kayak Dajjal.' (Wah beruntung banget si Abhi. Baru nikah udah tinggal masuk rumah, nggak perlu usaha. Nggak kayak aku, nikah udah sepuluh tahun masih numpang mertua. Mending kalau mertuanya sayang, mertuaku galak kayak Dajjal). Perkataan Soleh, tetangganya masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Abhi berjanji, jika suatu saat dia memiliki rezeki untuk membangun atau membeli rumah, dia akan membangun atau membeli rumah dengan uangnya sendiri tanpa harus bergantung pada kebaikan orang tua Gema. Gema mengantar Abhi ke salah satu ruangan. "Abhi, ini kamar kamu. Kamar aku ada di depan kamarmu." Abhi mengamati sekeliling ruangan. Kamarnya rapi dan cukup luas dengan ranjang yang ukurannya lebih dari cukup untuk satu orang. Ia membayangkan jika Gema tidur di kamarnya, space di ranjang ini masih tersisa banyak, apalagi jika tidurnya sambil berpelukan. Eittt... Abhi segera membuang jauh-jauh imajinasinya. Abhi mengamati lemari kayu, meja dan kursi, serta rak buku yang menambah kesan elegan. Kamar yang nyaman, pikir Abhi. "Kamar mandi ada di sebelah, ya. Maaf kamar mandinya di luar kamar. Ruang kamar yang ada kamar mandinya sudah aku tempati." "Nggak apa-apa, Gema. Kamar ini sudah sangat bagus dan nyaman buat saya. Di rumah saya tidak ada kamar mandi di dalam kamar, jadi saya sudah terbiasa." "Baguslah. Di ruang tengah ada televisi dan buku-buku. Kalau mau nonton tv, tinggal nyalain aja. Intinya rumah ini rumah kita bersama. Jadi kamu berhak menggunakan fasilitas apa saja di rumah ini." Gema tersenyum tipis. Keduanya saling menatap tanpa suara. Abhi menatap Gema lekat. Ditelisiknya wajah Gema yang semakin diperhatikan semakin manis. Namun, gadis itu sangat keras kepala. Ia akan berikan waktu pada gadis itu untuk memahami arti pernikahan. Dan ia pun akan memberikan waktu pada dirinya sendiri untuk mengenal Gema lebih dekat. Memang belum ada rasa, tapi rasa itu kemungkinan akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Ditatap sedemikian lekat membuat Gema sedikit salah tingkah. Abhi memiliki mata tajam yang ketika menatap seolah tatapan itu siap memberikan dunianya seutuhnya. "Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu?" Gema bertanya dengan nada yang cukup ketus. "Nanyanya jangan ketus-ketus dong. Yang manis dikit, kenapa Mas Abhi lihatin aku kayak gitu?" Suara Abhi sengaja dibuat mendayu, "nah nanya lembut gini kan enak didenger." "Idih, kamu maunya dipanggil 'Mas'. Aku nggak mau manggil 'Mas'." Gema mengerucutkan bibirnya. "Ya, kalau dipanggil 'Mas' berasa lebih manis aja." "Nggak! Aku nggak mau manggil kamu 'Mas'." Gema tak sudi memanggil Abhi dengan sebutan 'Mas Abhi'. "Ya, udah nggak apa-apa. Apa mau manggil Baby, Honey, Sayang?" Kedua alis Abhi terangkat, ig gerakkan naik turun." "Ini lagi panggilan apaan. Bikin enek aja, mual kali kalau manggil pakai paggilan sayang kayak gitu." Gema bergidik. "Kan belum dicoba. Panggilan positif itu bisa memberikan energi positif." Abhi semakin bersemangat untuk meledek. "Ogah..." Gema membalas ketus. "Kamu tuh suka sama cowok nggak sih, Gem? Kok ketus banget sama saya? Apa nggak ada sedikit pun getaran sama cowok ganteng kayak saya?" Abhi menaikkan sebelah alisnya dibarengi senyum yang teramat manis seperti gula merah. "Narsis banget kamu. Kamu ngarep aku bergetar lihat kamu?" Nada bicara Gema masih terdengar ketus. "Wajar saya ingin tahu. Kamu bilang nggak pernah pacaran, tapi kalau jatuh cinta pernah 'kan? Atau minimal suka sama cowok?" Abhi bertanya lagi. Entah, ia ingin mengenal karakter Gema lebih dalam. Ia menduga pasti ada banyak yang belum ia tahu dari Gema tentang kepribadian atau masa lalunya termasuk kenapa istrinya lebih nyaman berpenampilan seperti laki-laki. "Kepo banget kamu," balas Gema singkat. "Atau kamu nggak suka cowok?" tanya Abhi frontal, tanpa tedeng aling-aling. Ekspresi wajah Gema berubah. Ia agak kesal mendengar pertanyaan berulang seperti ini. Banyak yang meragukan orientasi seksualnya. Ia sepenuhnya straight. Ia menyukai cowok, apalagi cowok macho, ganteng, dan berbadan atletis. Cowok cute seperti Taehyung BTS pun ia suka. "Kamu ragu aku suka cowok apa nggak hanya karena aku tomboy?" Gema menatap Abhi lebih tajam. "Saya nggak bermaksud nyinggung kamu. Tapi kamu sama sekali nggak ada ketertarikan sama saya. Makanya saya nanya. Apa saya kurang ganteng? Kurang baik?" "Nggak ada ketertarikan sama kamu bukan berarti nggak tertarik sama cowok lain," balas Gema cepat. "Oh, jadi kamu tertarik sama cowok lain?" Abhi memasukkan dua tangannya ke kantong celananya. Sementara matanya masih awas mengamati Gema. "Oh, banyak cowok yang aku suka. Ada Taehyung BTS, ada Chris Evans, Cristiano Ronaldo, Zayn Malik, Ji Chang Wook, Le Minho, banyak..." Abhi hanya menyeringai mendengar sederet tokoh publik figur yang disebutkan Gema. "Harusnya aku yang nanya sama kamu. Apa kamu suka cewek? Mengingat selama 29 tahun hidup, kamu belum pernah pacaran." Gema membalikkan pertanyaan. "Kamu meragukan saya?" Abhi menyipitkan matanya. "Impas 'kan? Kamu juga ragu sama aku." "Okay, biar nggak saling ragu, kita tidur seranjang aja malam ini. Gimana?" Abhi tersenyum penuh arti. "Ngapain tidur seranjang? Kamu mau nyari kesempatan?" Gema bertanya dengan sewot. "Ya biar kita nggak saling ragu. Atau gini aja... Saya cium kamu biar kamu tahu sejantan apa suami kamu ini." Gema tertawa kecil meski jauh di dasar hati, ia merasa gugup. "Pacaran aja nggak pernah, lagaknya kayak udah pengalaman nyium cewek. Paling-paling nggak pernah ciuman dan nggak bisa." Gema tersenyum miring. Ia meremehkan kemampuan Abhi. "Memangnya kamu pernah ciuman?" Abhi membalikkan tuduhan Gema. "Ya, nggak sih. Tapi bisa lah kalau pakai insting," jawab Gema sekenanya. "Okay, saya juga bisa pakai insting. Kenapa kita nggak coba praktekin?" Abhi menatap Gema dengan semburat merah menyapu wajahnya. Sejujurnya ia gugup bukan main. "Kamu nantangin saya?" Abhi memangkas jarak dengan melangkah maju. Gema sedikit mundur. Tiba-tiba ia merasa deg-degan. Abhi maju satu langkah ke depan, membuat Gema semakin tersudut. Gadis itu mundur lagi. "Nantangin apa?" tanya Gema sedikit terbata. "Nantangin ciuman. Dijamin ciuman saya bisa bikin kamu merem melek." Abhi semakin maju melangkah. Gema tak punya pilihan lain selain terus mundur. Ia agak takut melihat tatapan tajam Abhi terus menyasar padanya. Punggung Gema menabrak dinding. Abhi menyandarkan satu tangannya di dinding, persis di sebelah kepala Gema. Gema semakin deg-degan. Ada desiran yang tiba-tiba menelusup tatkala ia melihat wajah Abhi dari jarak jarak yang begitu dekat. "Mau dicoba?" tanya Abhi lembut seraya menatap wajah istrinya begitu menelisik seakan tengah mengamati inci demi inci. Gema menelan ludah. Tatapannya terpusat pada bibir Abhi yang tampak menggoda dan bertambah sensual kala laki-laki itu menggigit bibirnya. Keduanya saling menatap dengan gempuran rasa yang tak bisa dijelaskan. Masing-masing mencoba menetralkan debaran yang masih merajai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN