"Abhi, Bapak sama Ibu sudah sepakat sama Pak Burhan dan Bu Fatma, kalau kamu akan dinikahkan dengan putri mereka yang bernama Gema." Santoso melirik putranya yang tengah membaca buku.
Abhi mendelik. Ia bahkan belum pernah bertemu dengan Gema sebelumnya. Umurnya menginjak 29 tahun ini dan orang tuanya sudah ribut urusan jodoh. Padahal dirinya belum siap menikah.
"Gema yang mana lagi, Pak, Bu?"
"Besok kita akan ke rumahnya. Anaknya lulusan salah satu universitas terbaik. Insya Allah cantik luar dalam. Baru banget lulus kuliah. Belum kerja sih, tapi ya nggak apa-apa. Perempuan nggak harus kerja." Retno tersenyum cerah. Ia berharap putranya mau menerima perjodohan ini. Teman-teman seumurannya sudah banyak yang menikah, bahkan ada yang sudah memiliki anak. Retno tak sabar ingin menimang cucu.
Abhi mengembuskan napas pelan. Napasnya serasa berat. Baru sebulan yang lalu orang tuanya menjodohkannya dengan anak Pak Lurah. Tapi keluarga Pak Lurah mundur setelah tahu gajinya sebagai guru yang tak seberapa. Takut putri satu-satunya tidak bisa hidup dengan layak.
Setahun yang lalu, orang tuanya juga mengenalkannya pada anaknya tukang kayu. Lagi-lagi keluarga perempuan mundur karena mereka berpikir, apa yang diharapkan dari gaji seorang guru? Buat dirinya sendiri saja kurang, apalagi buat istri dan anaknya kelak.
Ini yang menyebabkan Abhi terkadang minder. Berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa, mendampingi generasi muda yang digadang-gadang jadi generasi emas dan membangun negara di masa depan, nyatanya tak cukup dihargai dengan gaji yang layak. Lebih miris lagi, guru disebut beban negara. Bakti, pengabdian, dan keikhlasan selalu menjadi harga mati yang harus diemban seolah-olah para tenaga pendidik ini tak butuh makan. Tapi bagaimana lagi, itu sudah menjadi pilihan Abhi. Ia pun sadar, gajinya tak akan bisa diandalkan untuk bertahan hidup. Sekadar untuk mengisi bensin saja dia harus putar cara mencari pekerjaan sambilan.
"Oya, Bu, Ibu tadi bilang Gema ini baru lulus kuliah? Emang orang tuanya nggak ingin anaknya kerja dulu? Apalagi lulusan universitas yang bagus. Biasanya orang tua ingin anaknya jadi pegawai atau kerja apa gitu." Abhi menatap bapak dan ibunya bergantian.
"Mereka ini keluarga kaya. Hartanya udah mengudara di mana-mana. Tajir melintir pokoknya. Kayaknya mereka nggak nuntut Gema buat kerja. Tapi Gema ini...." Suara Retno terdengar menggantung, mau melanjutkan tapi ragu.
"Gema kenapa Bu?" Abhi mengernyitkan alis, penasaran.
"Gema ini anaknya beda sama gadis-gadis yang lain. Penampilannya kayak cowok, tomboy banget. Udah gitu agak bandel. Tapi bukan yang bandel parah. Ikut geng motor gitu, kadang ke klab malam, tapi emang nggak pernah punya pacar jadi dijamin masih perawan tingting..."
Abhi melongo, kaget mendengar penuturan ibunya tentang calon istrinya yang sama sekali di luar ekspektasi.
"Bu... Ibu yakin mau punya menantu kayak dia? Masa iya Ibu tega jodohin saya sama cewek yang nggak jelas. Udah kayak cowok, anggota geng motor, suka ke klab malam pula, pasti suka mabok itu cewek." Nada bicara Abhi terdengar begitu kesal. Sama sekali tak terbayang jika dirinya menikah dengan perempuan yang jauh dari kriterianya.
"Biarpun gaji guru kecil, saya juga punya harga diri, Bu. Seenggaknya cari menantu yang jelas gitu lho Bu. Yang sholehah, bukan yang mainnya ke klab malam. Saya aja nggak pernah ke tempat kayak gitu."
"Sabar Abhi ... dengerin Bapak dulu." Giliran Santoso mencoba menenangkan putranya.
"Gini Bhi, si Gema ini memang butuh dibimbing. Itu tujuan orang tuanya cepat-cepat menikahkan karena mereka merasa kesulitan mendidik putrinya."
"Jadi saya yang harus bertanggung jawab membimbing? Saya mundur aja Pak, Bu." Wajah Abhi terlihat cemberut. Hatinya kalang kabut tak menentu. Masa depannya seakan dipertaruhkan.
"Bhi, tolonglah kasihan sama orang tua kamu. Sebenarnya kami punya hutang banyak sama orang tua Gema. Banyak sekali, sampai sawah Bapak dijual juga nggak bisa buat melunasi. Kalau kalian nikah, hutang dianggap lunas." Santoso menambahkan.
"Oh, jadi ini alasan utamanya. Saya dijadikan alat untuk membayar hutang." Abhi mengelus dadanya. Ingin melampiaskan amarah, tapi dia masih punya rasa hormat pada orang tuanya. Dia juga merasa bersalah hingga orang tuanya punya hutang sebanyak itu. Dua adiknya memang masih butuh biaya pendidikan yang banyak, yang satu masih kuliah, satu lagi SMA. Mungkin karena itu lah orang tuanya berhutang banyak pada keluarga Gema.
"Bhi, ini satu-satunya jalan. Toh nggak ada ruginya nikah sama Gema. Kamu nggak bakal kekurangan. Ayah Gema menjamin, begitu kalian menikah, kalian bisa menempati satu rumah yang sudah disediakan orang tua Gema. Kapan lagi ada keluarga mapan yang mau menerima menantu seorang guru SMA yang masih berstatus honorer?" Retno menegaskan kata-katanya. Ia ingin Abhi mempertimbangkan matang-matang.
Abhi membisu. Ingin melawan tapi bibirnya serasa kelu. Di satu sisi, ia tak yakin bisa bahagia dengan pernikahannya. Ia tak yakin bisa membimbing Gema. Namun, di sisi lain, ia tak mau mengecewakan orang tuanya.
"Pertimbangkan baik-baik, Abhi. Ini kesempatan langka, tak akan datang kedua kali. Besok kita ke rumah orang tua Gema. Kalian akan berkenalan besok. Mungkin setelah ketemu anaknya langsung, kamu semakin mantap untuk menikahi Gema." Retno mengulas satu senyum. Ia berharap pertemuan besok berjalan lancar.
*
"Ini fotonya Abhi, ganteng, 'kan?" Fatma menyerahkan satu lembar foto pada putrinya yang masih memasang tampang cemberut.
Gema melirik foto itu sepintas. Dilihatnya sosok Abhi Pasha Ramadhan dalam selembar foto. Ia mengenakan seragam guru, kepalanya ditutup peci, wajahnya tidak senyum, tidak pula cemberut. Sepintas agak mirip Taehyung BTS dengan kearifan lokal, jika dilihat dari Monas. Ganteng sih... Pikir Gema. Tapi dalam pernikahan, ganteng saja tidak cukup, tidak membuat kenyang.
Gema mengembuskan napas dengan beratnya seakan batu seberat seratus ton menghimpit dadanya. Sesak rasanya.
"Gema baru 22 tahun, Mami. Masih ingin menikmati hidup. Menikmati masa lajang. Gema belum siap menikah." Gema menggaruk kepalanya. Ia mencari cara agar orang tuanya tidak terobsesi untuk menikahkannya.
"Tidak ada pilihan lain. Salah kamu sendiri tidak bisa menjaga sikap. Tiap hari nggak jelas, nggak ada guna. Anak cewek sukanya keluyuran malam, clubbing, Mami sama Papi pusing lihat kelakukan kamu." Burhan meninggikan suaranya. Tatapan matanya seolah sedang mengintimidasi.
"Ini namanya pemaksaan. Segala sesuatu yang dipaksa itu efeknya nggak baik. Gema nggak ingin nikah." Bibir Gema mengerucut. Meski ia tomboy dan tidak pernah pacaran, tapi dia punya kriteria ideal, minimal seperti CEO di novel-novel.
"Apa yang bikin kamu nggak mau nikah? Mikirin biaya hidup setelah menikah? Soal biaya hidup nggak usah khawatir. Papi akan bantu soal itu. Kamu nggak perlu takut kekurangan. Yang paling penting adalah kamu dapat suami yang bisa membimbing, paham agama, setia. Semua itu ada di Abhi. Anaknya baik, nggak neko-neko. Sholatnya rajin ke Masjid. Mau nyari di mana lagi laki-laki kayak Abhi?" Burhan menambahkan kata-katanya.
"Tapi, Papi ... Gema belum siap nikah." Mata Gema terlihat berembun. Ada permohonan yang begitu besar di sorot matanya. Ia tak ingin menikah di usianya yang baru 22.
"Nggak ada tapi-tapian. Besok Abhi dan keluarganya akan datang ke sini. Jaga sikapmu. Kamu harus bersikap sopan di depan mereka!" tegas Burhan sekali lagi.
Gema terpekur. Rasanya percuma saja ia menyuarakan suara hatinya. Tetap saja tidak didengarkan. Keinginan ayahnya adalah perintah yang harus dilaksanakan.