Janjian Bertemu

1161 Kata
Abhi duduk sendiri di sebuah coffee shop yang belum lama berdiri. Berbagai promo menarik masih terpajang di banner. Bukan tanpa tujuan ia mendatangi tempat itu. Ia datang karena Gema mengajaknya bertemu untuk membicarakan rencana pernikahan mereka sebelum pertemuan keluarga malam ini. Abhi melihat sekeliling sembari mencari-cari sosok Gema yang mengatakan ia akan mengenakan kaos hitam dan jaket denim biru. Sedangkan Abhi memberi tahu Gema jika ia mengenakan kemeja batik. Abhi langsung mampir ke coffee shop begitu selesai mengajar. Matanya dikejutkan dengan derap langkah gadis berambut pendek seperti rambut laki-laki. Pakaiannya persis dengan apa yang dikatakan Gema bahwa dirinya mengenakan kaos hitam dan jaket denim. Gayanya selengekan, petantang-petenteng dengan membawa tas punggung, dan sama sekali tidak ada unsur "perempuan" yang menempel di dirinya. Ia teringat ibunya mengatakan jika Gema ini cantik luar dalam. Cantik dari mananya? Begitu melihat Abhi, Gema langsung mengenali dari kemeja batik yang ia kenakan. Selain itu, Gema juga pernah melihat foto Abhi. Tak susah mengenali wajah manis ala Mas-mas Jawa. "Kamu Abhi?" Abhi mengangguk. "Kamu Gema?" Gema mengangguk. "Ya." "Silakan duduk," ucap Abhi. Gadis itu duduk di hadapannya dengan santainya. Gema kembali menelisik wajah yang terpampang nyata. Lebih ganteng dari fotonya, pikir Gema. Tipikal cowok manis yang disukai cewek-cewek, tapi bukan dirinya. Gema tak akan jatuh begitu saja pada laki-laki yang bahkan belum ia kenal. Abhi pun sama, tatapan itu menyasar pada wajah Gema yang sulit ia deskripsikan. Ada kesan cute, manis, tapi juga ada kesan ganteng mirip laki-laki karena potongan rambutnya yang manly. Abhi menunduk, tak ingin menatap wajah itu lebih lama. Se-tomboy apa pun penampilan Gema, dia tetap perempuan. Tahan pandangan, ujar Abhi yang bermonolog dalam hati. "Kamu mau pesan apa? Biar saya pesankan," ucap Abhi. "Nggak usah dipesenin. Aku cuma ingin ngomong sebentar, nggak lama." Gema segera menyela. Ia memang suka kopi, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk sekadar menyesap minuman favoritnya itu. "Okay, silakan, kamu mau ngomong apa?" Abhi bicara dengan tenang. "Tentang perjodohan kita. Nanti malam kita akan bertemu dengan orang tua masing-masing. Mungkin mereka akan membicarakan rencana pernikahan kita. Aku cuma ingin kamu membantuku bilang ke orang tuaku atau orang tuamu bahwa kita belum siap menikah. Atau kamu tegas menolak." Kata-kata Gema meluncur lancar. Ia menatap Abhi tajam seolah menegaskan bahwa yang ia katakan adalah harga mati yang harus Abhi setujui. Abhi membisu, memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalas. "Kamu yakin? Kamu nggak ingin nikah sama saya?" Kedua alis Abhi terangkat. Suara Abhi lirih tapi masih bisa terdengar jelas. Gema memicingkan matanya. "Hah? Kamu ngarep aku mau nikah sama kamu? Atau kamu heran karena aku nggak mau nikah sama kamu?" Abhi menghela napas sejenak. "Apa yang kurang dari saya, Gema? Kurang ganteng? Atau kurang kaya? Saya tahu saya cuma guru honorer yang gajinya nggak seberapa. Tapi saya punya pekerjaan sampingan. Saya ada beberapa pekerjaan freelance yang saya kerjakan online dan saya rasa gaji itu cukup untuk biaya sehari-hari dan masih bisa menabung." Sejujurnya Abhi pun merasa berat dengan perjodohan ini. Apalagi Gema tak memenuhi kriteria idealnya. Abhi suka wanita berhijab yang lembut, punya wawasan luas, dan bisa membawa diri. Namun, ia tak mau mengecewakan orang tuanya. Semalaman ia merenung, berpikir mendalam tentang kesulitan orang tuanya. Termasuk kebaikan ayah Gema yang sudah banyak membantu orang tuanya. Ia ingin membalas budi. "Kamu pikir aku matre? Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan derajat kegantengan Anda, Bapak Abhi Pasha Ramadhan! Nggak ada hubungannya juga dengan pekerjaan Anda sebagai guru honorer yang kata Anda, gajinya nggak seberapa. Ini kaitannya dengan hati." Gema menjaga volume suaranya agar tak meninggi, takut memancing perhatian pengunjung lain. "Kita belum saling kenal. Kamu nggak tahu gimana karakterku. Aku juga nggak tahu karakter kamu. Dunia kita berbeda. Kamu seperti guru pada umumnya, yang soft spoken, sopan, mungkin jarang bersentuhan dengan dunia luar selain urusan sekolah. Dan pasti kamu tipe yang menjaga kelakukan karena pekerjaan kamu menuntut untuk itu. Sedang aku, aku suka berpetualang. Aku kadang naik gunung, main bola, ikut balap motor, atau sesekali dugem. Aku nggak sabaran, keras kepala, nggak feminin, dan banyak yang bilang 'cowok banget'. Kita jauh berbeda." Gema menatap Abhi yang tampak tenang. Ia pikir setelah melihatnya, cowok satu itu akan berpikir ribuan kali untuk menikahinya. Namun, Abhi justru terlihat ingin tetap melanjutkan pernikahan. "Terus? Selama saya laki-laki dan kamu perempuan, sah-sah saja kalau kita nikah?" jawab Abhi santai tanpa beban. Gema mengepalkan tangannya. Ia kesal karena salah mengira. Ia pikir Abhi akan mudah diajak bekerja sama. "Kenapa kamu kesannya ngotot mau nikah sama aku? Apa aku ini cantik kayak bidadari? Atau karena apa? Aku pengangguran. Cowok sekarang kalau nyari calon istri itu yang spek-nya serba perfect. Ya cantik lah, punya karier bagus lah, yang lemah lembut... Apa yang kamu lihat dari aku?" Gema masih menatap Abhi tajam, seperti tatapan intimidasi. "Pernikahan untuk seumur hidup lho. Kamu yakin mau ngabisin hidup kamu sama aku? Banyak lho cewek yang lebih cantik dan sesuai kriteria kamu," lanjut Gema. Abhi mengembuskan napas. Entah kenapa semakin Gema nyerocos seperti kereta api, semakin menarik di matanya. "Jujur Gema, aku nggak mau mengecewakan orang tuaku. Ibu sama Bapak juga berhutang budi sama orang tua kamu. Aku juga mikir, umurku sudah cukup matang untuk menikah. Nggak ada salahnya menyetujui rencana pernikahan ini. Kita akan belajar saling mengenal saat menikah nanti." Abhi berbicara pelan tapi ada ketegasan di dalamnya. Gema terpekur, memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk menanggapi. "Atau kamu sudah pacar?" tanya Abhi lagi. Gema menggeleng. "Belum, nggak ada yang mau sama aku." "Saya mau sama kamu," sela Abhi cepat. Gema mengerucutkan bibirnya. Kata-kata Abhi hanyalah gombalan receh yang bisa diciptakan oleh cowok mana pun. "Atau kamu belum bisa move on dari mantan kamu?" tanya Abhi sembari menyesap kopinya yang sudah dingin. "Gimana mau move on, aku nggak pernah punya pacar." Gema mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Benar kata ibu saya berarti, ya. Kamu belum pernah pacaran. Ya, sama lah kayak saya. Kurang cocok apa lagi kita? Sama-sama belum pernah pacaran." Gema tersenyum sinis, sebelah suruh bibirnya terangkat. "Orang kayak kamu belum pernah pacaran? Yang benar saja." Gema menatap Abhi penuh selidik. Wajah seganteng Abhi pasti banyak yang suka. Rasanya tak mungkin jika pria di hadapannya ini belum pernah pacaran. Atau itu hanya cara Abhi untuk menarik simpatinya. "Saya jujur. Ya, memang mungkin aneh. Cowok 29 tahun belum pernah punya pacar. Dalam hidup itu ada banyak yang harus diprioritaskan. Pacaran bukan prioritas karena saya nyarinya calon istri, bukan pacar." Abhi menatap Gema yang sering kali membuang muka ke arah lain. "Saya pesankan kopi, ya, biar pikiranmu adem sedikit. Atau kamu mau makan? Ada banyak menu yang enak." Gema menggeleng. Namun, pada akhirnya Abhi tetap memesankan kopi dan roti bakar untuk Gema. "Gema, kenapa kita tidak coba menuruti keinginan orang tua?" Gema menatap Abhi sekali lagi dengan tatapan yang lebih tajam. "Nggak, aku tetap pada pendirianku. Aku nggak mau nikah. Jadi nanti malam tolong bilang ke orang tua kita masing-masing kalau kamu menolak perjodohan ini." Abhi tak membalas. Gadis itu hanya meneguk sedikit kopi yang sudah dipesan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Abhi yang masih mematung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN