Pertemuan Keluarga

1044 Kata
Acara makan malam antar dua keluarga tiba juga. Gema mengenakan gaun spesial yang membuatnya terlihat sedikit feminin. Jelas saja Gema tak nyaman. Ia merasa seperti bukan dirinya. Menatap Abhi yang mengenakan kemeja batik dan rambut klimis tersisir rapi, sama sekali tidak ada desiran ataupun getaran di hati Gema. Di matanya, Abhi tak beda dengan banyaknya laki-laki random di luar sana yang setiap hari berangkat kerja, pulang ke rumah, dan serangkaian aktivitas monoton lainnya. Apanya yang menarik? Tidak ada tantangan atau aktivitas yang memicu adrenalin, ikut balap motor atau arum jeram, atau bahkan naik ke gunung misalnya. Gema tidak menyukai tipikal cowok rumahan seperti Abhi. Gema akui, Abhi tampil rapi, wajah lumayan ganteng menurut standar wanita Indonesia, ada aura manis khas Mas-mas Jawa. Sayangnya, Gema sudah terlebih dulu menutup hati. Tak sedikit pun ada ketertarikan untuk mengenal Abhi lebih jauh. Abhi pun tidak merasakan getaran apa pun ketika melihat sosok Gema duduk di hadapannya meski gadis itu tampil lebih feminin dibanding kemarin. Wajah Gema dipoles dengan make up minimalis. Abhi menduga, Gema tak mungkin dandan sendiri. Disebut cantik nyatanya tidak ada yang menarik dari ujung kepala hingga kaki. Disebut jelek juga tidak jelek. Ditatap seratus kali pun memang tidak ada yang menarik dari Gema. Namun, ia tak melihat Gema dari rupa. Ada sesuatu yang lain, yang sulit untuk dijabarkan. Gema seperti memiliki magnet tersendiri yang membuat orang lain tak cukup hanya meliriknya dengan sekali tatap. "Ayo silakan dimakan Bapak Santoso, Bu Retno, dan Nak Abhi. Mohon maaf kalau menunya cuma seadanya." Fatma tersenyum cerah. Ia menjamu tamu spesialnya dengan aneka menu yang menggugah selera. Ada rendang, ayam goreng, lalapan, sambal matah, sambal terasi, sambal tomat, tak ketinggalan cah kangkung, sayur asam, tahu, dan tempe goreng. "Terima kasih banyak, Bu, kami jadi merepotkan," balas Retno yang merasa tak enak hati dengan sambutan yang luar biasa. "Sama sekali nggak merepotkan, Bu Retno," balas Fatma sembari menyodorkan sepiring cah kangkung. "Oya, Nak Abhi selain ngajar, kata Bapak, Nak Abhi bisnis juga, ya?" Pak Burhan memulai percakapan yang lebih serius. "Bukan bisnis yang gimana sih, Pak. Kerjaan freelance aja. Saya nyambi jadi virtual assistant, nyari-nyari freelance sana sini biar bisa nyambi kerja online." Abhi mengulas senyum sopan. Tak sengaja ia melirik Gema yang menatapnya ketus. Dalam hati, Abhi berpikir, bagaimana bisa ia menikah dengan gadis yang selalu menekuk wajahnya itu. Sama sekali tidak ramah, jutek, dan mungkin susah diatur. "Bagus, itu. Anak muda memang harus kreatif," timpal Burhan. "Zaman sekarang memang harus kreatif, Pak. Apalagi guru honorer yang dari segi gaji masih sedikit. Karena itu Abhi nyari-nyari tambahan agar dapat penghasilan yang lebih besar. Kalau nikah nanti, dia harus menafkahi istri dan anak juga." Retno tersenyum menatap putranya dengan bangga. Anak sulungnya ini memang pekerja keras. Tak pernah mengeluh dan ulet mencari tambahan penghasilan. "Iya memang miris sekali nasib guru di negeri ini. Tugasnya berat, tapi kurang dihargai. Mudah-mudahan pekerjaan Nak Abhi ini membawa berkah, ya." Burhan menyunggingkan satu senyum. Ia yakin Abhi adalah pilihan yang tepat, yang mampu membimbing Gema dan menjadi suami yang baik untuk putrinya. Sesekali Abhi dan Gema saling berpandangan. Gema mendelik dan ketus menatap Abhi seakan hendak menelan pemuda itu. Abhi beringsut. Ia alihkan tatapannya ke arah lain. Galak sekali, pikir Abhi. "Maaf, Pak, Bu, saya izin ke kamar mandi..." Abhi memecah keheningan. Ia ingin buang air kecil. "Gema, tolong antarkan Mas Abhi ke belakang." Burhan melirik putrinya. Gema mengerucutkan bibirnya. Mas Abhi? Papanya seenaknya saja menyebut "Mas" di depan dirinya, berharap Gema akan memanggil Abhi dengan sapaan "Mas". Ia tak akan sudi memanggil Abhi dengan panggilan "Mas". Namun, ia turuti permintaan papanya. Abhi berjalan mengikuti langkah Gema. Sebelum pemuda itu masuk kamar mandi, Gema lebih dulu menatapnya jutek. "Ingat ya dengan kesepakatan kita tadi siang. Nanti kamu bilang nggak siap nikah dan menolak perjodohan ini." Gema mengingatkan Abhi sekali lagi. Abhi hanya menyeringai tanpa berkata-kata. Gema mengepalkan tangannya. Abhi Pasha Ramadhan tidak hanya menyebalkan, tapi sulit diajak kerja sama. * Selesai makan malam, kedua keluarga berbincang-bincang mengenai rencana pernikahan mereka. "Lebih baik pernikahan ini disegerakan, biar lega." Pak Burhan menatap Santoso dan Retno bergantian. "Iya, saya setuju. Bagaimana dengan tanggapan anak-anak?" Santoso melirik Abhi dan Gema bergantian. Gema terdiam. Ia ragu, tapi ia memutuskan untuk lebih berani mengungkapkan isi hatinya. "Saya belum siap. Saya tidak suka sama Abhi," tandas Gema. Orang tua Gema dan orang tua Abhi kaget mendengarnya. "Gema, jaga ucapanmu." Fatma mendelik. Ia tak enak hati pada Abhi dan keluarganya. "Maafkan Gema ya, Nak Abhi. Gema terlalu ceplas-ceplos." Fatma memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. Ia benar-benar merasa tak enak hati, takut Abhi tersinggung dengan ucapan Gema. "Nggak apa-apa, Bu, santai saja. Biasanya yang begini itu malu-malu tapi mau. Nanti kalau udah nikah, dia juga klepek-klepek sama saya, kok." Abhi membalas santai dengan senyum yang menunjukkan kepercayaan dirinya. Gema semakin senewen. Ia pikir, apa tadi siang ia tak cukup jelas memberikan briefing? Ia minta Abhi untuk mengatakan bahwa ia tak siap menikah atau menolaknya, kenapa kata-kata Abhi mengesankan jika ia setuju dengan rencana pernikahan ini? Fatma dan Burhan tertawa kecil. "Betul itu, Nak Abhi. Dulu istri saya juga sempat jual mahal. Eh lama-lama jadi cinta mati sama saya." Burhan tertawa kecil, bangga karena merasa begitu dicintai Sang Istri. Kedua orang tua Abhi pun tertawa. Sementara itu, Gema semakin kesal. Ia melirik Abhi yang juga tersenyum penuh arti. Gema semakin tak suka dengan calon suaminya itu. Fatma menyenggol lengan suaminya sembari tertawa kecil. "Papi ini malah ngomongin masa lalu." "Ya nggak apa-apa, Bu. Gema itu menuruni sifatmu. Nanti kalau sudah sah, pasti jatuh cinta juga sama Nak Abhi," ujar Burhan sembari melirik Gema yang masih cemberut. Gema kesal karena Abhi tak kompak dengannya. Laki-laki itu justru sepakat mempercepat pernikahan. Rasanya percuma kemarin ia janjian bertemu dengan Abhi jika ujung-ujungnya pernikahan mereka tetap akan dilaksanakan. Abhi tercenung. Sejujurnya ia pun tak ingin pernikahannya disegerakan. Namun, ia tak tega mengecewakan kedua orang tuanya yang begitu berharap pada pernikahan ini. Abhi dan Gema beradu pandang. Abhi bisa merasakan ada kemarahan yang membara dari sorot mata Gema yang tajam. Sebenarnya ia pun belum siap dan tak bisa membayangkan bagaimana interaksinya nanti dengan Gema, yang bahkan ia ragu apa gadis itu tertarik dengan laki-laki? Sekali lagi Abhi tak punya pilihan. Ia tak mau dicap durhaka jika menolak pernikahan ini. Kedua orang tuanya sangat berharap dengan pernikahan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN